Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 04:44 WIB | Selasa, 02 Juni 2015

Akar Ijazah Palsu

Ilustrasi ijazah palsu. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini, kasus ijazah palsu menghebohkan masyarakat. Kasus ini menyeruak setelah razia Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) terhadap dua perguruan tinggi yang dicurigai mengeluarkan ijazah palsu alias abal-abal. Disinyalir, ada belasan perguruan tinggi yang melakukan penjualan ijazah mulai dari Sarjana –S1, Magister –S2 maupun Doktor –S3. Bahkan ada tempat kursus yang mengeluarkan ijazah kesarjanaan layaknya perguruan tinggi. Polisi telah menangkap beberapa orang yang menjual ijazah tersebut di Jakarta, Batam, dan Medan.

Ada empat jenis ijazah palsu yang beredar atau dimiliki orang-orang tertentu. Pertama seseorang memperolehnya dengan membeli tanpa terdaftar sebagai mahasiswa. Kedua, ijazah didapat setelah mendaftar sebagai mahasiswa tapi tidak mengikuti kuliah. Ketiga, seseorang terdaftar dan hanya mengikuti kuliah beberapa kali lalu diberi ijazah. Keempat, seseorang terdaftar, mengikuti kuliah atau bimbingan namun tidak memenuhi syarat kualitas perkuliahan dan karya ilmiah tetapi ditamatkan dan diberi ijazah. Untuk mendapatkan ijazah tersebut yang terpenting adalah “bayar”.

Akibat Budaya dan Sistem Kepegawaian

Memiliki ijazah dan gelar kesarjanaan adalah sebuah prestise atau kebanggaan. Ini karena budaya masyarakat masih sangat kuat memberi penghargaan kepada orang yang memiliki ijazah dan gelar. Apalagi, ijazah menjadi syarat pertama dan utama administratif untuk seseorang diterima bekerja dan mendapatkan tingkat kepangkatan dan jabatan yang menentukan perolehan fasilitas kekuasaan, gaji dan tunjangannya terutama di instansi pemerintahan, TNI dan Polri. Di sini sistem administrasi kepegawaian sangat berpengaruh terhadap kepemilikan tingkatan ijazah kesarjanaan, apakah S1, S2 atau S3. Walaupun, sebenarnya, ijazah tidak menjamin bahwa seseorang memiliki kualifikasi atau kompetensi sesuai ijazah kesarjanaannya; apalagi jika ijazahnya palsu. Akibatnya banyak orang yang ingin mendapatkan ijazah kesarjanaan itu dengan cara baik wajar maupun tidak wajar.

Kebutuhan pada ijazah tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang atau lembaga perguruan tinggi yang berorientasi profit finansial sebesar-besarnya dengan cara apa pun. Ada yang mudah meluluskan mahasiswa; ada yang memberi ijazah tanpa mahasiswa mengikuti kuliah wajar; dan ada yang langsung menjual ijazah. Disinyalir, banyak orang yang mendapatkan dan menggunakan ijazah palsu atau abal-abal bekerja sebagai pegawai negeri dan aparat negara. Karena itu, Yudhi Krisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah memerintahkan pemeriksaan terhadap ijazah mereka terutama yang menduduki jabatan struktural.

Saat ini mutu lulusan dan ijazah mahasiswa baik program S1, S2 dan bahkan S3 di banyak perguruan tinggi di Indonesia belakangan ini menjadi sangat diragukan. Hal ini karena berbagai kasus seperti jual-beli ijazah; mahasiswa tidak mengikuti perkuliahan yang wajar tetapi lulus dan mendapat ijazah; dosen pembimbing dan penguji yang mudah menyetujui dan menandatangani karya tulis mahasiswa; serta kasus-kasus “joki” dalam penulisan skripsi, tesis dan bahkan disertasi.  

Penyebab tindakan kriminal dan tidak etis di atas tentu pertama terletak pada orang-orang yang bersangkutan; ada greedy, ketamakan atau keserakahan karena pengaruh materialisme. Kedua, budaya yang mengutamakan ijazah, gelar kesarjanaan dan jabatan yang diperoleh sebagai ukuran keberhasilan hidup. Dan ketiga, sistem pengelolaan kepegawaian khususnya di instansi pemerintahan, TNI dan Polri yang mengutamakan pemenuhan syarat-syarat administratif seperti tingkat kesarjanaan untuk memperoleh status golongan kepegawaian yang tinggi, kepangkatan akademis dan tunjangan tambahannya.

Kepalsuan lain yang ditemukan dalam masyarakat Indonesia seperti beras palsu, yaitu beras sintetis-plastik. Ini sama dengan kasus bakso, tahu dan kikil yang diberi boraks dan formalin; uang palsu yang menjadi gejala menjelang bulan puasa dan Lebaran; batu akik palsu, sertifikat palsu, perusahaan serta proyek palsu atau fiktif. Ada juga VCD atau DVD palsu atau bajakan; serta merek fashion atau mode pakaian, tas atau sepatu palsu.

Persoalan Kriminal dan Etis

Ijazah, beras, uang, dan lain-lain yang palsu merupakan hasil tindakan kriminal. Penyedia, penjual dan pengguna ijazah palsu dan hal-hal lain yang palsu telah melakukan penipuan terhadap lembaga dan masyarakat. Lembaga atau negara sebagai pemberi kerja dirugikan karena memberikan fasilitas lebih berdasarkan ijazah itu tetapi kemampuan dan keterampilannya tidak memadai. Gaji atau pendapatan yang diterimanya tidak sesuai dengan kompetensi dan hasil kerja. Masyarakat yang mendapatkan pelayanan mereka tentu dirugikan. Ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Ijazah palsu atau abal-abal juga bermasalah secara etis. Ini menunjukkan perilaku tidak baik bukan saja terhadap orang lain tetapi juga terhadap diri sendiri. Terhadap orang lain, itu berarti mengambil hak mereka untuk mendapatkan mutu pelayanan yang layak. Terhadap diri sendiri, ada pembohongan. Diri sendiri tidak dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Dirinya dihargai dengan ijazah, pekerjaan, jabatan dan materi yang didapat. Seolah-olah dirinya tidak berharga jika tidak memiliki semua itu. Seharusnya ada rasa malu terhadap perilakunya. Juga, dan ketidakjujuran intelektual; soal penghargaan terhadap keilmuan terkait. Ada masalah integritas diri; ada korupsi dan pelacuran intelektual-akademis. Etika atau moralitas masyarakat umum dan agama sama-sama menolak perbuatan ini.

Bagaimana Seharusnya?

Idealnya, mengukur kompetensi seseorang, terlebih yang sudah sarjana S1, S2 atau S3 adalah dari hasil karya akademis dan kinerja di bidangnya. Kelayakannya harus benar-benar diuji dalam keilmuannya dan juga oleh publik; tidak hanya sekadar ada ijazah dan karya yang memenuhi prosedur dan dapat diterima sistem. Pihak yang berwenang di lembaga pendidikan dan pemberi kerja harus melakukannya. Ini demi menghindari pemalsuan, plagiat atau penjiplakan dan pembajakan, perjokian dan mutu abal-abal dari karya atau kinerja dari orang yang bersangkutan. Pemerintah melalui kementerian pendidikan (Kemendikbud dan Kemenristek Dikti) dan pihak penegak hukum harus tegas dalam menangani kasus pemalsuan tersebut. Akhirnya, tentu, di pihak pelaku, baik penyedia jasa dan pengguna ijazah palsu dan abal-abal, perlu menyadari keburukan perilaku itu dan menyadari sisi kesalahan dan kejahatannya.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home