Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 16:06 WIB | Jumat, 20 Oktober 2017

Amnesty Internasional RI Nilai Buruk Kinerja HAM Jokowi-JK

Ilustrasi. Mantan Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, saat memasuki persidangan penodaan agama di Jakarta. (Foto: Dok. satuharapan.com/Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Amnesty Internasional Indonesia menilai kinerja penanganan masalah hak-hak asasi manusia pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama tiga tahun terakhir buruk karena masih terjadi pelanggaran-pelanggaran, seperti membatasi kebebasan berekspresi, berkeyakinan, beragama dan berkumpul secara damai, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan dalam jumpa pers di Jakarta, hari Kamis (19/10).

Selain itu, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi juga tidak mengalami kemajuan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik tiga tahun lalu, pada 20 Oktober 2014. Dalam Nawacita, sebuah janji politik di masa kapanye pemilihan presiden pada 2014, pasangan Jokowi-Kalla menjanjikan penanganan HAM, antara lain anti diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas, kebebasan beragama, menjamin hak-hak kesehatan, hak atas pendidikan, hak masyarakat adat dan hak atas lingkungan.

Mengenai kebebasan berekspresi, Usman menjelaskan, pemerintahan Jokowi-JK memulainya cukup positif dengan memberikan grasi kepada para aktivis politik Papua. Tetapi kebijakan positif ini berhenti ketika pemerintahan Jokowi-JK tidak mendapat dukungan DPR untuk memberikan amnesti kepada tahanan-tahanan aktivis politk Papua dan Maluku.

Pasal Penodaan Agama

Usman juga menyayangkan pemerintahan Presiden Jokowi yang masih menerapkan pasal-pasal penodaan agama di berbagai produk hukum. Contohnya, kasus penodaan agama yang berujung hukuman penjara bagi mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Usman menambahkan selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla, ada 16 orang yang divonis bersalah atas dakwaan penodaan agama. Ini belum termasuk mereka yang dijadikan tersangka dalam perkara penodaan agama. Pemerintah juga masih menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Infomasi dan Transaksi Elektronik dan sejumlah aturan lainnya.

Tendensi negatif menyangkut isu penodaan agama, kata Usman, juga terlihat ketika Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan SKB pada Februari 2016 yang menyatakan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sebagai ajaran sesat.

Amnesty International Indonesia menilai pemerintah daerah dan pusat tidak mampu menghalau amuk massa yang menyerang komunitas Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat. Penyerangan ini dilanjutkan dengan memindah paksa warga komunitas Gafatar ke berbagai daerah di Indonesia.

Sementara di Jawa Barat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat masih belum berhasil membuka kembali gereja GKI Taman Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan proses pendiriannya telah sesuai prosedur hukum.

Pemerintah pusat, kata Usman, gagal menghadapi kelompok intoleran yang menentang pendirian gereja tersebut.

Hal serupa, lanjut Usman, juga terjadi pada 12 Oktober 2015 pada saat pemerintah Aceh memutuskan menutup 10 gereja Protestan di Desa Suka Makmur, di Gunung Meriah, Aceh Singkil. Kegagalan memberikan jaminan beribadat juga terjadi baru-baru ini di Depok, Jawa Barat. Wali Kota Depok menyegel mesjid yang digunakan komunitas Ahmadiyah.

Usman menyatakan kasus pembubaran kegiatan-kegiatan terkait peristiwa 1965, penangkapan masal terhadap aktivitas politik damai di Papua, kekerasan dan kriminalisasi pada petani dan aktivis lingkungan dan sejumlah kasus pelanggaran lainnya juga membuat kepemimpinan Jokowi-JK terkesan tidak serius menangani masalah HAM.

“Sehingga laporan-laporan persoalan hak asasi manusia terus hadir dan bahkan penggunaan pasal-pasal pemidanaan yang represif, yang mengekang kemerdekaan berekspresi, dari mulai pasal-pasal makar, penodaaan agama, sampai dengan pencemaran nama baik, itu terus terjadi,” kata Usman.

Reformasi Agraria Alami Kemajuan

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandra Moniaga, menjelaskan soal penanganan pelanggaran HAM berat kondisinya belum banyak berubah, terutama penanganan korban. Pemerintah dinilai tidak memiliki satu sikap dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan antar kementerian atau pemimpin lembaga negara memiliki sikap berbeda.

Mengenai reformasi agraria, Sandra mengatakan sudah ada sedikit kemajuan dalam tiga tahun masa pemerintahan Jokowi-Kalla.

“Ada beberapa hal yang cukup menarik, masyarakat adat misalnya. Sudah ada hutan adat yang diakui. Ini pertama sejak Indonesia merdeka, pengakuan hutan adat baru pertama,” kata Sandara.

“Sayangnya masih sangat sedikit. Jadi, baru 13 ribu hektar. Itu pun lima ribu baru dicadangkan. Jadi delapan ribu hectare,” kata Sandra.

Pemerintah Tetap Selesaikan Pelanggaran HAM

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, membantah penilaian tersebut. Mengenai penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, Wiranto menyatakan, pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran masa lalu tetapi menemukan sejumlah kendala.

“Terkait masalah HAM, betapa sulitnya kita untuk menyelesaikan tuduhan pelanggaran HAM masa lalu karena sudah begitu panjangnya masa yang dilalui, maka para aparat penegak hukum baik Komnas HAM, kepolisian dan kejaksaan , untuk menemukan saksi dan bukti sangat sulit,” kata Wiranto.

Kepolisian menyatakan lembaganya selalu menindak tegas kelompok manapun yang bersikap intoleran atas nama agama.

Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail Cawidu, mengatakan kebebasan berkomunikasi, mencari informasi bahkan menyebarluaskan informasi dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun menurut Ismail, setiap orang juga harus tunduk pada pembatasan yang diatur undang-undang untuk menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang lain. (VOA)

 

 

Editor : Melki Pangaribuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home