Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 19:49 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

AIDA Nilai Korban Bom Kurang Mendapat Ruang di Media

Deputi Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Laode Arham di dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media, di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, hari Rabu (25/5). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Laode Arham menilai pemberitaan di media massa terkait korban aksi teror bom kurang mendapatkan ruang untuk di publikasikan.

“Tidak hanya pemerintah, dalam pemberitaan di media massa terkait korban aksi teror juga kurang mendapatkan ruang. Wartawan hanya meliput mereka (korban) pada saat terjadinya peristiwa. Sementara setelah peristiwa selesai, mereka dilupakan begitu saja, luput dari pemberitaan,” kata Laode Arham dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media, di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, hari Rabu (25/5).

Selain itu, kata Laode Arham untuk porsi pemberitaan para korban pun masih minim bila dibandingkan dengan pemberitaan para pelaku teror baik yang tertangkap hidup maupun yang meninggal dunia.

Sementara, itu pihaknya pun menyayangkan kebanyakan media dalam memberitakan soal korban masih bersifat hard news, bukan soft news.

“Liputan tentang korban sejatinya sangat soft, jauh dari sensasional apalagi kontroversial,” kata dia.

AIDA meminta kerja sama para awak media untuk lebih pro pada korban aksi tindak terorisme sehingga acara-acara peringatan aksi pemboman tidak luput dari perhatian media.

‪”Hal itu penting agar para korban semakin dekat untuk mendapatkan seluruh hak-hak dan peran mereka yang selama ini terabaikan,” kata dia.

Selain itu, kata Laode Arham, AIDA menilai hak-hak korban kasus tindak pidana terorisme oleh pemerintah masih sangat lemah.

‪”Hak-hak mereka masih diabaikan, tidak diperhatikan oleh pemerintah,” kata dia.

‪Laode berpendapat berdasarkan pengakuan dari beberapa korban, pada waktu kejadian pemboman, tidak sedikit dari mereka yang harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis karena menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah.

‪”Pemenuhan hak-hak korban masih sangat lemah, baik secara regulatif, pengakuan eksistensial, bahkan kebanyakan masih berpikir tidak ada komunitas korban,” kata dia.

‪Laode mengatakan ada empat poin hak korban yang harus dipenuhi oleh pemerintah yakni bantuan medis, bantuan psikologis, bantuan rehabilitasi psikososial dan kompensasi.

Pemerintah Tak Punya Hati kepada Korban Teror Bom

Sementara itu penyintas pengeboman Kedubes Australia pada Tahun 2004 atau yang biasanya disebut Bom Kuningan, Nanda Olivia Daniel, mengatakan bahwa pada waktu bom Kuningan itu dirinya di rawat di Rumah Sakit (RS) Medistra, karena mengalami luka-luka di bagian tangan, bahu, dan gendangan telinganya sobek.

“Artinya dari pihak pemerintah tidak ada perhatian sama sekali, entah gak punya hati, dan lain-lain,” kata Nanda saat di konfirmasi satuharapan.com.

“Pada saat kejadian waktu itu  korban bom ditampung dan biaya pengobatanya katanya ditanggung oleh pemerintah cuma waktu itu pemerintah membuat pernyataan bahwa yang ditanggung hanyak kelas, tiga terus sehari setelah dari RS mendapatkan pengumuman diperbarui lagi bahwa biaya yang ditanggung pemerintah hanya kelas dua dan beberapa korban pada saat itu di RS Medistra dan saya juga,”dia menambahkan.

Selain itu, kata Nanda, kebanyakan korban adalah Satpam Kedubes Australia dan orang-orang Kedutaan.

“Saya ditempatkan di kelas satu. Hanya saja jadi masalah pada saat keluar RS ada selisih biaya dan itu dibebankan kepada para korban karena ada yang ditanggung pemerintah itu hanyak kelas dua,” kata dia.

Kemudian, kata Nanda di Minggu pertama kejadian bom tersebut pihak Kedubes Australia membesuk seluruh korban bom dan menawarkan untuk berobat ke Australia.

“Beberapa kita ditawarkan untuk pengobatan ke luar negeri terutama saya ditawari berobat ke Australia dan semua dari biaya akomodasi dan tiket, makan dan semua ditanggung oleh pihak Kedubes Australia,” kata dia.

“Saya dirawat sebulan di Medistra dan lanjut dikirim ke Australia. Selama dua Minggu saya di RS setelah itu selama delapan bulan saya tinggal di Perth, Australia,” dia menambahkan.

Dampak dari ledakan bom Kuningan tersebut, Nanda dioperasi di Australia untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Semua biaya dan akomodasi ditanggung oleh pihak Kedubes termasuk memberikan santunan kepada Nanda selama dua tahun.

Nanda dan sekitar 40 korban lainnya mendapatkan santunan dari Kedubes Australia. Biaya santunan itu juga disesuaikan dengan korban baik pengobatan dan santunan jangka pendek, menenengah maupun jangka panjang. Nanda juga menuturkan pemerintah memberikan bantuan tetapi sebatas biaya selama di rumah sakit.

“Mereka masih diberi santunan setiap bulan sebesar penghasilan mereka dan biaya hidup kita selama  sebulan,” kata dia.

“Semua korban nominalnya beda- sesuai dengan kebutuhan sehari-hari dan kita diwawancara sebelumnya oleh mereka dapat tunjungannya, kalau saya dari tahun pertama mendapatkan Rp 1,8 juta tiap bulan itu sesudah balik dari Australia.Mulai tahun kedua berkurang dan mendapatkan Rp 1,6 juta. Setiap orang beda,” dia menambahkan.

Nanda berharap kepada pemerintah bantuan seperti ini bukan hanya korban teroris saja tetapi juga untuk pelanggaran-pelanggaran lain.

“Pemerintah harus lebih peduli dan perhatian kepada efek sosiologis yang akan terjadi nanti, pemerintah harus mengantisipasi itu dan harus peduli,” kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home