Loading...
INDONESIA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 23:26 WIB | Jumat, 01 Juni 2018

100 Layang-layang Rayakan Ulang Tahun Pancasila

100 Layang-layang Rayakan Ulang Tahun Pancasila
Penaikan layang-layang memperingati Hari Jadi Pancasila 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
100 Layang-layang Rayakan Ulang Tahun Pancasila
Aksi seni 100 layang-layang untuk Pancasila di Mlangi, Gamping-Sleman, Jumat (1/6) sore.
100 Layang-layang Rayakan Ulang Tahun Pancasila
Ceramah kebangsaan tentang "Refleksi Pancasila dalam Generasi Milenial" di PPM Aswaja Nusantara, Mlangi, Gamping-Sleman, Jumat (1/6) sore.
100 Layang-layang Rayakan Ulang Tahun Pancasila
Lesbumi Yogyakarta bersama STSRD Visi Yogyakarta, dan PPM Aswaja Nusantara berkirim doa di makam Kyai Nuriman, Masjid Pathok Negara - Mlangi, Gamping-Sleman.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut hari kelahiran Pancasila 1 Juni, Pesantren Pelajar Mahasiswa (PPM) Aswaja Nusantara Yogyakarta, Lesbumi DI Yogyakarta, dan STSRD Visi Yogyakarta membuat acara bersama di Mlangi, Gamping-Sleman.

Seratusan layang-layang dengan gambar Garuda Pancasila beserta foto tiga tokoh pencetus Pancasila Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno diterbangkan bersama anak-anak santri sekitar Mlangi bersama mahasiswa. Mlangi menjadi salah satu penanda batas keberadaan Kraton Yogyakarta dengan adanya masjid Pathok Negara. Di komplek masjid Pathok Negara Mlangi terdapat makam Kyai Nuriman yang merupakan guru spiritual Sri Sultan HB I. Saat ini di Mlangi terdapat sekitar 12 pondok pesantren sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Kesultanan Yogyakarta.

"Di sini kita coba dalam media layang-layang dengan gambar Pancasila. Di STSRD Visi ada mata kuliah media eksperimental dengan membuat media-media yang tidak konvensional. Media konvensional itu sendiri berupa poster, baliho, banner, spanduk, dan lain-lain. Kebetulan kemarin ketemu sama teman-teman Lesbumi Yogyakarta, akhirnya kita eksperimen bersama dengan Layang-layang Pancasila sekaligus memperingati Hari Lahirnya Pancasila," jelas dosen STSRD Visi Yogyakarta Arsita Pinandita, Jumat (1/6) sore.

Pengasuh PPM Aswaja Nusantara M. Mustafid menjelaskan bahwa Pancasila saat ini mendapatkan berbagai tantangan berupa neo-liberalisme globalisasi yang "mengkudeta" Pancasila melalui kebijakan politik dan ekonomi sehingga perekonomian kita mengarah menjadi neo-liberal begitupun dalam kehidupan politik. Tantangan berikutnya adalah fundamentalisme agama yang ingin mengoyak kebangsaan dengan ideologi yang mereka inginkan. Pada sisi lain, kita dihadapkan pada perkembangan lokal-global yang membutuhkan jawaban serius agar Pancasila bisa menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

"Ketika Pancasila diekspresikan dalam bentuk layang-layang, semoga Pancasila bisa terbang tinggi dan jaya di bumi Nusantara dan menjadi basis kebangsaan Indonesia," jelas Mustafied.

Kandidat doktor dari al-Musthafa International University Teheran, Morbid Ma'ruf dalam refleksi pembacaan Pancasila bagi generasi milenial.

"Sila pertama, kedua, dan ketiga yang meliputi ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan sejauh ini masih diapresiasi. Contohnya persatuan itu seperti saat kita ngulukke (menaikkan) layang-layang bersatu dari beragam komunitas, melihat bahwa Pancasila menjadi panduan kita. Yang perlu diapresiasi juga adalah hubungan sila pertama, sila keempat, dan sila kelima. Sikap relijiusitas akan menimbulkan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Artinya hikmah ini memimpin rakyat. Hikmah adalah representasi dari manusia-manusia yang memiliki pernyataan yang kuat, ilmu yang kuat, premis yang kuat. Hikmah itu akan menghasilkan perbuatan keadilan sosial." jelas Morbid dalam penjelasan jelang berbuka puasa di PPM Aswaja Nusantara, Mlangi, Gamping-Sleman, Jumat (1/6) sore.

Lebih lanjut Morbid menjelaskan dalam perspektif sosiologi barat telah memotong  metafisika dan agama. Implikasinya ketika memandang Pancasila ada keterputusan hubungan antara Tuhan dan makhluk. Dalam perspektif ini berpotensi menjadikan sekuler dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membaca Pancasila adalah membaca secara komprehensif menjadi satu napas dan tidak terpotong-potong. Sila pertama terkoneksi dengan sila kedua secara dua arah. Ada keseimbangan antara ketuhanan, sikap relijius, kemanusiaan, humanisme yang vertikal, persatuan, kesatuan dalam geografis, dan kesatuan dalam kebenaran.

"Asumsi saya masyarakat ideal yang dicita-citakan Indonesia itu sinonim dengan masyarakat spritualis. Masyarakat spiritual itu apa? Gampang kata Soekarno: lima sila kalau diperas akan menghasilkan gotong royong. Ini seperti nasihat Imam Ali KW, kalau Anda bersaudara sesama muslim-mukmin itu wajar dan harus. Tapi jika Anda bersaudara bukan karena muslim itu juga bagus sebagai sesama manusia. Posisinya sama," jelas Morbid.

Sebagai sebuah entitas, membaca Pancasila adalah membaca universalisme, humanisme, nasionalisme, relijiusitas, spiritualitas, dalam satu tarikan napas sebagai representasi dari wajah kemanusiaan itu sendiri. 

Selamat merayakan hari jadi Pancasila. Kembalilah menjadi manusia.

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home