Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 15:27 WIB | Kamis, 02 Februari 2017

Akibat Trump, Perempuan Yazidi Batal Terima Hadiah

Ilustrasi: Perempuan Yazidi yang menjadi wakil di Parlemen Irak, Vian Dakhil. (Foto: iraqinews.com)

BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM – Perempuan Yazidi yang menjadi wakil di Parlemen Irak, Vian Dakhil, mendapat penghargaan Lantos Human Rights Prize di Washington D.C, Amerika Serikat (AS). Namun Dakhil tidak mungkin menghadiri upacara penganugerahan tersebut pada 8 Februari mendatang, karena Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan kebijakan imigrasi yang ketat bagi warga asing yang berasal dari tujuh negara termasuk Irak.

Seperti diberitakan Religion News, hari Kamis (2/2) Vian Dakhil menyita perhatian dunia dua tahun lalu, ketika ia membuat permohonan untuk menyelamatkan agama minoritas Yazidi dari pemusnahan yang dilakukan kelompok ekstremis, Islamic State Iraq and Syria (ISIS) di Irak utara.

Sebagai satu-satunya Yazidi perempuan di Parlemen Irak, Dakhil berjuang tanpa lelah untuk melobi bantuan internasional untuk menghentikan kekerasan, termasuk perbudakan seksual, yang menargetkan orang-orang yang berada di wilayah tersebut.

“Saya tidak melawan presiden yang berusaha  melindungi negara dan rakyatnya. Dia memiliki hak untuk membatasi pintu masuk teroris ke AS,” kata Dakhil.

"Saya hanya merasa sedih bahwa kita yang mengalami penderitaan akibat terorisme di Irak ini sekarang mendapat perlakuan yang sama seperti para ekstremis, dengan larangan ini  Trump telah menempatkan penjahat dan korban pada tingkat yang sama,” kata Dakhil.

Dakhil telah bekerja tanpa lelah dalam upaya pembebasan hingga 700.000 etnis Yazidi yang terancam oleh pembersihan etnis yang dilakukan ISIS. Sementara itu setiap hari dia menerima ancaman kematian pribadi. 

“Yazidi adalah yang paling rentan dan menghadapi ancaman kekerasan, ketika ISIS menyerang desa kami di Sinjar," kata dia.

“Mereka menculik dan memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang. Saat ini masih terdapat  lebih dari 1.000 keluarga yang hilang di bawah kontrol ISIS dan kami tidak yakin tentang nasib mereka,” kata Dakhil.

Presiden Lantos Foundation, Katrina Lantos Swett, mendesak Trump untuk membatalkan kebijakan  tersebut. 

Swett mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi aktivis hak asasi manusia yang bekerja sama dengan AS untuk mempromosikan kebebasan beragama.

“Ketika kita mempertanyakan apakah seorang pahlawan seperti Dakhil, yang telah mempertaruhkan hidupnya untuk melawan genosida ISIS, tidak diizinkan masuk ke negara yang menjunjung tinggi HAM, maka kita semua harus sangat prihatin,” kata Lantos Swett.

“Larangan ini merendahkan keamanan AS dan nilai-nilai kehidupan kita dengan mengkhianati teman-teman dan sekutu kita," kata dia.

Lantos Foundation meminta pemerintah Trump membatalkan kebijakan tersebut karena keliru dan kontra-produktif." Yayasan ini adalah nama untuk Tom Lantos, yang selamat dari peristiwa holocaust dan mantan anggota Kongres California.

Dakhil terinspirasi mantan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, yang memimpin serangan udara dan melakukan upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan ribuan Yazidi yang terperangkap dalam serangan oleh kelompok ISIS pada tahun 2014.

Dia secara pribadi melakukan misi penyelamatan atas nama ribuan perempuan dan gadis yang tetap diperbudak oleh organisasi teroris di Irak dan Suriah.

Dakhil merasa terhormat untuk menerima pengakuan dari Lantos Foundation, yang pemenang sebelumnya mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, Dalai Lama dan mantan Presiden Israel Shimon Peres.

“Penghargaan ini akan membawa banyak perhatian terhadap nasib kami,” kata dia.  (religionnews.com)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home