Loading...
ANALISIS
Penulis: Teuku Kemal Fasya 00:00 WIB | Senin, 26 Desember 2016

Antropolog Menggugat Darurat Indonesia

Langkah 300 antropolog Indonesia mengeluarkan petisi tentang “Darurat Indonesia” sungguh sama sekali di luar dugaan, namun menyentuh sendi paling penting dari keindonesiaan.

SATUHARAPAN.COM - Pada 16 Desember 2016 lalu, 300 antropolog Indonesia mengeluarkan petisi yang berjudul “Gerakan Antropologi untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif”. Gerakan itu dimulai dari diskusi di grup whatsapp yang diinisiasi oleh Yando Zakaria, pemikir masalah agraria, antropolog senior dan pernah menjadi staf ahli RUU Desa, kemudian menggelembung menjadi upaya untuk membuat petisi dan seruan moral. 

Awalnya direncanakan 100 orang antropolog ikut-serta, tapi kemudian terkumpul 300 orang yang memiliki ketekunan berbeda, baik dari akademisi, praktisi, wartawan, seniman, peneliti, mantan birokrat, hingga ibu rumah tangga. Meskipun berbeda pilihan hidup, ke-300 orang itu memiliki spektrum yang sama melihat Indonesia yang sedang terbelah oleh gerakan politik berbasis keagamaan dan sektarianisme ini dari kacamata antropologi. 

Tercatat beberapa nama antropolog senior ikut mendukung aksi ini seperti Prof. Meutia F. Swasono, Prof. Amri Marzali, Dr. Kartini Sjahrir, Prof. PM. Laksono, dll dengan naskah awal dipersiapkan oleh Prof. Sulistyowati Irianto. Acara rilis itu berlangsung bukan saja di Jakarta, tapi juga di Yogyakarta, Makassar, Manado, Banda Aceh hingga Belanda.

 

Etis-Politis

Meskipun terkesan bukan terdepan, tapi gerakan 300 antropolog menggugat “Darurat Indonesia” ini menjadi sejarah tersendiri. Dalam catatan saya, belum ada “aksi bermakna” yang melibatkan para antropolog se-Indonesia sedemikian luas. Proses diskusinya pun hanya memakan waktu seminggu. Awalnya sempat menjadi masalah, representasi apa yang digunakan, mengingat ada beberapa asosiasi antropologi secara nasional. Namun, akhirnya disepakati menggunakan istilah baru: Antropolog untuk Indonesia.

Ditingkahi perdebatan draf dan pilihan diksi, seperti apakah para antropolog harus mempertahankan frasa antropologis-etnografis an sich atau sedikit “nakal” menggunakan bahasa politik-revolusioner ala aktivis jalanan. Akhirnya kombinasi dua hal itu digunakan, yaitu mempertahankan muatan etis-filosofis yang harus dibaca dengan penuh permenungan, sekaligus menggunakan gramatologi – memakai istilah Jacques Derrida – politis-strategis terutama bagi pemegang kebijakan yang menyukai kesusastraan instan yang langsung menyentuh poin aksi. 

Seruan moral itu menjadi semacam état d'esprit bahwa hiruk-pikuk selama ini, baik dalam bentuk komunikasi di media sosial atau pengerahan massa telah menutup akal sehat dan mendistorsi makna demokrasi terkait promosi keberagaman. 

Sebenarnya keberagaman di Indonesia dalam beberapa komunitas memiliki derajat yang tidak rata. Ada yang memiliki diferensiasi tinggi dan ada yang memiliki kesamaan komunal. Meskipun demikian, perbedaan di Indonesia telah terajah secara kultural, etnografis, dan komunalistis, tidak bisa disembunyikan fakta antropologis itu. 

Bahayanya apabila perbedaan itu digumam dalam kotak ringkih, tidak dikelola dengan baik, akan melahirkan konflik massal yang destruktif seperti diungkap filsuf Inggris abad 17 Thomas Hobbes : “semua menjadi musuh dan berperang dengan semua”. Bellum Ominium Contra Omnes!.

Seiring perjalanan sejarah sejak Sumpah Pemuda 1928, perbedaan etnis, tradisi, agama, adat-istiadat, dan secara luas kebudayaan, mengalami proses politisasi dan ideologisasi sebagai bangsa yang secara imajinatif satu: Indonesia! Imajinasi tentang bangsa, bahasa, dan terakhir tanah-air tidak akan pernah berhasil jika sejak awal perbedaan itu diekspresikan dengan cara ekstrem. Kehadiran Indonesia secara de facto dan de jure melalui Proklamasi Kemerdekaan 1945 semakin mengafirmasi untuk menjadi satu. Semua perselisihan diakomodasi sepanjang tidak menepis Pancasila dan Konstitusi. Itulah diktum nasionalisme kita.

Sebenarnya sejak awal para pendiri bangsa telah mengetahui titik rawan bangsa ini. Ia akan pecah menjadi gemintang konflik yang mencelakakan jika tidak diikat dengan Pancasila dan konstitusi. Pancasila menjadi Staats Fundamental Norm atau kaidah fundamental negara tidak bisa digantikan dengan aspek fundamental lainnya apalagi fundamentalisme agama dan ras. Titik pecahnya akan mengulang sejarah India-Pakistan-Bangladesh, Uni-Soviet, Balkan, Rwanda, Irak, atau Suriah.

Pembukaan UUD 1945 mengafirmasi tentang semangat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata “segenap” (the wholeness) secara linguistik adalah klausa imperatif untuk tidak membuat distingsi mayoritas-minoritas, kami-mereka, beriman-kafir, dst. Jika pun gramatologi itu musti dibunyikan, haruslah disampaikan di ruang terbatas, akademis, atau teologis. Diksi dan wacana selektif itu tidak dapat disampaikan di ruang publik yang beragam warganegara. Sekali ia dengan sadar dibunyikan di ruang publik, maka ia seperti hantaman gada di lempeng besi. Pasti meninggalkan parut yang sulit untuk disempurnakan lagi. 

Konflik SARA yang di masa Orde Baru ditabukan dan diselesaikan dengan cara koersif dan represif, kini terbuka digunakan dan dirayakan secara histeris-massif. Agak aneh memang. Padahal di ruang publik itu, elite-elite negara yang seharusnya menegah jangan sampai hal itu terjadi malah ikut menjadi aktor. Sentimen sektarian dan rasis bisa bermaujud menjadi arogansi diktator mayoritas dan viktimisasi minoritas. Atau juga bisa muncul sebaliknya, sebuah fiksasi bahwa mayoritas terzalimi dan minoritas menjelma menjadi kekuatan tirani yang berbuat sekehendak hati.

 

Agama-Budaya ala Indonesia

Bagi para antropolog, perbedaan dan keberagaman di Indonesia telah selesai dipahami secara ontologis dan epistimologis. Keberagaman kita adalah sumber pengetahuan dan inspirasi yang menakjubkan yang diterima dengan lapang dada dan kepala. Karena perbedaan itulah Prof. PM Laksono yang Jawa bisa menjelajah dan berkawan dengan suku Kei di Maluku, I Ngurah Suryawan yang Bali bisa menjadi dosen di Universitas Negeri Papua dan meneliti problem-problem subaltern kaum Melanesia, Yando Zakaria yang Minang bisa menjadi “pemimpin adat” Dayak dan mengadovokasi problem agraria yang dialami mereka.

Demikian pula (alm) Dr. J. Emmed M. Prioharyono yang keturunan Jawa-Menado-Belanda bisa menjadi dosen di UI dan fasih berbahasa Jakarta lu-gue dengan Prof Yasmin Shihab yang Arab-Jakarta. Beberapa bulan sebelum meninggal saya sempat mengundang J. Emmed ke Aceh untuk mengisi seminar antropologi. Ia sangat berhasrat dengan keunikan Islam Aceh dan panorama bahari Sabang. Sengaja ia habiskan honor undangan seminar untuk melebur dalam debur ombak dan nyiur di Pulau Weh, Sabang. Sebagian ia abadikan dalam foto-foto eko-antropologis yang sangat artistik dan empatik. 

Dari pengalaman itu, ia ingin memberikan kesan bahwa dibalik Islam Aceh yang terkesan keras, eksklusif, dan konservatif, ada Sabang yang inklusif, ramah, dan meriah. Sebagai antropolog, dalam bahasa diamnya kini ia ingin memperlihatkan tidak ada wajah tunggal tentang masyarakat di Indonesia. Semuanya telah berjumpa dalam keberagaman yang sebagian besar memberikan kesan bahagia dan dewasa secara spiritual.

Demikian pula agama, bagi antropolog agama adalah fakta kemasyarakatan dan kultural. Agama sesungguhnya harus dilihat sebagai sebuah teks yang selalu berdialog dengan lingkungan dan manusia sezamannya. Islam di Indonesia yang secara empiris sangat beragam, sinkretis, dan akulturatif. Misalnya dalam tipologi Clifford Geertz pada tahun 1960 menyebut Islam priyayi, abangan, dan santri. 

Jika kini fakta Islam Indonesia seperti tersungut oleh tesis Jeremy Menchik tentang konsep kebangsaan Indonesia mengandung sisi racun yang disebut nasionalisme berketuhanan (godly nationalism), adalah fakta yang dibesarkan oleh kejadian yang muncul dua dekade terakhir ini, apalagi pascareformasi. Jika Islam di Indonesia saat ini tidak bergerak secara inklusif tapi dipandu oleh keyakinan sebagian besar pemeluk agama, jangan pula melupakan rentang yang panjang dari sejarah Islam yang terbiasa berinteraksi dengan komunitas non-muslim. 

Tentu saya lebih yakin dengan apa yang ditranskripsikan oleh Geertz atau tesis antropolog interpretif lainnya seperti Prof. Bambang Pranowo bahwa segmentasi komunitas agama (Islam) di Indonesia tidak membangun tapal batas demarkasi kaku antara “kaum saleh” dan “kurang saleh”, tapi saling berjumpa dan memperkaya. Tinjauan antropologi Islam kontemporer Indonesia menunjukkan bahwa meskipun secara numerik mayoritas, umat Islam memiliki petilasan yang beraneka-rupa. 

Banyak kaum muslim di Indonesia bisa menghayati pentingnya hidup dalam silang budaya, sejak dulu hingga kini. Masih ada kelompok NU yang tidak sekedar menghormati perayaan Natal, tapi juga ikut membantu mengamankan gereja di hari besar umat Kristiani itu. Sebenarnya masih banyak tafsir inklusif kaum santri yang percaya bahwa toleransi keberagaman adalah cara merawat Indonesia sebenarnya. Mereka tidak terguncang oleh tesis hipotetik bercampur prasangka politik untuk membaca Indonesia serba tunggal sesuai selera kaum formalis dan literalis.

Meskipun demikian, Jika pun ada kelompok intoleran dan radikal di Indonesia, dari data survei Wahid Foundation terdapat 600 ribu (0,4 persen) kelompok Islam di Indonesia yang pernah terlibat tindakan radikal atau ada 7,7 juta (11 persen) berpotensi menjadi radikal ketika terus telinga dan mata mereka diberi sianida radikalisme, sebagian besar mayoritas muslim masih bersedia hidup tanpa racun dan yakin dalam mengelola perbedaan.

Akhirnya, darurat Indonesia non-produktif ini harus dibagi tanggung-jawab antara negara dan para antropolog (termasuk intelektual pada umumnya). Jika negara harus membuat kebijakan agar intoleransi tidak merebak bak kanker, maka kaum antropolog bisa mensyiarkan hasil-hasil riset, pembelajaran, dan seminar mereka tentang harmoni masyarakat dalam perbedaan dibandingkan menonjolkan preseden kelompok keras kepala dengan penafsiran misoginis-fundamentalistis. Dipastikan kaum begal itu tidak menghayati Indonesia secara antropologis, dan sudah pasti tidak mencintai Indonesia sepenuh jiwa.

 

Penulis adalah Antropolog Aceh. Banyak meneliti tentang keberagaman masyarakat lokal.

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home