Loading...
ANALISIS
Penulis: Sabar Subekti 06:23 WIB | Minggu, 02 Agustus 2020

Alasan di Balik Penundaan Setahun Pemilihan Legislatif Hong Kong

Pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam. (Foto: dok. AFP)

SATUHARAPAN.COM-Pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, pada hari Jumat (31/7) menyatakan menunda pemilihan legislative yang rencananya dilakukan pada 6 September selama setahun. Alasan menunda pemilihan anggota badan legislatif kota yang dikuasai China itu, karena alasan meningkatnya kasus virus corona. Namun keputusan itu menjadi pukulan bagi oposisi pro demokrasi yang berharap dapat memperoleh keuntungan besar.

Keputusan itu muncul setelah ada 12 kandidat pro demokrasi didiskualifikasi dari mencalonkan diri karena dianggap menyimpan niat subversif dan menentang undang-undang keamanan baru yang diberlakukan oleh Beijing. Hal ini memicu pertanyaan di antara banyak orang tentang apakah pandemi adalah alasan sebenarnya untuk penundaan tersebut.

"Menunda pemilihan September selama satu tahun adalah langkah sinis untuk mengendalikan keadaan darurat politik, bukan kesehatan masyarakat," kata Sophie Richardson, direktur China di Human Rights Watch. "Ini hanya memungkinkan Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, untuk menolak hak orang Hong Kong untuk memilih pemerintah mereka."

Avery Ng, Sekretaris Jenderal Liga Sosial Demokrat di Hong Kong, juga sama skeptisnya tentang keputusan ini. "Jelas Partai Komunis China menggunakan COVID-19 sebagai kedok untuk menghentikan warga Hong Kong memilih lawan pemerintah dan mencegah calon mayoritas demokrat menang," katanya dikutip Reuters.

"Bersama dengan diskualifikasi massa kandidat, PKC... hanya memungkinkan pemilihan di mana mereka dapat mengontrol hasilnya," katanya.

Pandemi COVID-19 Dijadikan Alasan

Pihak oposisi bertujuan untuk membangkitkan gelombang kebencian atas hukum keamanan nasional untuk memenangkan mayoritas di Dewan Legislatif, di mana separuh kursi dipilih langsung, dan separuh lainnya diisi sebagian besar oleh orang-orang yang ditunjuk oleh pro Beijing.

Lam mengatakan dia harus meminta undang-undang darurat untuk menetapkan penundaan, dan tidak ada pertimbangan politik yang terlibat. Parlemen China akan memutuskan bagaimana mengisi kekosongan legislatif itu, tambahnya.

Dia mengatakan kepada wartawan bahwa keputusan itu bertujuan untuk menjaga kesehatan masyarakat. "Kami memiliki tiga juta pemilih dalam satu hari di seluruh Hong Kong, aliran orang seperti itu akan menyebabkan risiko tinggi infeksi," kata Lam.

Hong Kong telah melaporkan lebih dari 3.000 kasus virus corona sejak Januari, jauh lebih rendah daripada di kota-kota besar lainnya di dunia. Tetapi jumlah infeksi baru telah tercatat dalam tiga digit selama 10 hari terakhir.

Pusat keuangan saingan Singapura itu yang memiliki wabah virus corona yang lebih besar, mengadakan pemilihan umum pada bulan Juli. Banyak aktivis pro demokrasi curiga Lam akan menggunakan virus corona untuk menunda pemilihan.

Merongrong Otonomi

Pemilihan itu akan menjadi pemilihan resmi pertama di bekas koloni Inggris itu sejak Beijing memberlakukan undang-undang keamanan untuk mengatasi apa yang secara luas didefinisikan China sebagai pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing, dengan ancaman hukuman seumur hidup di penjara.

Hong Kong kembali ke China pada tahun 1997 di bawah kesepakatan formula "satu negara, dua sistem" yang menjamin kebebasan yang tidak dinikmati di daratan. Para pengkritik undang-undang baru itu mengatakan itu merongrong otonomi.

Pemerintah China dan Hong Kong mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk menjaga ketertiban dan kemakmuran setelah berbulan-bulan protes anti-China yang kerap terjadi di tahun lalu.

"Saya mengantisipasi hal itu, karena gerakan sosial tahun ini, kami sudah mengantisipasi bahwa pemerintah tidak akan memberi kami hak untuk kami memberi suara," kata warga Janis Chow, 25 tahun. "Saya kecewa tetapi saya siap untuk itu."

Pembersihan Lawan Politik

Berita tentang penundaan datang ketika periode nominasi untuk kandidat yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan ditutup. Di antara 12 kandidat oposisi yang didiskualifikasi adalah Joshua Wong, yang naik ketenarannya dalam protes pro demokrasi di Hong Kong saat masih remaja pada periode 2012 dan 2014.

"Menghambat saya untuk mencalonkan diri... tidak akan menghentikan perjuangan kami untuk demokrasi," kata Wong, 23 tahun.

Wong, yang disebut China sebagai "tangan hitam" pasukan asing, mengatakan pembatalannya "tidak sah dan konyol" dan undang-undang baru itu merupakan "senjata hukum yang digunakan untuk melawan para pembangkang".

Pemerintah menyangkal sensor politik atau penindasan hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Pihak berwenang juga mendiskualifikasi beberapa anggota Partai Sipil, kelompok oposisi lama pengawal yang moderat, dan yang lain yang memenangkan suara "pemilihan pendahuluan" tidak resmi yang diadakan oleh kubu oposisi bulan ini.

Pemungutan suara yang terorganisir secara independen itu membuat generasi demokrat yang lebih muda dan lebih pemberani mengambil alih kepemimpinan oposisi, tetapi diskualifikasi Partai Sipil mengisyaratkan Beijing menjadi kurang toleran terhadap suara, bahkan mereka yang moderat sekalipun.

Inggris mengatakan jelas bahwa para kandidat telah dilarang karena pandangan politik mereka. Gubernur terakhir Inggris di Hong Kong, Chris Patten, menyebutnya "pembersihan politik yang keterlaluan".

Kantor Urusan Hong Kong dan Makau China mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa para pejabat akan dikirim ke Hong Kong untuk melakukan tes virus corona skala besar "untuk membantu Hong Kong membangun pusat karantina dan perawatan skala besar." Lagi-lagi ini memicu kekhawatiran di antara beberapa warga setempat, kali ini China dapat menggunakan pandemic ini sebagai alasan untuk mengumpulkan sampel DNA untuk tujuan pengawasan. (Sumber: Reuters)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home