Loading...
OPINI
Penulis: Lanny Octavia 14:01 WIB | Kamis, 22 Agustus 2013

KB dalam Pergumulan Iman dan Akal Pikiran

SATUHARAPAN.COM - Bagaimana memposisikan iman dan akal pikiran merupakan tantangan tersendiri bagi manusia modern. Sebagian kalangan berupaya mendamaikan iman dan akal, sebagian lain memilih menceraikan antara keduanya, dan tak sedikit pula yang lebih mengistimewakan satu di atas lainnya. Kontroversi seputar hak kesehatan reproduksi—di mana perempuan berhak secara bebas dan bertanggungjawab untuk memutuskan jumlah, jarak kelahiran, waktu memiliki anak, serta mendapat informasi dan sarana untuk melakukannya—adalah salah satu contoh kisah pergumulan iman dan akal pikiran. Sampai kini, hak kesehatan reproduksi masih menjadi perdebatan para pemuka agama dan pegiat hak asasi manusia di berbagai belahan dunia.

Di Filipina, program Keluarga Berencana (KB) dianggap sebagai serangan terhadap doktrin Gereja Katolik. Penggunaan kontrasepsi dipandang bertentangan dengan kehendak Tuhan serta menghancurkan nilai-nilai keluarga dan kehidupan. Karenanya, beberapa pejabat yang termasuk pemeluk Katolik taat, umpamanya Wali Kota Manila Jose Atienza, melarang penjualan alat kontrasepsi di seluruh klinik pemerintah di Manila. Namun pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang diiringi kian parahnya kemiskinan, maraknya permukiman kumuh serta meningkatnya angka kriminalitas, mendorong Presiden Benigno Aquino III untuk mengesahkan UU Kesehatan Reproduksi di penghujung tahun 2012. Sayangnya, tak lama kemudian UU tersebut dibekukan Mahkamah Agung Filipina, menyusul petisi dan resistensi dari sejumlah agamawan dan kaum moralis di sana.

Di Indonesia, program KB pun awalnya mendapat penolakan keras kelompok keagamaan, terutama Islam. Demi menyukseskan pembangunan, rezim Orde Baru menerapkan pembatasan usia perkawinan dan pengaturan kelahiran secara sistimatis, massif dan koersif. Berbagai upaya ditempuh, termasuk melibatkan tokoh agama dan ormas Islam arus utama seperti Nadlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya tak hanya berperan sebagai corong pemerintah untuk melegitimasi dan menyosialisasikan KB di tataran wacana, tapi juga bertindak sebagai perpanjangan tangan pemerintah dengan menyediakan layanan KB di rumah sakit atau klinik mereka. Namun implementasi KB yang cenderung tidak manusiawi, menjadikan perempuan sebagai objek, dan sarat kepentingan negara, telah memicu resistensi hingga tiba saatnya reformasi.

Sejak Reformasi, kelompok Islamis yang tadinya terpinggirkan mulai berani terang-terangan menyuarakan pemurnian agama dan penolakan atas segala bentuk perubahan dalam masyarakat, termasuk modernisasi dan hak kesehatan reproduksi. Penelitian Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menunjukkan, kontra argumen yang mereka kemukakan ternyata senada dengan alasan umat beragama lainnya yang resisten terhadap KB. KB mereka anggap anti kehidupan, sementara Tuhan melarang pembunuhan anak akibat ketidakmampuan finansial. Menurut mereka, penggunaan kontrasepsi mencerminkan defisit iman, karena manusia harusnya meyakini bahwa kehidupan dan penghidupan berada di tangan Tuhan. Upaya pencegahan kehamilan dipandang mendahului ketentuan Ilahi, bahkan sebagian prosedurnya dipandang telah lancang mengubah ciptaan Ilahi. KB juga dianggap menyalahi tujuan pernikahan yang telah digariskan Tuhan, yaitu untuk mereproduksi banyak keturunan. Tuhan sang pencipta, mereka yakini maha mengetahui yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya dan tidak akan membebani melebihi kapasitas mereka.

Kaum Islamis juga mengindikasikan KB sebagai agenda konspirasi kaum kafir Barat untuk melemahkan umat Islam, berlandaskan ‘bukti’ berupa melimpahnya aliran dana yang dikucurkan berbagai lembaga asing untuk mendistribusikan kontrasepsi di negara-negara mayoritas Muslim. Jikapun KB diberlakukan oleh pemimpin di dunia Muslim, maka hal itu mereka pandang sebagai produk kebijakan thaghut (tiran) yang harus dilawan sekeras-kerasnya. Bagi mereka, KB menyiratkan paham materialisme, di mana laju pertumbuhan penduduk dianggap sebagai bencana dan karenanya harus ‘dikendalikan’. Padahal sumber masalahnya mereka yakini bukan pada overpopulasi, melainkan pada sistim ekonomi kapitalis yang telah menimbulkan ketimpangan sosial-ekonomi. Selain dipandang hanya menguntungkan segelintir pelaku industri alat dan obat kontrasepsi, lebih jauh KB mereka tuduh sebagai bentuk intervensi negara terhadap hak asasi warganya untuk beranak pinak yang seharusnya merupakan wilayah privat yang tidak dapat diganggu gugat.

KB juga tidak mereka anggap perlu karena Indonesia adalah negara yang luas dan kaya sumber daya alam. Indonesia seharusnya mampu menampung dan menghidupi berapapun jumlah penduduknya. Di titik ini mereka menyalahkan pemerintah yang tidak berhasil memeratakan pembangunan ke seluruh pelosok negeri sehingga banyak wilayah terpencil tidak layak huni, dan gagal mengelola kekayaan alam sehingga sebagian besarnya justru dinikmati pihak asing atau dikorupsi para elite negeri. Bagi mereka melimpahnya sumber daya manusia justru merupakan aset yang menjadi ‘bonus demografi’ tersendiri, mengingat negara-negara maju mulai mengalami krisis generasi produktif.

Kampanye KB mereka pandang telah menyudutkan Islam karena melarang pernikahan dini, sementara seks bebas justru ‘difasilitasi’ melalui penggunaan kontrasepsi. Meningkatnya seks bebas ini mereka perkirakan akan sebanding dengan meningkatnya upaya aborsi dan merebaknya penyakit AIDS yang mematikan, sehingga KB diasumsikan turut ‘memfasilitasi kematian’. Bagi mereka, KB tidak diperlukan karena sudah ada pengendalian populasi secara alamiah seperti bencana alam, konflik, kecelakaan dan kejahatan yang berpotensi merenggut nyawa. Mereka juga menilai KB menyinggung SARA karena sebagian besar targetnya adalah orang-orang Islam, sementara kalangan agama lain yang lemah ekonomi tidak dijadikan sasaran. Tak mengherankan jika sebagian besar kalangan Islamis ini sengaja tidak ber-KB untuk memperbanyak jumlah anggota kelompoknya, serta memproduksi tentara-tentara Tuhan (jundi) dalam rangka berjihad menegakkan syariat.

Terlepas berbagai alasan itu, sudah semestinya kaum beriman lebih mempertimbangkan aspek maslahat dan madharat bagi umatnya, terutama kaum perempuannya. Apapun argumentasinya, konsekuensi digunakan atau tidaknya kontrasepsi akan ditanggung sepenuhnya oleh perempuan. Sebagai pihak yang berperan besar dalam mengandung, melahirkan dan membesarkan keturunan, perempuan berhak menentukan kapan dan bagaimana fungsi tersebut dijalankan. Terlebih di saat risiko kematian ibu dan bayi masih begitu menghantui, KB merupakan jalan untuk memenuhi hak manusia yang paling asasi: yaitu hak untuk hidup (hifdz an-nafs).

Allah sendiri berkali-kali menyerukan manusia untuk merenungkan segala perkara dengan akal pikiran: afalaa ta’qiluun, afalaa tatafakkaruun, afalaa tatadabbaruun. Karena itu, walau iman menitahkan manusia untuk memperbanyak keturunan supaya dapat menguasai bumi (Kitab Kejadian 1:28 & Surat An-Nisa 4:1), mestinya akal budi dapat memahami bahwa kekuasaan dan penguasaan alam raya seisinya tidaklah ditentukan banyak sedikitnya kuantitas manusia, akan tetapi sangat bergantung pada kualitas sumberdayanya.

Para penentang KB mesti tak hanya bersedia menerapkan iman, tapi juga sedikit menggunakan akal pikiran.

 

Penulis adalah Program Manager dan Researcher Yayasan Rumah Kita Bersama


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home