Loading...
ANALISIS
Penulis: Dr. Zuly Qodir 13:39 WIB | Jumat, 27 Juni 2014

Analisis: Mobilisasi Dukungan Capres

Pasangan H. Prabowo Subianto dan H.M. Hatta Rajasa meraih nomor urut 1 (satu), sementara pasangan Ir. Joko Widodo (Jokowi) dan H.M. Jusuf Kalla meraih nomor urut 2 (dua). (Foto: dok.)

SATUHARAPAN.COM – Suhu politik menjelang Pilpres 9 Juli semakin mendidih. Hal ini dapat diperhatikan dari pelbagai komentar, pernyataan, bahkan berbagai acara yang diselenggarakan tampak berupaya saling menjatuhkan. Pilpres 9 Juli mendatang seakan-akan seperti perang Baratayudha, yang diagendakan saling membunuh, padahal kita tahu siapapun yang akan terpilih adalah untuk presiden RI, untuk orang Indonesia, dari orang Indonesia.

Meningkatnya suhu politik nasional sangat berpengaruh pada masyarakat bawah yang akan menjadi bagian terpenting dalam pilpres mendatang. Masyarakat bawah sebagian terpengaruh dengan berbagai macam kabar negatif, bahkan fitnah dan pemecah belah pada sesame warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih.

Berbagai model mobilisasi massa menjelang Pilpres sebenarnya baik dilakukan oleh tim sukses, para pendukung, namun yang tampaknya tidak terkontrol dan tidak terdeteksi dengan adanya kesepakatan bersama perlunya dilakukan “kampanye damai”, kampanye bukan black campaign, ternyata terus berlangsung di lapangan. Sebagai salah satu contoh tentang kampanye hitam adalah sangat maraknya di bawah bahwa Jokowi-JK akan berusaha menghapus sertifikasi guru, menghapus gaji ke-13 PNS, tidak akan mengangkat pegawai honorer serta yang berbau SARA.

Dalam kondisi seperti itu harusnya pihak Bawaslu dan Panwaslu segera bertindak tegas seperti melakukan penghentian aktivitas kampanye dengan melakukan diskualifikasi tim sukses melakukan mobilisasi massa di berbagai daerah. Bawaslu dan Panwaslu tidak bisa sekadar memberikan himbauan agar tim sukses tidak melakukan kampanye hitam, tidak menyerang lawan politik, bahkan hanya menyerahkan kasus yang sudah sangat terang benderang pada pihak kepolisian karena berupa masalah kriminal.

Oleh karena itu, peran politik KPU, Bawaslu dan Panwas harus benar-benar berjalan, sebab semua mobilisasi massa di lapangan adalah kerja politik, bukan sekadar kerja kriminalisasi atau kerja di sekitar wilayah hukum. Oleh sebab kerja politik, maka peran-peran politik pun harus dilakukan agar kondisi kita tidak semakin kacau dan terpecah belah hanya karena isu yang berkembang secara tidak bertanggungjawab.

Dalam kasus yang paling jelas seperti dilakukanTabloid Obor Rakyat, maka KPU, Bawaslu dan Panwas sudah seharusnya bertindak tegas atas penyebaranTabloid Obor Rakyat, yang telah secara masih disebarkan ke daerah daerah di seluruh Indonesia. Saya kira Panwas dapat bertindak tegas pada salah satu tim sukses karena jelas sekali di dalam tabloid Obor Rakyat adalah menuduh pihak Jokowi sebagai pasangan yang akan merugikan rakyat Indonesia, bahkan agama tertentu. Hal semacam ini tidak bisa dibiarkan oleh Panwas sebab akan membuat masyarakat rusak karena fitnah yang dikirim kan oleh tim bayangan salah satupa sangan capres yang akan bertarung pada 9 Juli mendatang.

Secara tidak langsung berbagai mobilisasi melalui pernyataan di media, obrolan-obrolan santai di kantor, di kampus-kampus berafiliasi keagamaan, di lingkungan ormas jelas merupakan bagian dari media memperoleh dukungan pada Pilpres 9 Juli mendatang. Namun yang disayangkan adalah model mobilisasi yang dilakukan ternyata benar-benar tidak mendidik dan menyesatkan masyarakat.

Jika melakukan adalah mereka yang beragama Islam, maka tidaks eharusnya dilakukan sebab apa yang dituduhkan dalam Tabloid Obor Rakyat tidak pernah dilakukan tabayun (klarifikasi) pada yang bersangkutan dalam hal ini Jokowi-JK sebagai pihak yang tersandera dan tertuduh dalam pemberitaan Tabloid Obor Rakyat yang telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Memang telah diketahui siapa Pimpinan redaksi Tabloid Obor Rakyat, tetapi penyebaran massif tabloid tersebut ternyata tidak berhenti di sini. Bahkan semakin massif di kalangan masyarakat pedesaan yang akan menjadi pemilih paling besar di Pilpres mendatang.

Selain tidak melakukan tabayun, apa yang diberitakanTabloid Obor Rakyat adalah fitnah belakaka rena memberitakan hal yang tidak ada faktanya sama sekali. Memang pihak Jokowi-JK telah berkali-kali memberikan klarifikasi pada beberapa pesantren, ormas dan kalangan masyarakat, namun isu yang sangat miring tentang Jokowi-JK  sudah menjadi racun berbisa yang diserap habis oleh masyarakat kecil yang memang tampak menjadi target dari Tabloid Obor Rakyat.

Sungguh di sayangkan apa yang diinginkan oleh mereka yang berkehendak agar Pilpres 9 Juli menjadi Pilpres bermartabat, mendidik, dan mendamaikan tetapi malah sebaliknya, menjadi wahana untuk mengadu domba sesame warga masyarakat pemilih. Oleh karena itu, hemat saya masyarakat di pedesaan, perkotaan, masyarakat urban bahkan kelas menengah sekalipun, jangan mudah percaya dengan berbagai isu miring, negatif dan menjelekkan lawan politik, salah satu pasangan Capres sebab mereka adalah putra-putra terbaik Indonesia yang akan memimpin Indonesia.

Berbeda pilihan dalam Pilpres merupakan hal yang wajar tidak haram hukumnya. Tetapi mendukung dengan buta dan hanya karena takut pada tim sukses nanti tidak mendapatkan bantuan dana pengajian, dana kerja bakti, lomba mincing dan seterusnya. Pemilih juga tidak perlu takut pada mereka yang selama ini menjadi idola dalam pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah di kampus, hemat saya harus sudah ditinggalkan. Hal yang harus dilakukan para pemilih adalah tetap bersikap cerdas, kritis dan tidak masa bodoh atas yang disampaikan oleh orang yang sedang melakukan mobilisasi massa.

Penulis Adalah Sosiolog Fisipol UMY


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home