Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 16:33 WIB | Sabtu, 18 Februari 2017

Ahok Tidak Perlu Diberhentikan Sementara dari Jabatannya

Ilustrasi: Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama saat meresmikan mesin parkir meter di sebuah rumah makan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat pada 2014. (Foto: Dok. satuharapan.com/ Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Sumatera Utara, Budiman Sinaga, mengemukakan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu diberhentikan dari posisinya sebagai kepala daerah, walau saat ini berstatus terdakwa dalam dugaan kasus penodaan agama.

“Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak perlu bahkan tidak boleh diberhentikan sementara oleh Presiden Joko Widodo jika berdasarkan kedua ketentuan tersebut, terlebih jika Presiden berpendapat Ahok sebagai wakil Pemerintah Pusat ternyata telah melaksanakan tugas dan wewenang yang dilimpahkan dengan baik,” kata Budiman Sinaga saat memberi materi di seminar “Haruskah Kepala Daerah Status Terdakwa Dinonaktifkan”, di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, hari Jumat (17/2).

Budiman Sinaga menjelaskan saat ini terdapat dua ketentuan berbeda yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap seorang kepala daerah yang melakukan pelanggaran, yang pertama yakni dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).  

“Pasal 156a KUHP menyatakan maksimum lima tahun penjara, sedangkan Pasal 83 ayat 1 UU Pemda menyatakan minimum lima tahun hukuman penjara,” kata dia.

UU No.23 Tahun 2014 Pasal 83 terdiri dari lima ayat, dalam ayat pertama berbunyi : “Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tidak pidana korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah negara,” demikian bunyi ayat pertama dari ayat pertama dari pasal tersebut.

Budiman menambahkan berdasar UU Pemda dapat diketahui bahwa seorang gubernur merupakan wakil pemerintah pusat.

Budiman menambahkan, dalam hal ini, pemerintah pusat adalah Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia, yang dibantu wakil presiden dan menteri seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. “Dengan kata lain, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah wakil pemerintah pusat atau Presiden Joko Widodo,” kata dia.

Budiman mengatakan seorang presiden mengetahui gubernur-gubernur yang melaksanakan tugas dan wewenang yang dilimpahkan, maupun kepala daerah mana saja yang tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan.

“Sangat tepat jika presiden memberhentikan seorang gubernur yang tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang dilimpahkan, akan tetapi sangat tidak tepat jika presiden memberhentikan gubernur yang melaksanakan tugas dan wewenang yang dilimpahkan,” kata dia.

Budiman mengacu kepada pendapat ahli hukum, Van Der Pot, yang mengatakan Hukum Tata Negara merupakan hukum yang mengatur tentang hubungan badan-badan dengan individu warga negara.

Menurut dia, dalam kerangka hukum Tata Negara, dapat diartikan hubungan antara Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama juga diatur dalam kedudukan mereka masing-masing sebagai warga negara.

Budiman mengatakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh semata-mata dimaknai sebagai perintah untuk melakukan sesuatu melainkan juga sebagai larangan.

“Oleh karena itu, pasal 83 ayat 1 UU No 23 Tahun 2014 tidak boleh hanya dimaknai sebagai perintah untuk melakukan pemberhentian, namun juga larangan untuk melakukan pemberhentian sementara,” kata dia. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home