Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 13:51 WIB | Sabtu, 08 Agustus 2015

70 Tahun Merdeka RI masih Remehkan Prestasi Atlet Difabel

Padahal, para atlet difabel telah menunjukkan prestasinya dengan menjadi juara umum ASEAN Para Games 2014.
70 Tahun Merdeka RI masih Remehkan Prestasi Atlet Difabel
Atlet kursi roda Provinsi DKI Jakarta berlatih di Stadion Atletik Gelora Rawamangun, Jakarta. (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
70 Tahun Merdeka RI masih Remehkan Prestasi Atlet Difabel
Ketua NPC DKI Jakarta, Welly Ferdinandus.
70 Tahun Merdeka RI masih Remehkan Prestasi Atlet Difabel
Atlet panahan disabilitas DKI Jakarta berlatih di Lapangan Panahan Pulomas, Jakarta.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyandang disabilitas di Indonesia cukup banyak jumlahnya. Menurut data Kementerian Sosial pada 2014 ada 7,7 juta penyandang disabilitas atau 3,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia, 1,8 juta di antaranya terlantar. Data ini melingkupi semua tingkat disabilitas.

Lebih menyedihkan lagi, penyandang disabilitas di Indonesia atau disebut juga para difabel,  lebih banyak berhenti di tempat-tempat panti sosial di berbagai kota besar, bahkan masih ada lagi  tidak terurus oleh negara dengan baik. Mereka berkeliaran sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).  

Di dunia olah raga bernasib serupa. Di Indonesia perhatian terhadap atlet difabel masih minim, karena kurangnya niat dari pemerintah untuk menggolkan sebuah peraturan yang melirik kesejahteraan olahragawan dan olahragawati difabel.  Saat ini menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolah Ragaan Nasional dalam salah satu pasalnya, setiap olah ragawan tanpa terkecuali – termasuk difabel– wajib  disokong dan difasilitasi pemerintah.  

“Itu benar, lho, Mas tercantum di Undang-Undang termasuk juga untuk atlet difabel,” kata Welly Ferdinandus, Ketua National Paralympic Committee (NPC) Provinsi DKI Jakarta kepada satuharapan.com, Jumat (7/8) di Kantor NPC Provinsi DKI Jakarta, di Stadion Atletik Kompleks Gelora Rawamangun, Jakarta.

Welly memberi contoh bahwa pada  ASEAN Para Games 2014 – ajang multi olah raga bagi atlet difabel negara-negara kawasan Asia Tenggara–  Indonesia mampu duduk sebagai juara umum. Setelah itu barulah kemudian membuka mata pecinta olah raga Indonesia.

“Nah sekarang bandingkan dengan atlet umum (mereka yang memiliki fisik sempurna), mereka malah hanya peringkat empat, tetapi berita tentang kita malah sedikit,” Welly menambahkan.

Welly mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah karena di saat pemberian bonus dari pihak penanggung jawab terkait–KONI (Komite Olah Raga Nasional Indonesia), KOI (Komite Olimpiade Indonesia), dan Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olah Raga)– perbandingan bonus yang diterima atlet difabel dan atlet umum jumlahnya sangat kontras.

“Kita ini pahlawan, lho, jangan main-main. Kita bisa mengibarkan merah putih di pentas internasional, nggak cuma Taufik Hidayat atau Susi Susanti (pebulu tangkis) aja kata dia.

Welly menceritakan saat dia muda merupakan atlet difabel di nomor atletik. Catatan waktu yang dia torehkan tidak berbeda jauh dengan atlet umum. Dengan menunjuk contoh prestasi pada  ASEAN Para Games Welly ingin mengatakan olah raga bagi penyandang disabilitas tidak lagi bersifat rekreasi namun harus dianggap sebagai prestasi.

Dalam ASEAN Para Games 2014, Indonesia berada di peringkat pertama klasemen akhir pengumpulan medali karena berhasil meraih total 217 medali–terdiri dari 99 medali emas, 69 perak, dan 49 perunggu–diikuti Thailand di tempat kedua dengan total 248 medali namun  kalah dalam pengumpulan medali emas, sementara di peringkat ketiga ada Malaysia yang meraih total 139 medali.

Arti Kemerdekaan bagi Atlet

Cindy Octarina, atlet panahan difabel nomor standing mengatakan bahwa memang Indonesia sudah merdeka selama 70 tahun, namun masih terdapat sejumlah hal yang dia anggap kurang bersahabat bagi kaum disabilitas secara keseluruhan.

“Bagi saya merdeka dalam  arti  luas adalah Indonesia lepas dari penjajahan, tetapi jujur saja bagi kami (disabilitas) masih merasa kurang merdeka di sini karena fasilitas belum mendukung bagi difabel,” kata Cindy kepada satuharapan.com, Selasa (4/8).

Dia membandingkan  kaum difabel seperti di Singapura sudah ada fasilitas kursi roda di seluruh jenis transportasi umum, jadi kita nggak perlu minta bantuan atau merepotkan orang lain,” kata Cindy.

“Jadi kita 100 persen mandiri, nah sementara disini kita belum mandiri karena faislitas untuk kami belum memadai. Emang sih di mal sudah banyak toilet untuk kaum disabilitas  cuma akses fasilitasnya susah, karena sebenarnya ada di mal yang untuk trolley untuk barang, namun itu  terlalu curam untuk kita,” kata dia.

Dia berharap  Indonesia bisa memperhatikan fasilitas bagi difabel.

“Paling nggak kita jangan dilupakan karena kita warga negara Indonesia,” kata dia.

Dalam kesempatan terpisah, Baharuddin dan atlet kursi roda lainnya, Maria Goretti Samiati, berharap ada perubahan dari pemerintah tentang pandangan terhadap disabilitas.

“Kalau bisa pemerintah lebih memperjuangkan kita, pemerintah jangan diskriminasi pokoknya harus adil lah pokoknya kita orang cacat dipandangnya gimana gitu,” kata perempuan yang biasa disapa Ami itu kepada satuharapan.com, Jumat (7/8) di Gelanggang Olah Raga Rawamangun, Jakarta.

“Pemerintah juga sesekali perlu melihat ke bawah juga. Kita punya hak juga sebagai warga negara dan kita memiliki bakat termasuk untuk fasilitas olahraga. Paling nggak dilengkapi juga, kalau kita juga nih ditambahin bonusnya lagi,” kata Baharuddin.

Sementara itu bagi Udin–atlet panahan difabel nomor kursi roda– kemerdekaan artinya tetap memiliki rasa percaya diri.

“Kalau kita sudah keadaannya begini ya dinikmati aja lah, karena kalau mengeluh ya capek putus asa juga capek, mendingan kita semangat bagaimana caranya agar bisa mengimbangi orang-orang yang normal,” kata Udin.

 

 

 

 

 

Ikuti berita kami di Facebook

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home