Loading...
OPINI
Penulis: Josep Purnama Widyatmadja 00:00 WIB | Kamis, 03 April 2014

Agama dalam Kepemimpinan Politik

SATUHARAPAN.COM - Konstitusi Amerika menjamin bahwa pemilihan Presiden melalui sebuah proses demokrasi yang disebut Pilpres yang berlangsung empat tahun sekali. Seorang Presiden dibatasi menjabat jabatan President paling lama dua periode atau delapan tahun. Konstitusi Amerika menjamin semua  orang tanpa  pertimbangan asal ras dan agama untuk maju jadi calon presiden.

Jesse Jacson seorang senator Demokrat berkulit Hitam pernah mencoba mencalonkan diri sebagai presiden  Amerika Serikat. Tapi ia gagal karena pemilih Amerika Serikat masih terpancang pada kriteria  tak tertulis bahwa seorang presiden Amerika haruslah memenuhi syarat WASP (White, Anglo Saxon Protestant). Mitos WASP   tidak berlaku ketika J.F Kennedy dan Barrack Obama  menjadi presiden Amerika. J.F.Kennedy adalah seorang pemeluk Katolik sedangkan Obama adalah keturunan dari seorang bapa yang berkulit Hitam. Pilihan berdasarkan agama dan ras bukan alasan yang baik untuk memilih calon pemimpin bangsa.

Politik dan Agama

Walaupun Amerika sebuah  negara sekular yang memisahkan negara dan agama,  tapi tidak berarti mimbar agama bebas dari bau politik

Setiap kali Pemilu di Amerika selalu saja ada kelompok Christian Rights (Kristen Kanan) yang berkampanye untuk mendukung kelompok konservatif dari Partai Republik. Gereja  yang beraliran  Konservatif Injili  dan Kharismatik pada umumnya mendukung secara kasat mata platform dari  partai Republik berupa anti-aborsi, pengurangan pajak serta anggaran sosial, dan penguatan pertahanan. Aliansi Partai Republik dengan Kelompok Kristen konservatif di bawah Ronald Reagan maupun George Bush sangat terasa dan mesra. Tak jarang  jaringan mereka sampai di luar Amerika termasuk Indonesia. Dukungan dari kelompok gereja konservatif tidak menjamin bahwa kandidat dari Partai Republik  selalu memenangkan pemilu di Amerika.

Di Filipina dengan umat Katolik sebagai mayoritas pada umumnya kepala negara mereka adalah Katolik kecuali Jenderal Fidel Ramos. Konstitusi Filipina tidak mengharuskan bahwa seorang Presiden harus beragama Katolik.

Ketika revolusi Tiongkok (1911) untuk menumbangkan dinasti Manchu, agama Kristen yang dipeluk oleh Dr. Sun Yat Sen tidak menghalangi kariernya untuk memimpin revolusi Tiongkok. Sun terpilih sebagai Presiden sementara Republik Tiongkok pada tahun 1913, namun kemudian ia menyerahkan kekuasaannya pada Yen Shikai untuk menghindari pertumpahan darah. Tapi  akhirnya  Sun Yat Sen  memenangkan perlawanannya pada Yen Shikai dan  kembali berkuasa pada tahun 1916. Dikemudian hari ia menyerahkan kepemimpinan Tiongkok pada Chiang Kai Shik yang juga seorang pemeluk agama Kristen. Sun Yat Shen  sangat dihormati oleh semua orang Tiongkok maupun perantauan Tionghoa di seluruh dunia karena dia dianggap pemimpin pembaru Tiongkok.

Bagaimana dengan di Indonesia?  

Suka atau tidak suka agama di Indonesia masih menjadi ajang rebutan pengaruh dari berbagai partai politik yang bersaing. Tokoh tokoh agama sering dipakai untuk menjadi caleg dari berbagai partai politik Simbol partai maupun tema dan janji kampanye tak jarang memakai simbol  bernuansa agama tertentu. Tokoh  agama  sering menjadi jurkam maupun pendukung terselubung dari sebuah kontestan.   

Hampir semua capres  melakukan safari politik untuk meminta dukungan atau doa restu dari pemimpin lembaga keagamaan. Kunjungan silahturami ke rumah atau kantor pimpinan  organisasi keagamaan dilakukan guna menjelaskan program partainya. Tak jarang kegiatan kampanye  dengan kedok seminar kebangsaan maupun janji pemberian bantuan.

Menjelang pemilu 2014 beberapa pemimpin lembaga keagamaan Kristen (PGI), Katolik (KWI) maupun Islam sudah memberikan pernyataannya untuk tidak berpihak pada kontestan tertentu. Jauh hari pimpinan N.U dan Muhammadiyah  menyatakan bahwa N.U bukan milik PKB ataupun PPP dan Muhammadiyah bukan milik PAN. Warga N.U dan Muhammadiyah  bebas memilih pilihannya bahkan tidak harus melakukan pilihan berdasarkan kesamaan agama. Pilihan harus berdasarkan calon pemimpin yang mampu menjalankan amanah berdirinya  negara Pancasila dan membawa Indonesia pada kedaulatan serta kemandirian baik politik, ekonomi dan budaya.

Sikap politik N.U dan Muhammadiyah perlu diacungi jempol karena merupakan sebuah kontribusi besar dalam membangun negara berdasarkan demokrasi dan kemajemukan di bumi Pancasila.

 

Penulis adalah pengamat masalah pembangunan dan kebudayaan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home