Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 04:01 WIB | Rabu, 09 April 2014

Analisis: Indonesia Harus Dukung Pluralitas

Jemaat menyalakan lilin saat pelaksanaan ibadah Natal di Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel, Jakarta, Sabtu malam (24/12/11). (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Masyarakat Indonesia sangat majemuk dalam hal ras, bangsa, suku, golongan dan agama. Pluralitas adalah pembentuk dan menjadi bagian yang menyatu dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Ini tidak dapat diingkari karena merupakan realitas mutlak. Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Kristen dan Islam serta berbagai aliran kepercayaan dan agama suku ada dan bahkan sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pendiri bangsa menyadari realitas mutlak kemajemukan agama di Nusantara sehingga mereka memasukkan pasal 29 UUD Negara Indonesia yang memberi jaminan terhadap kebebasan beragama tanpa syarat.

Memang perlu disadari bahwa kemajemukan agama di dalam suatu masyarakat, mengandung baik sisi positif maupun negatif. Yang positif adalah ia menunjukkan kekayaan variasi budaya, penampilan, pengajaran dan sikap yang diajarkannya. Ini dapat dipergunakan untuk saling mengisi dan saling menyempurnakan.

Wawasan dan sikap seseorang dapat diperkaya oleh pemahaman atau pengetahuannya tentang paham ajaran dari pihak lain. Di sisi lain, potensi negatif dari pluralitas telah berwujud dalam berbagai kasus yang tidak menyenangkan; ada ketegangan, saling curiga, tidak toleran, tidak rukun bahkan sampai pada konflik dengan kekerasan; ada kerusuhan perang dan pertumpahan darah, seperti antarumat berbeda suku dan agama beberapa tahun terakhir ini.

Misalnya antara umat Islam dan Kristen di Maluku dan Poso, penyerangan terhadap pemeluk Islam Ahmadiyah dan Syiah, penangkapan terhadap penganut aliran Kerajaan Eden yang dipimpin oleh Lia Aminuddin, serta berbagai kasus pelarangan beribadah, penutupan gedung ibadah, pembatalan IMB untuk bangunan ibadah. Sehubungan dengan ini maka Indonesia, khususnya pemerintahan SBY dinilai sebagai pemerintah yang paling buruk dukungannya terhadap kebebasan dan toleransi beragama (satuharapan.com).

Hidup beragama adalah hidup yang dinamis dan kreatif. Pemikiran dan praktik keagamaan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini tidak jarang menghasilkan pemikiran atau ajaran dan praktik beragama yang baru dengan komunitas dan nama yang baru.

Dari dalam Hinduisme, muncul Buddhisme, agama Sikh, Jainisme dan Tantraisme; dari dalam Buddhisme, muncul aliran-aliran seperti Mahayana, Hinayana-Theravada, dan sebagainya. Kekristenan berkembang menjadi aliran-aliran Ortodoks, Katolik, Anglikan, Protestan, berbagai aliran Pentakosta, Advent serta aliran-aliran injili dan karismatik. Dalam Islam muncul dan berkembang berbagai aliran seperti Sunni, Syiah, Sufi, Baha’i, Ahmadiyah, Nagsabandiyah, dan sebagainya.

Di samping itu, muncul berbagai aliran agama yang berakar pada agama suku seperti Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Sunda, Kejawen dan berbagai aliran kebatinan, di samping agama-agama suku yang memang sudah ada seperti Parmalim di Sumatera Utara dan Marapu di Sumba.

Jika realitas keragaman agama sudah sedemikian mutlak di dalam masyarakat, apa yang perlu menjadi sikap dan cara menghayatinya?

Tentu yang diharapkan oleh banyak kalangan adalah kehidupan di dalam masyarakat plural ini ada yang rukun, damai, aman dan makmur. Karena itu pandangan dan sikap positiflah yang perlu ada dan diperjuangkan. Sikap negatif tentu hanya akan membawa musibah dan malapetaka bagi masyarakat atau negara dan bagi manusia dan kemanusiaan.

Pandangan dan sikap positif yang dimaksud adalah, pertama kita perlu menyadari dan menerima bahwa pluralitas agama adalah kenyataan mutlak di Indonesia. Ia ada, tetap ada dan tidak akan terhapus. Ia sudah menjadi ciri utama dinamika hidup manusia dan agama itu sendiri.

Kemajemukan adalah ciptaan dan rahmat Allah. Kedua, menghormati sesama manusia yang berbeda dengan diri kita. Manusia yang berbeda-beda juga adalah ciptaan dan dikasihi Tuhan. Ketiga, kita perlu mengutamakan kepentingan bersama suatu bangsa dengan menjunjung keadilan, perikemanusiaan dan hak asasi manusia dalam menganut dan mempraktikkan agamanya. Karena itu, perlu kesediaan untuk hidup berdampingan dan bahkan bekerja sama.

Memang secara realistis, sikap masing-masing orang beragama sangat tergantung pada visi dan misi hidupnya. Jika orang ingin menjadi manusia yang mengutamakan hidup saleh dan taat pada aturan agama demi selamat di “akhirat” maka ada kecenderungan untuk menghadapi dan menghidupi kemajemukan secara eksklusif dan bahkan menjadi radikal-ekstrem, yang tidak toleran dan siap melakukan berbagai tindakan termasuk kekerasan terhadap pihak yang berbeda.

Ini akan makin buruk jika negara-pemerintah tidak berfungsi benar atau diskriminatif. Namun, jika orang memiliki visi dan misi untuk hidup di dunia dengan bertanggung jawab dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan memuliakan Tuhan di dunia dan di akhirat, maka ia mengutamakan rasa keadilan dan kemanusiaan. Ia akan melihat dirinya dalam fungsi sebagai pembawa damai, persaudaraan, persatuan; sebagai pihak yang ikut membangun masyarakat menjadi berbudi-luhur dan berperadaban tinggi. Di sini ia menjadi pembawa rahmat Allah bagi manusia dan alam semesta dan tentu ia akan selamat di akhirat juga. Inilah kehendak atau sunah Allah bagi umat-Nya.

Mengapa umat beragama perlu memiliki pandangan dan sikap demikian?

Pertama, jika orang percaya kepada Tuhan dan Tuhan hanya satu, maka ia harus mengerti dan menerima bahwa Tuhan itu disembah oleh berbagai bangsa dengan nama, bahasa, bentuk dan cara yang berbeda-beda. Ini sangat logis, sesuai dengan akal sehat. Kedua, kemajemukan adalah realitas historis-sejarah dan dogmatis-ajaran. Ketika manusia tercipta dan agama muncul, ia sudah berhadapan dengan kondisi plural.

Agama atau aliran tertentu lalu berkembang sesuai perkembangan manusia. Ini adalah suatu kewajaran dan kehendak Tuhan. Pluralitas menampakkan keindahan dunia ciptaan-Nya. Karena itu, orang yang ber-Tuhan harus menerima, menikmati dan mensyukurinya sebagai rahmat Allah. Ketiga, cinta-kasih terhadap sesama yang berbeda, bahkan terhadap yang memusuhi kita, adalah hukum Tuhan, yang menjadi dasar, pegangan dan ciri hidup orang beragama. Cinta-kasih sebenarnya adalah isi hati atau nurani manusia yang terdalam, yang ditanamkan Tuhan ketika ia diciptakan-Nya.

Jika ini sungguh-sungguh diutamakan dan diperjuangkan maka umat beragama di Indonesia akan hidup rukun dan damai sejahtera, selamat baik di dunia dan akhirat. Sekian.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home