Loading...
OPINI
Penulis: Rumadi 00:00 WIB | Senin, 13 Juli 2015

Islam Nusantara: Mengapa Diributkan?

SATUHARAPAN.COM – Perbincangan tentang Islam nusantara dengan berbagai variasi istilah seperti “Islam Indonesia”, “pribumisasi Islam, “Islam rahmatan lil alamin” sejatinya sudah lama terjadi. Baik sebagai wacana akademik maupun spirit gerakan keislaman di Indonesia, hal ini sudah lama muncul. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) misalnya, sejak pertengahan 1980-an sudah mendiskusikan tema ini dengan menggunakan istilah “pribumisasi Islam”. Kesadaran bahwa Islam Indonesia mempunyai ke-khas-an dengan Islam di belahan dunia Islam yang lain sudah mengendap dalam kesadaran banyak orang. 

Para peneliti asing yang memotret Islam Indonesia mengamini kenyataan itu. Meskipun pada level doktrin Islam adalah satu, namun ekspresi keislaman dan kebuadayaannya bisa berbeda dengan Islam di tempat yang lain. Gairah keislaman di Indonesia tidak kalah dengan pusat-pusat Islam yang lain. Hal ini antara lain karena proses islamisasi di Indonesia dilakukan para sufi tidak dengan jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Sebuah model penyebaran Islam yang dilakukan tanpa merusak dan tanpa melukai perasaan penganut keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Proses Islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana sekitar 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam.

Pertanyaannya, mengapa begitu “Islam Nusantara” dijadikan sebagai tema Muktamar NU ke-33, banyak orang rebut, meledek bahkan menyebarkan fitnah? Apalagi setelah Presiden Joko Widodo membuka Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal (14/6/2015) yang dalam pidatonya memberi apresiasi tema Islam Nusantara dalam Muktamar ke-33, banyak yang menuding tema Islam nusantara merupakan titipan pemerintah. Kata “nusantara” dianggap dekat dengan kata “maritime” yang sekarang ini menjadi semacam trademark-nya Jokowi. Di media sosial pun terjadi pro-kontra, saling meledek. Ada tanggapan yang masuk akal, namun lebih banyak tanggapan yang tak masuk akal, bahkan asal bunyi.

Kata “Islam Nusantara” meskipun persoalan lama, tapi begitu diangkat NU, kata ini mempunyai tuah dan berpeluru. Orang-orang yang terkena sasaran peluru itulah yang sekarang ini merespon negatif. Tentu saja sebagian besar dari mereka mempunyai pandangan keagamaan dan politik berbeda dengan NU. 

 

Sasaran Tembak Islam Nusantara

Ada beberapa kelompok yang menjadi sasaran tembak istilah Islam Nusantara dalam tema muktamar NU. Pertama, kelompok yang masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final Negara Indonesia. Salah satu spirit Islam Nusantara dalam NU adalah tidak mempertentangkan antara keislaman dan kebangsaan.  Karena itu, tema Islam nusantara pada dasarnya merupakan peneguhan identitas dan komitmen kebangsaan NU.

Komitmen kebangsaan ini menjadi sumbu penting bagi NU. Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organsiasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU bukan saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan. 

Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan –tepatnya fiqih—yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apapun –termasuk dalam hal politik—selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fiqih). Pada 1938 dalam Muktamar di Menes Banten misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan NU adalah penduduk muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para pegawai yang juga muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja muslim. Cara pandang ini merupakan khas sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.

Resolusi Jihad NU pada 1945 yang melahirkan pertempuran 10 November di Surabaya merupakan bukti lain, bagaimana Kiai dan ulama-ulama NU berkorban untuk bangsa. Sayangnya Resolusi Jihad NU tidak dicantumkan dalam sejarah nasional, sehingga banyak generasi muda Indonesia yang tidak mengenalinya.

Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. Pandangan-pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang bisa mengokohkan bangsa ini berdiri. Kekokohan visi kebangsaan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah bentuk final. 

Nah, Islam Nusantara merupakan peneguhan dari sikap politik dan kebangsaan NU ini yang sekarang mendapat banyak tantangan terutama dengan lahirnya kelompok Islam yang mengusung ideologi khilafah. Kelompok ini ideologi politiknya jelas berbeda dengan NU, karena masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI. Karena itu, tidak aneh kalau kelompok ini tersengat dengan tema Islam Nusantara yang diusung NU.

Kedua, kelompok puritan yang hendak melakukan pemurnian Islam atau sering disebut kelompok wahabi. Mereka tidak segan-segan melakukan pengkafiran (takfir) terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Islam Nusantara merupakan simbol dari kelenturan Islam ketika berhadapan dengan tradisi lokal. NU selama ini memerankan diri sebagai organisasi yang setia dengan tradisi keagamaan. Di pihak lain, kelompok wahabi adalah kelompok keagamaan yang anti tradisi, sehingga sering menyebut komunitas NU sebagai pengamal tahayul, bid’ah dan khurafat. Kelompok ini merasa terintimidasi dengan Islam Nusantara yang diusung NU, apalagi tema ini menguat dan akan menjadi identitas keislaman bangsa Indonesia.

Ketiga, kelompok yang cenderung menghalalkan kekerasan untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam. Kelompok ini tidak segan-segan melakukan pemaksaan dan perusakan terhadap apa saja yang mereka anggap sebagai tempat maksiat, kelompok yang disesatkan, simbol-simbol kemusyrikan dan sebagainya. 

Nah, Islam nusantara yang diusung NU justru anti terhadap tindakan kekerasan dalam berdakwah. Sebejat apapun seseorang tidak boleh diperangi sejauh mereka tidak memerangi umat Islam. Dakwah amar makruf harus dilakukan dengan cara-cara yang makruf (baik), mencegak kemungkaran (nahy ‘anil munkar) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak membawa kemungkaran. Prinsip berdakwah seperti inilah yang menjadi spirit Islam Nusantara yang telah dipraktikkan para sufi dan Wali di Jawa pada abad 15. 

Kombinasi dari tiga kelompok inilah yang meributkan Islam Nusantara. NU sebagai organisasi besar tentu tidak boleh mundur hanya karena temanya diributkan beberapa kalangan. Mereka yang meributkan memang garis perjuangannnya berbeda dengan garis perjuangan NU.

 

Penulis adalah Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the WAHID Institute Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home