Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 16:44 WIB | Jumat, 13 September 2019

100 Tahun Konferensi Perdamaian Prancis: Gereja Eropa Perkuat Perdamaian

Perwakilan gereja-gereja dari seluruh Eropa berkumpul di ibu kota Prancis, Paris, untuk memperkuat perdamaian di abad ke-21 pada 10-12 September 2019. (Foto: Alžběta Slámová/Konferensi Gereja-gereja Eropa)

PARIS, SATUHARAPAN.COM – Satu abad setelah Konferensi Perdamaian Paris yang penting setelah Perang Dunia Pertama, perwakilan gereja-gereja dari seluruh Eropa berkumpul di ibu kota Prancis, Paris, untuk memperkuat perdamaian di abad ke-21.

“Kami akan menggali Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919 pada peringatan tahun keseratusnya, akan mengidentifikasi warisannya, dan akan belajar beberapa pelajaran penting dari masa lalu Eropa dan global kita,” kata Pendeta Christian Krieger, Presiden Konferensi Gereja-gereja Eropa, yang menggagas acara pertemuan 10-12 September di Paris untuk menandai peringatan 60 tahunnya.

“Kami berharap akan mendapatkan inspirasi dari peran dan karya Konferensi Gereja-gereja Eropa, sejak pembentukannya, sebagai instrumen ekumenis yang terlibat dengan pembangunan perdamaian, penyembuhan kenangan kelam, dan rekonsiliasi,” katanya dalam pidato pembukaan pertemuan, dalam laporan yang dilansir oikoumene.org.

Pada saat Konferensi Gereja-gereja Eropa didirikan pada tahun 1959, Benua Eropa terpecah-pecah dan terbagi-bagi, dan ada kebutuhan untuk mengatasi perpecahan politik dan upaya untuk pemulihan dan perdamaian, kata Krieger.

Dalam sebuah ceramah di hadapan lebih dari 60 peserta dari gereja-gereja anggota Konferensi Gereja-gereja Eropa dan organisasi terkait, Dr Johnston McMaster dari Sekolah Ekumenis Irlandia di Dublin mengenang bagaimana proses pembentukan Konferensi Perdamaian Paris 1919 didominasi oleh empat negara - Prancis, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat.

“Para elite itu mengatur tentang keputusan pembentukan tatanan dunia baru berdasarkan citra mereka,” kata McMaster.

Warisan Konferensi Paris

Konferensi Perdamaian Paris terkenal karena Perjanjian Versailles (1919). Mengutip dari Wikipedia, setelah enam bulan negosiasi melalui Konferensi Perdamaian Paris, perjanjian itu akhirnya ditandatangani sebagai tindak lanjut dari perlucutan senjata yang ditandatangani pada bulan November 1918 di Compiègne Forest, yang mengakhiri perseteruan sesungguhnya. Salah satu hal paling penting yang dihasilkan oleh perjanjian itu adalah Jerman menerima tanggung jawab penuh sebagai penyebab peperangan dan, melalui aturan dari pasal 231-247, harus melakukan perbaikan-perbaikan di negara-negara tertentu yang tergabung dalam Sekutu, juga menegakkan konsesi teritorial di Jerman, dan menghapus koloni di luar negeri.

Warisan dari konferensi Paris, kata McMaster, termasuk pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia Kedua, pembagian Timur Tengah antara Inggris dan Prancis, sebuah “pengkhianatan terhadap Tiongkok” karena ada faktor revolusi Komunis di negara itu, dan penolakan untuk menyetujui persamaan ras.

“Mereka tidak pernah menganggap serius Afrika dan Asia,” kata McMaster tentang protagonis utama dalam konferensi 1919. “Ada kepercayaan yang melekat pada supremasi kulit putih.”

Metropolitan Emmanuel, Presiden Dewan Gereja-gereja Kristen di Prancis, yang hadir dalam pertemuanitu, merujuk pada hasil konferensi tahun 1919.

“Pada kenyataannya, penghinaan terhadap mereka yang kalah perang mengarah pada persiapan Perang Dunia Kedua,” kata Metropolitan Emmanuel mengenang. Saat ini, ada kebutuhan untuk bekerja demi masa depan yang aman dan damai.

Mempromosikan Rekonsiliasi

Claudia Roth, wakil presiden Bundestag Jerman, dan Sylvain Waserman, wakil presiden Majelis Nasional Prancis, membuka konferensi pada 10 September.

Masing-masing mengenang bagaimana negara mereka berperang satu sama lain, dua kali pada abad ke-20, dan bagaimana sejak akhir Perang Dunia Kedua, kedua negara membuka kemungkinan untuk mempromosikan rekonsiliasi.

“Jika kita ingin memahami masa sekarang, jika kita ingin membentuk masa depan, kita perlu menghadapi masa lalu,” kata Roth, “Mari kita terima mandat kita untuk menciptakan dunia yang lebih damai.”

Waserman menggarisbawahi bahwa institusi keagamaan memiliki peran dalam mempromosikan perdamaian.

“Uni Eropa menderita dari kebangkitan nasionalisme dan populisme,” katanya, “Dalam masalah ini, agama memiliki peran untuk dimainkan.”

Konferensi Gereja-gereja Eropa menyatukan 114 gereja dari tradisi Ortodoks, Protestan, Anglikan, dan Katolik Lama dari seluruh Eropa untuk berdialog, advokasi, dan melakukan aksi bersama.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home