Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 13:39 WIB | Kamis, 22 Desember 2016

AMSIK: Ahok Korban Kriminalisasi Akibat Tekanan Massa

Menolak Pengadilan Massa terhadap Ahok sebagai Korban Kriminalisasi
Dari kiri ke kanan: Bonar Tigor Naipospos (SETARA Institute), Nia Sjarifudin (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika - ANBTI), Prof Mayling Oey (akademisi UI), dan Abdullah Alamudi (akademisi dan jurnalis senior). (Foto: Dok. AMSIK)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) menilai Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah korban kriminalisasi karena telah terjadi pelanggaran terhadap “due process of law” dan hak asasi manusia (HAM).

Penilaian AMSIK itu disampaikan setelah mencermati dua persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyimak materi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan oleh Ahok dan penasihat hukumnya, pada hari Selasa 13 Desember 2016, dan tanggapan jaksa terhadap nota keberatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan penasihat hukumnya, hari Selasa 20 Desember 2016.

“Berdasarkan pada sembilan alasan, kami ingin menegaskan kembali bahwa pengadilan ini tidak lebih dari akibat tekanan massa,” kata pernyataan sikap AMSIK yang terdiri atas 22 orang praktisi hukum, akemedisi, dan aktivis lembaga di Jakarta, pada hari Kamis (22/12).

Alasan pertama, tuntutan JPU berdasarkan pada Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tanggal 11 Oktober 2016. Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif.

“Sebab landasan umum penyusunan perundang-undangan adalah (1) landasan Filosofis, Pancasila sebagai Filsafah Bangsa (filosofische grondslaag) (2) landasan Yuridis: UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-undang (3) landasan Politis, setiap Kebijaksanaan yang dianut Pemerintah di bidang Perundang-undangan,” kata narahubung AMSIK, Umi Azalea.

Kedua, dalam konstitusi dan UUD di Indonesia, fatwa sebagai produk hukum yurisprudensi adalah kewenangan lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya—bukan MUI—sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 atau yang lebih tua lagi dalam Staatsblad 1847 No 23, Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie—disingkat AB) dan dari sisi hukum pidana, khususnya pendekatan doktrin maupun yurisprudensi pidana, disebutkan suatu pendapat keagamaan/fatwa keagamaan di luar lembaga yudikatif bersifat tidak mengikat sebagai kekuatan hukum (peradilan pidana).

Bukan Hukum Positif

Alasan ketiga, pendapat dan sikap keagamaan MUI bukan hukum positif, karena itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti.

Hal itu berdasarkan pernyataan Otoritas Pemerintahan, Menteri Agama H Lukman Hakim Saifudin, “Fatwa MUI bersifat tidak mengikat bagi seluruh umat” (Kompas, 20 Desember 2016), Penegak Hukum, Kapolri Jend Tito Karnavian “Fatwa MUI Bukan Produk Hukum Seperti Undang-Undang” (CNN Indonesia, 21 Desember 2016), Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri “Fatwa dan Fatwa” (Jawa Pos, 19 Desember 2016).

“Dan keterangan dari salah seorang Ketua MUI KH Yusnar Yusuf mengatakan siapa pun boleh mengikuti atau tidak mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI, tanpa ada sanksi atau ancaman hukuman (kbr.id, 20 Desember 2016),” katanya.

Alasan keempat, menurut AMSIK, karena fatwa MUI bukan sumber hukum positif dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bahkan bagi umat Islam sendiri, sehingga tidak tepat dijadikan dasar dan acuan bagi jaksa penuntut umum (JPU) dalam merumuskan dakwaannya.

Tanpa Proses Tabayyun

Kemudian alasan kelima, pendapat dan sikap keagamaan MUI tersebut lahir tanpa proses tabayyun (klarifikasi) dari Basuki Tjahaja Purnama yang semestinya dilakukan terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian dan pendapat, karena proses tabayyun terhadap Basuki Tjahaja Purnama belum pernah dilakukan hingga saat ini, telah terjadi penghakiman in absentia dan pengadilan oleh opini publik dan tekanan massa (trial by mob).

“Alasan keenam, karena pendapat dan sikap keagamaan MUI lahir tanpa proses klarifikasi dari Basuki Tjahaja Purnama maka tidak dapat bahkan gagal mengungkapkan secara jelas mengenai adanya niat atau maksud dari pidato Basuki Tjahaja Purnama yang dituduh menistakan agama Islam dan menghina para ulama, upaya mengungkap adanya niat dan maksud ini yang harusnya dirumuskan secara cermat oleh jaksa terkait hukum pidana,” katanya.

Sementara itu alasan ketujuh, ketika menggunakan Pasal 156a terhadap Basuki Tjahaja Purnama, JPU telah mengabaikan Undang-Undang No 1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya di Indonesia. Dalam hal ini JPU mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang No 1/PNPS/1965 Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.

“Apabila Basuki Tjahaja Purnama masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana. Dakwaan JPU tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi,” katanya.

Perdebatan Visi, Misi dan Program

Alasan kedelapan, menurut AMSIK, dalam tanggapan JPU terhadap Nota Keberatan Ahok dan Tim Penasihat Hukumnya, Selasa 20 Desember 2016, Jaksa malah menyalahkan tuntutan Basuki Tjahaja Purnama yang menolak oknum politisi dan Timses kandidat lain yang berkampanye dengan memakai isu SARA dan politisasi ayat, bukan beradu visi misi dan program.

Jaksa juga mengatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama merasa benar sendiri karena menuntut kandidat lain agar adu program, bukan mengggunakan Surat Al-Ma’idah 51.

“Bagi kami, tanggapan jaksa itu menyesatkan karena dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harusnya perdebatan dan alasan pemilihan terkait visi, misi dan program para kandidat, bukan permainan isu SARA dan adu ayat,” katanya.

Kemudian, alasan kesembilan, jika hakim membenarkan dan mengabulkan dakwaan jaksa atas alasan dan logika di atas, maka akan menjadi jurisprudensi yang membenarkan kampanye dengan mempolitisasi ayat dan SARA, bukan menawarkan visi, misi dan program.

“Kami sangat menyesalkan JPU telah kehilangan logika dalam menyampaikan argumen hukumnya, hal ini bukan hanya menunjukkan jaksa tidak profesional, tapi membahayakan “due process of law” dan merupakan preseden buruk pada penegakan hukum yang berkeadilan untuk kasus-kasus yang berdimensi politik pada masa-masa yang akan datang,” tulis pernyataan AMSIK.

Jakarta, Hari Ibu, 22 Desember 2016

  1. Todung Mulya Lubis, Ahli Hukum dan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM)
  2. Hendardi, Ketua Umum Setara Institute
  3. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Akademisi
  4. Prof. Mayling Oey, Ph.D, Akademisi
  5. Abdullah Alamudi, Akademisi
  6. Dr. Neng Dara Affiah, Tokoh Agama, Pengasuh Pesantren di Banten
  7. Jim B. Aditya, Akademisi dan Aktivis
  8. Henny Supolo, Pegiat Pendidikan untuk Keragaman
  9. Andi Syafrani, Praktisi Hukum
  10. Mohammad Monib, Aktivis Dialog antar Agama
  11. Ruby Khalifah, AMAN Indonesia
  12. Nia Syarifuddin, Aliansi Bhinneka Tunggal Ika
  13. Pdt. Penrad Siagiaan, Aktivis Kebebasan Beragama
  14. Ilma Sovriyanti, Aktivis Perlindungan Anak
  15. Thomas Nugraha, Forum Komunikasi Indonesia
  16. Tantowi Anwari, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
  17. Woro Wahyuningtyas, JKLPK Indonesia
  18. Bonar Tigor Naipospos, Setara Institute
  19. Uli Parulian Sihombing, Warga Negara Indonesia
  20. Muannas Alaidid, Praktisi Hukum
  21. Cyril Roul Hakim, Aktivis Sosial
  22. Dion Pongkor, Praktisi Hukum

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home