Loading...
OPINI
Penulis: Nindyo Sasongko 13:00 WIB | Senin, 06 Juli 2015

Agama dan Pernikahan Sejenis: Beberapa Catatan

SATUHARAPAN.COM – Sejak diputuskannya penikahan sejenis (same-sex marriage, selanjutnya SSM) oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS), seluruh dunia sontak menjadi gempar.  Media sosial Twitter, Facebook dan Path dibanjiri oleh beragam berita yang mendukung atau menentang keputusan ini.  Facebook bahkan menyediakan aplikasi tambahan yang dapat mengubah profil penggunanya menjadi pelangi, lambang LGBTQI.  Kaum beragama pun tidak kalah serunya dalam bereaksi. Beragam argumentasi ditulis untuk menunjukkan entah SSM sahih di mata agama atau menentang kebenaran agama.

Tanpa mau menjadi latah, saya sendiri memilih untuk tidak ikut-ikutan.  Saya memilih untuk tidak menautkan berita yang membela posisi SSM atau yang menentangnya.  Hal ini saya lakukan dengan sengaja, bukan karena saya takut pada labelisasi yang diberikan oleh pihak kawan atau lawan.  Saya memikirkan tiga alasan berikut ini. 

Pertama, seolah-olah Amerika Serikat adalah subjek sentral. SSM menjadi booming karena negara adi kuasa ini sekarang mengambil keputusan untuk mengesahkannya.  Padahal, AS adalah urutan negara kedua puluh dari semua negara yang telah meresmikan hubungan sejenis.  Negara jiran Canada sudah mendukung sejak tahun 2005, namun hampir dapat dikatakan bahwa SSM di negara-negara itu bak angin lalu karena subjek pelakunya bukan si mahadigdaya Amerika Serikat.

Posisi mana pun yang dipilih, menerima atau meng-anathema (mengutuk), telah membuat ketegangan antara kaum tradisionalis dan progresif memuncak kembali.  Begitu mudahnya labelisasi diberikan kepada pihak yang berpandangan berbeda.  Bahkan, tidak sedikit yang kemudian meng-unfriend teman yang berpandangan berbeda.  AS telah berhasil memasarkan SSM ke seluruh dunia.

Patut disayangkan, masing-masing pandangan bukan hanya saling tuding terhadap lawan, tetapi tidak disertai dengan kearifan untuk melampaui cara pandang biner—menerima dan meng-anathema.  Yang tidak ada adalah kedalaman dan kematangan gagasan, kejelasan tujuan untuk berdialog dengan kubu yang berseberangan pandangan.  Pertanyaannya, sampai berapa lamakah lagi AS dianggap kiblat keberagamaan dunia?

Kedua, seksualitas selalu lebih marketable daripada isu-isu sosial lainnya.  Seksualitas punya sensualitasnya untuk memikat perhatian khalayak.  Misalnya, dosa-dosa seksual lebih mudah dihardik dari atas mimbar agama Kristen ketimbang korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Mari kita buktikan.  Beberapa hari sebelum keputusan SCOTUS, warga AS dikejutkan dengan penembakan atas sembilan orang kulit hitam di sebuah gereja di Charleston, South Carolina, Paus Fransiskus menerbitkan dokumen sosial Gereja Katolik Laudato si yang mendedah perubahan iklim bumi, “rumah kita bersama.”  Setahu saya, nyaris tidak ada seorang pun teman media sosial di Indonesia yang menanggapi peristiwa-peristiwa historis ini, sama seperti reaksi terhadap keputusan SSM SCOTUS. 

Memang, keputusan SCOTUS menunjukkan bahwa sekarang kaum homoseks mendapatkan hak yang sama dengan warga negara yang lain.  Dalam pada itu masalah sosial tidak sebatas pada genital saja.  (Saya tidak berminat untuk melanjutkan pertanyaan apakah nanti poligami dan pedofilia harus diakui juga di Amerika Serikat).  Isu seksualitas selalu mengundang perhatian khusus, tetapi problem manusia bukan hanya di (maaf) penis dan vagina. 

Di sini, seharusnya kita mulai berpikir, siapa saja yang ada di depan mata kita, yang jelas, konkret, nyata, yaitu mereka yang tidak dianggap manusia, yang didiskriminasi secara sosial dan struktural, yang tidak mendapatkan hak-hak yang sama dengan yang lain dan yang tiap hari hidup dalam baying-bayang ketakutan. Di Amerika, isu homoseksualitas hanyalah satu dari sekian masalah yang menggunung: rasisme, ketimpangan sosial, kekerasan atas nama agama.  Demikian pula, saya yakin, di Indonesia.  Walaupun isu homoseksualitas memiliki daya pikatnya sendiri, dan memang perlu untuk diatasi, tidakkah kita seharusnya membuka mata lebar-lebar akan siapa yang di sekitar kita yang tidak punya hak untuk hidup sama seperti yang lain?

Ketiga, yang paling fundamental adalah karena SSM tidak sesuai dengan Kitab Suci, otoritas tertinggi dalam iman Kristen.  SSM tidak ada di dalam Alkitab, bukan termasuk rencana agung Allah dalam penciptaan mula-mula.  Maka, tidakkah praktik ini menyimpang?

Mari kita tilik ayat mas pernikahan: “Sebab seorang laki-laki dan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24).  Yesus mengutip perkataan ini di Matius 19:5.  Istri jelas merujuk kepada perempuan.  Kalau begitu, ayat ini tidak membenarkan pernikahan sejenis. Maka, SSM tentulah menyimpang.  Tapi, apakah pernikahan tradisional antara laki-laki dan perempuan memiliki dasar alkitabiahnya?  Mari kita perhatikan lebih dekat. 

Subjek di situ adalah “seorang laki-laki”, bukan perempuan dan bukan laki-laki dan perempuan.  Seorang laki-laki memilih untuk pergi dan bersatu dengan istrinya.  Di masa itu, peran orangtua juga besar dalam menentukan pasangan hidup anaknya.  Sebaliknya, perempuan tidak memiliki hak untuk mengatur kehidupan cintanya.  

Jika disimpulkan, perempuan mestinya berdiam diri di rumah, bercadar rapat sampai orangtua memanggilnya dan mengabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang siap meminangnya.  Dengan kata lain, perempuan tidak boleh menyatakan cinta, memilih pasangan dari hati nurani, berpacaran, keluar rumah berduaan dengan pacar di bioskop, mal atau warung mie-bakso.

Laki-laki memiliki otoritas dan dominasi atas perempuan.  Perempuan tidak akan menjadi “yang diempukan,” tetapi bagian dari properti laki-laki.  Dari zaman Siti Hawa sampai Siti Nurbaya, inilah praktik pernikahan tradisional itu.  Inilah pernikahan “mula-mula” itu.  Inilah arti Kejadian 2:24.

SSM memang tidak memiliki dasar biblis.  Namun dasar alkitabiah untuk pernikahan modern pun tidak kalah kaburnya jika didasarkan pada ayat ini.  Kalau ingin jelas dan menerapkan ayat ini, perempuan akan sangat menderita.

Yesus juga mengutip Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”  Allah memang menciptakan satu laki-laki dan perempuan.  Namun, perintah berikutnya hendaklah tidak diabaikan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak.”

Kalimat imperatif ini mengisyaratkan bahwa makin banyak anak, makin banyak pula berkat Allah.  Berapa pun anak yang Allah berikan haruslah diterima dengan syukur.  Setiap kali pasangan melakukan hubungan seksual, yang terpikir semestinya adalah prokreasi, bahwa Allah akan memberikan satu lagi keturunan sebagai berkat Allah, maka jangan ditolak! Sebab itu, pembatasan anak dan pemakaian kontrasepsi tentu saja menentang perintah Kitab Suci.  Keluarga Berencana harus dikutuk.

Relevankan ayat ini di zaman modern?  Sangat relevan.  Apakah orang Kristen tidak cemas jika lima puluh tahun mendatang agama Kristen bukan lagi agama mayoritas?  Menurut analisis para ahli, pada tahun 2050, Muslim akan menyalip Kristen.  Bagaimana jika, seperti yang ditakutkan banyak orang, kekerasan atas nama agama menjadi berlipat kali ganda di dunia, karena orang Kristen sebagai pemberita agama damai lebih memilih membatasi keturunan mereka?  Bukankah berarti benar untuk tidak membatasi multiplikasi natural orang Kristen yang adalah garam dan terang dunia itu?

 

Melampaui yang Biner

Apakah saya mendengar gumaman, “Ngawur baca Alkitabnya!  Harus sesuai konteks zaman itu, dong!”  Sebenarnya, itu jugalah yang ingin saya dengar dari pembaca.  Saya pun tidak bisa menerima penafsiran yang demikian.

Di sini, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak literalis, harfiah, asal ada ayatnya dan asal ada di Alkitab.  Ketika kita mencari dukungan ayat, ingatlah bahwa pasti ada ayat lain yang dapat dipakai untuk melawan ayat yang dikemukakan.

Saya pun tidak menawarkan kita beragama secara interpretif, yaitu mencari makna asli bagian Alkitab lalu menerapkannya untuk masa kini.  Terbukti di atas, sulit sekali dilakukan. Marilah kita menjadi kaum beragama yang hermeneutis, membaca teks kitab suci dari dalam, bersama, dan melampaui konteks kita.

Agama hermeneutis menerima fakta keterbatasan pemahaman kita akan teks suci.  Alkitab tidak berubah, tetapi pemahaman kita itulah yang selalu dikondisikan oleh bermacam-macam konteks.  Jadi, posisi doktrinal bisa berubah, namun hal ini menunjukkan bahwa kita serius bergumul dengan Kitab Suci; kita akrab dan bergaul dengannya hari demi hari.  Justru di sinilah, nyata kecintaan kita yang mendalam kepada Allah, sesama dan seutuh ciptaan.

Bagaimana menjadi kaum beragama yang hermeneutis dalam konteks LGBTQ?  Sekali lagi, saya tidak terlalu berminat pada debat seputar penis dan vagina.  Saya ingin meluaskan pertanyaan begini: Bagaimana menjadi agama yang hermeneutis dalam konteks ketidakadilan multidimensi—sosial dan ekologis? 

Daripada menjadi umat yang membaca Kitab Suci untuk kaum liyan (the other), tidakkah lebih baik membacanya bersama kaum liyan?  Dengan menghadirkan mereka untuk duduk bersama umat, mendengarkan langsung cerita-cerita hidup mereka, pergulatan batin dan kesulitan hidup mereka, umat beragama diajak untuk berefleksi:  Siapa Sang Ilahi menurut kaum liyan ini? Gambaran Allah seperti apa yang mereka kenal? Apa yang mereka yakini tentang pekerjaan Allah dalam hidup mereka?  Siapa kaum ini di mata Sang Ilahi? Apakah Allah mengasihi mereka? Apa tujuan yang Allah tetapkan bagi mereka? 

Lalu, biarkan ada ruang tanpa kata-kata setelah mendengarkan tuturan sang liyan (silence).  Jangan ada sanggahan atau reaksi intelektual.  Belajarlah untuk menerima (receiving) dari yang lain.  Menerima (receiving) belum tentu menyetujui (accepting) atau meyakini (affirming).  Umat bisa tidak setuju dengan pandangan mereka.

Langkah selanjutnya adalah refleksi teologis intern umat, yaitu refleksi yang dilakukan setelah pengalaman konkret—pengalaman perjumpaan langsung, untuk mendengar dengan empati dan memberikan ruang tanpa kata-kata (silence) itu.

 

Penulis adalah rohaniwan, mengambil konsentrasi tentang Transforming Spirituality di School of Theology and Ministry, Seattle University


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home