Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 18:16 WIB | Selasa, 01 April 2014

Analisis: Agama Tuntut Hukuman Mati Dihapus

Sulastri, kakak ipar TKI Satinah memperlihatkan foto terkini Satinah yang diabadikan pada awal Februari lalu di penjara kota Buraydah, Arab Saudi, di rumahnya di Desa Kalisidi, Ungaran, Semarang, Jateng, Selasa (25/3). (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Belakang ini kasus hukuman mati Satinah mendapat perhatian besar di dalam masyarakat Indonesia. Satinah adalah tenaga kerja wanita Indonesia asal Semarang yang bekerja di Arab Saudi. Ia divonis hukuman mati oleh pengadilan setelah terbukti membunuh majikan dan mencuri uang senilai 110 juta rupiah. Vonis mati itu dijatuhkan pada 2011 namun pelaksanaannya mengalami empat kali penundaan setelah negosiasi-negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi dan keluarga korban. Sistem hukum di Arab Saudi memungkinkan pembebasanya jika dimaafkan oleh keluarga korban dan membayar uang tebusan atau diyat (uang darah).

Untuk Satinah, uang yang diminta keluarga adalah 7 juta riyal atau senilai Rp 21 miliar. Pengadilan Arab Saudi kemudian menetapkan batas terakhir pembayaran diyat adalah 3 April 2014. Jika dibayar, Satinah dibebaskan. Jika tidak, hukuman pancung akan dilakukan.

Berbagai usaha terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk membebaskan Satinah. Pemerintah pusat berhubungan secara diplomatik dengan pemerintah Arab Saudi dan telah menyiapkan dana untuk membayar diyat. Presiden SBY pun telah beberapa kali menyurati raja Arab Saudi. Uang yang terkumpul untuk membayar diyat saat ini sudah sekitar 12 miliar rupiah, yang berasal dari pemerintah-anggaran negara 7 miliar, pemerintah daerah dan masyarakat Jawa Tengah 3 sampai 4 miliar, dan sumber lain sekitar 1 miliar. Sampai saat ini pengumpulan uang masih dilakukan di berbagai tempat sebagai tanda solidaritas.

Kontroversi membayar atau tidak oleh negara Indonesia pun mulai muncul. Pemerintah dan sebagian kalangan setuju dibayar dengan alasan solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan Tetapi, sebagian rakyat menolak pembayaran, apalagi uang dari APBN, dengan pertimbangan, itu akan menjadi preseden untuk kasus-kasus serupa, seperti yang sudah dialami oleh Darsem, seorang TKW asal Subang Jawa Barat yang divonis mati oleh pengadilan Arab Saudi tahun 2010 tetapi dibebaskan karena negara Indonesia membayar 4,7 miliar rupiah. Darsem bebas tanpa hukuman pengganti dari negara Indonesia dan sekarang telah berkeluarga dan hidup berkecukupan materi dari uang 1,3 miliar rupiah hasil donasi rakyat Indonesia.

Kedua alasan itu sama-sama benar. Tetapi, perlu dipertimbangkan bahwa kasus seperti Darsem dan Satinah dapat terjadi lagi. Saat ini, masih ada 39 warga Indonesia yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Lalu, sampai seberapa banyak anggaran negara harus disiapkan untuk membayar diyat? Sebanyak apa pun uang yang dapat dikumpulkan untuk membayar atau sesukses apa pun negosiasi negara untuk membebaskannya, hukuman mati akan tetap ada jika sistem hukum yang berlaku masih memberi peluang.

Pertimbangan Teologis-Etis

Petimbangan lain yang lebih prinsipil adalah “apakah hukuman mati benar secara teologis-etis atau tidak?” Atau, apakah hukuman mati sesuai kehendak Allah?

Vonis mati kenyataannya tidak berlaku di semua negara. Yang masih menerapkan hukuman mati adalah antara lain Amerika Serikat, Mesir, Arab Saudi, Iran, Irak, Pakistan, Afghanistan, Malaysia, dan Indonesia. Indonesia memungkinkan hukuman mati untuk kasus narkoba, teroris, dan pembunuhan berencana. Negara-negara di Eropa sudah lama tidak menerapkannya. Vonis hukuman mati umumnya didasarkan pada pertimbangan menghukum yang salah, seperti kasus narkoba, teroris, pembunuhan berencana, kejahatan politik dan kejahatan agama, seperti zina dan murtad. Di Arab Saudi, hukum memberi peluang untuk bebas bagi terpidana mati asal membayar diyat sesuai kehendak keluarga korban, seperti dialami Darsem dan kini Satinah. Ini memperlihatkan bahwa kebijakan hukuman mati bersifat relatif dan dapat berubah. Di Eropa abad pertengahan, terutama di dalam gereja, hukuman mati diberlakukan khususnya bagi pelanggaran terhadap ajaran agama, seperti sesat dan murtad. Di Eropa abad modern, hukuman mati sudah tidak diberlakukan.

Saat ini, vonis hukuman mati di negara yang menerapkannya sangat tergantung pada keputusan hakim atau juri. Dalam kasus Darsem dan Satinah, vonis itu malah dapat berubah total, yaitu si terhukum dapat bebas tergantung keluarga korban. Jadi mati hidupnya seorang terpidana tergantung pada kehendak manusia.

Dalam ajaran agama umumnya, napas atau nyawa diberikan Tuhan dan jika diambil, menuruti kemauan Tuhan. Jadi agama mengakui bahwa Tuhanlah yang menentukan hidup dan kapan matinya seseorang. Manusia, siapa pun, tidak memiliki hak menentukan kapan seorang itu mati. Jika melakukannya, walau dengan alasan hukum dan keadilan, ia tetap membunuh, dan ia sama saja dengan si pembunuh yang melakukannya karena kejahatan. Membunuh adalah kejahatan atau dosa menurut ajaran agama. ini karena ia merampas hak hidup seseorang yang diberikan Tuhan, dan sekaligus merampas hak Tuhan untuk mengambil napas hidup yang diberikan-Nya. Karena itu Tuhan menyatakan dengan tegas sebagai hukum-Nya “Jangan membunuh”.

Tambahan lagi, keadilan tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menghukum mati atau membunuh, apalagi jika dilakukan untuk membalaskan dendam korban atau keluarganya; layaknya paham mata ganti mata gigi ganti gigi dan nyawa ganti nyawa. Apakah dengan menghukum mati dapat mengembalikan nyawa si korban, atau dapat membuat si korban dan keluarganya merasa damai sejahtera? Tentu tidak. Agama mengajarkan bahwa pembalasan-penghukuman adalah hak Tuhan. Tuhan menciptakan hidup. Tentu yang dikehendaki-Nya untuk dilakukan umat-Nya adalah mendukung, menjaga dan melanggengkan hidup manusia. Karena itu, sangatlah layak dan wajib untuk umat beragama memperjuangkan kehidupan, bukan kematian. Filosofi rakyat Minahasa yang diungkapkan oleh Ratulangi, pahlawan nasional Indonesia, berbunyi “si tou timou tumou tou”, manusia hidup untuk menghidupkan manusia, sebuah filosofi pro-life, mendukung kehidupan.

Menyikapi kasus Satinah, bersamaan dengan usaha untuk pembebasannya maka demi kehidupan, kemanusiaan dan kehendak Tuhan, umat beragama harus memperjuangkan penghapusan hukuman mati, sambil mengusulkan hukuman pengganti yang mendukung kehidupan, seperti hukuman seumur hidup dengan kerja sosial sampai Tuhan menentukan ajalnya.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati agama dan masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home