Loading...
RELIGI
Penulis: Martahan Lumban Gaol 12:46 WIB | Rabu, 05 Agustus 2015

Ahwa, Sistem Pemilihan Antisipasi Politik Uang

Novriantoni Kahar di Stand Art NU Area Muktamar ke-33 NU, alun-alun Jombang, Jawa Timur, hari Rabu (5/8). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JOMBANG, SATUHARAPAN.COM – Sistem pemilihan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhirnya disepakati menggunakan sistem Ahlul Halli Wal'aqdi (Ahwa). Dalam Rapat Forum Syuriah yang diikuti 496 Rais Syuriah pengurus wilayah maupun cabang seluruh Indonesia, pada Selasa (5/8), sebagian besar peserta memilih sistem Ahwa untuk memilih Rais Aam PBNU.

Menanggapi masalah Ahwa, Dosen Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar, mengatakan penyebab gagasan tersebut muncul adalah kegelisahan warga Nahdliyini dengan sistem pemilihan kompetisi terbuka melibatkan seluruh muktamirin yang rentan politik uang, kurang menempatkan ulama di posisi layak, dan menimbulkan kegaduhan serta pertentangan.

“Gagasan ini muncul karena ada kegelisahan sistem yang sepenuhnya kompetisi terbuka melibatkan seluruh muktamirin dianggap rentan politik uang, dianggap kurang menempatkan ulama pada posisi yang layak, dan terlalu menimbulkan kegaduhan dan pertentangan,” ucap Novriantoni saat ditemui satuharapan.com, di alun-alun Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8) malam.

Dia melanjutkan, warga Nahdliyin juga merasa posisi Rais Aam seharusnya diisi seorang ahli atau ulama disegani. Bahkan, harus memliki keyakinan tinggi dan tidak suka politik praktis. “Saya kira bagus sistem Ahwa bagus cuman bila diterapkan sampai level pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU itu agak berlebihan. Sebab, tidak mudah merenggut kebebasan memilih yang sudah diberikan kepada seseorang,” kata Novriantoni.

Terlebih, ucap dia, dalam pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU selalu menngutamakan hadirnya karakter ulama, bukan mencari orang yang ahli di bidang adminstrasi atau manajerial.

“Kalau ada tiga orang calon Ketua Umum Tanfidziah PBNU, pertama andal administrasi, kemudian ada mantan politikus, kemudian terakhir ulama, pasti warga NU pilih yang terakhir.  Karena walau tidak pandai manajerial, masih ada hitungan begitu,” tutur Novriantoni.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home