Loading...
HAM
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 14:49 WIB | Jumat, 17 Maret 2017

Agama dan Moralitas Tantangan Keadilan Gender

Ilustrasi. Massa bidan desa Pegawai Tidak Tetap (PTT) melakukan aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di depan Monumen Nasional, Jakarta, hari Rabu (8/3). Dalam aksi itu mereka menuntut perbaikan kondisi kerja, mengurangi jam kerja, dan jaminan keamanan dan kesehatan bagi buruh perempuan. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai menguatnya arus fundamentalisme agama dan isu moralitas menjadi tantangan utama untuk mewujudkan keadilan gender di Indonesia.

"Memang ada kecenderungan saat ini dari agama, bukan hanya Islam, untuk mengembalikan budaya patriarki yang menghendaki perempuan melakukan peran-peran tradisional sebagai kanca wingking, pengasuh anak, dan penjaga moral keluarga," kata Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei, dalam sebuah talkshow memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta, hari Kamis (16/3) malam.

Dalam acara bertajuk "Breaking Gender Barriers" itu, Imam menuturkan bahwa sinyal-sinyal bangkitnya gerakan Islam fundamentalis dan radikal di Indonesia, serta di berbagai belahan dunia, menjadi sangat mengkhawatirkan terhadap gerakan pemenuhan hak-hak asasi perempuan.

Isu agama dan moralitas yang dimunculkan oleh beberapa kelompok, antara lain yang melihat bahwa gerakan perempuan dapat menghancurkan hak istimewa yang selama ini dinikmati laki-laki, juga berdampak pada rivalitas antargerakan perempuan.

Terlebih, saat ini upaya politisasi agama semakin kuat dilakukan oleh para politisi tidak bermoral yang menggunakan agama bukan untuk membangun kemanusiaan melainkan sebagai alat meraih simpati dan kekuasaan.

Karena itu sejak beberapa tahun terakhir, Komnas Perempuan terus melakukan kajian terhadap peraturan-peraturan daerah diskriminatif yang dapat mengkriminalisasikan perempuan atas nama agama dan moralitas seperti undang-undang tentang pornografi, peraturan yang mengatur tubuh perempuan seperti keharusan mengenakan jilbab, serta larangan keluar rumah pada malam hari.

Meskipun pelibatan perempuan dalam ruang publik dan ruang domestik yang lebih terlindungi sebagai hasil perjuangan panjang gerakan feminis mulai mewujud di Tanah Air, namun berbagai tantangan seperti diungkapkan Imam nyatanya belum dapat diatasi.

Tokoh penggerak dan pemberdayaan perempuan, Saparinah Sadli, pernah menyatakan pemenuhan hak perempuan untuk mencapai kesetaraan gender pada dasarnya mengubah nilai budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai superior dibandingkan perempuan sebagai manusia.

Karena itu, merumuskan kembali visi misi nilai-nilai dan strategi perjuangan, termasuk berkoordinasi dengan gerakan-gerakan perempuan dan gerakan sosial lain menjadi penting untuk segera dilakukan.

"Membedah hambatan pemberdayaan perempuan adalah membedah budaya patriarki, membedah ketidakadilan dan diskriminasi, serta membedah diri kita sendiri," kata Imam mengutip pernyataan Saparinah. (Ant)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home