Loading...
OPINI
Penulis: Woro Wahyuningtyas 00:00 WIB | Kamis, 18 Desember 2014

Arogansi Hukuman Syariah Atas Perempuan

SATUHARAPAN.COM – Foto berita tentang organisasi Tafzkiratul Ummah di Lhoksukon, Aceh Utara, yang merazia pakaian perempuan dan menyemprot cat di celananya di Lhoksukon, Aceh Utara, membuat pikiran saya “terbang” kemana-mana.

Saya menyimpulkan bahwa, atas nama hukum Syariah, orang bisa melakukan apa saja dan menafsirkan hukum agama seliar keinginannya. Insiden seperti ini kerap melahirkan kesan negatif atas praktik Syariat Islam, bahwa sesungguhnya hukum itu sangat patriarkal, bisa dikenakan kepada perempuan mana saja, ke mana hati suka.

Tanpa perlu mata pakar, terlihat dari foto itu seorang perempuan yang menggunakan pakaian batas sopan, tidak tercela, bahkan tidak “seksi”, sedang termenung “di-pylox” oleh seorang laki-laki bersarung dan berkopiah. Sang perempuan terpaku membiarkan pakaiannya dicat. Ada seseorang dengan pakaian yang sama berjaga di sekitar TKP. Celana itu sendiri jauh dari penilaian ketat. Itu hanya celana jins biasa.

Atau, karena disebut celana jins (jeans) kemudian bisa ditafsirkan sebagai celana yang digunakan kaum jin? Omongan seperti itu pernah saya dengar terkait stereotipe celana jins. Namun, alangkah naif dan ngawur jika ada yang menafsirkan sebrutal itu.

Syariah di Aceh

Dalam sejarah tercatat, sejak bergabung bersama Indonesia, daerah Aceh memang telah mengajukan syarat menjadi daerah Syariah.  Pemikiran ini didasarkan pada data historis Aceh menjadi batu loncatan islamisasi Nusantara. Pada era yang lebih modern, Aceh menjadi pelabuhan internasional untuk para peziarah ke Mekkah untuk berhaji, sehingga disebut Serambi Mekkah.

Beberapa buku menyebutkan, setelah merebak revolusi sosial yang membumihanguskan para hulubalang pada 1946, Aceh kemudian dikuasai para pemimpin agama. Presiden Soekarno dalam sebuah lawatannya ke Aceh pada 1948 pernah menjanjikan akan memberikan apa pun yang diminta Aceh, termasuk daerah otonomi Syariat Islam. Janji Soekarno terurai airmata karena jasa saudagar Aceh yang mendonasikan pesawat terbang  yang diberi nama Seulawah 001 kepada Pemerintah Indonesia (Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, 1990: 322 dan 342). Janji itu diucapkan secara lisan dan diyakini saat itu.

Sayangnya, Jakarta kemudian lupa dan menghianati janjinya termasuk ketika Provinsi Aceh dilebur ke Provinsi Sumatera Timur. Pergolakan bersenjata pun terjadi. Motif pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1953 bersambung dengan semangat gerakan DI/TII di seluruh Indonesia seperti di jawa Barat dan Sulawesi Selatan, yaitu tuntutan pengelolaan Syariat Islam di ruang publik dan hukum positif (Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, 1990).

Namun, kekeliruan itu disadari oleh pemerintah pusat. Setelah melewati upaya peredaman pemberontakan secara militer, Pemerintah Jakarta menyetujui proposal pembentukan Provinsi Aceh pada 1956 (dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara). Pemerintah pusat juga mengakui Mahkamah Syar’iyah yang terlanjur terkatung-katung karena pembubaran Provinsi Aceh pada tahun 1957, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di Propinsi Atjeh pada 6 Agustus 1957 (Al Yassa Abubakar, Sejarah Pelaksanaan Syariah Islam di Aceh, Banda Aceh, 2011)

Era Reformasi ternyata membawa berbagai perubahan penting dalam ketatanegaraan Indonesia. Salah satu yang paling penting adalah terjadinya amandemen UUD 1945. Amendemen memunculkan peluang perubahan peraturan perundang-undangan, termasuk otonomi khusus untuk Aceh. Salah satunya adalah izin melaksanakan Syari`at Islam secara luas dan menyeluruh (kaffah).

Perubahan dimulai pengesahan UU No 44/99 dan kemudian hadirnya UU No. 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam. Ketika Gerakan Aceh Merdeka melakukan perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia, salah satu klausul yang dituntut yaitu UU Otonomi Khusus (UU No. 11 tahun 2006). Di dalamnya juga termaktub kewenangan Syariah. Jadi, perjalanan panjang Aceh sebagai daerah Syariah jelas bukan sejarah instan.

Perempuan sebagai Korban Diam

Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, praktik Syariat Islam pasca-reformasi menjadi penuh masalah hukum dan sosial. Bangkitnya organisasi sosial berbasis agama yang menuntut praktik Syariah meluas di dalam masyarakat yang plural telah memicu konflik horizontal sesama anak bangsa dan vertikal terkait tekanan kepada otoritas pemerintah.

Menjamurnya organisasi basis agama memicu kekerasan berbasis keyakinan. Data JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen) di Daerah Istimewa Yogyakarta memperlihatkan bahwa semua pelaku kekerasan atas nama keyakinan dan agama dilakukan oleh kelompok yang sama. Ada komunalitas kekerasan yang dilakukan  secara periodik untuk menunjukkan eksistensi. Ironisnya kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama itu nyaris tidak pernah tersentuh hukum. Jika mereka dihukum biasanya lebih rendah dari korban kekerasan yang bersamaan menjadi tersangka.

Dalam konteks Aceh, organisasi seperti Tadzkiratul Ummah (TU) ini telah melampaui kewenangannya sebagai organsasi sosial. Mereka sesunguhnya telah mengambil alih kewenangan Wilayatul Hisbah (WH). Namun WH dianggap terkesan lembek karena tidak melakukan eksekusi langsung. Komunitas seperti TU beranggapan WH terlalu lemah karena hanya mengawasi dan menasehati para pelanggar Qanun Syariat Islam. Organisasi seperti TU ini menginginkan pengadilan jalanan seperti yang dipahami dan terpublikasi di daerah-daerah yang keras memberlakukan Syariat Islam di Afganistan dan Irak.

Padahal kepala dinas Syariat Islam Aceh telah telah menyatakan aksi mencorat-coret para pelanggar Syariat Islam dan mempermalukan di jalan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun siapakah yang akan menghukum tindakan TU itu? Kejadian salah terus berulang dan menjadi tradisi yang seolah dibenarkan.

Di Aceh, hadirnya Qanun Jinayat yang baru diundangkan terlihat diskriminatif untuk minoritas dan perempuan. Logika utama bahwa kejahatan terbesar di dalam masyarakat adalah seks dan perempuan sehingga harus diberlakukan Syariat Islam harus dikaji lebih lanjut. Dalam Qanun Jinayat yang baru saja diundangkan posisi perempuan dalam proses pembuktian sangat lemah (Teuku Kemal Fasya, “Memuliakan Perempuan”, Serambi Indonesia, 26 November). 

Dalam proses razia yang dilakukan TU, perempuan kembali terperosok ke dalam siklus korban. Perempuan dalam praktik hukum Syariah kerap mendapatkan perlakuan tidak adil. Kasus korban pemerkosaan yang dituduh berzina dihukum Syariah (cambuk), sementara pemerkosa dihukum pidana positif. Perempuan bercelana “ketat”(?) disemprot cat, sementara cara laki-laki berpakaian tidak pernah dirazia, atau tidak berani dirazia?

Represi atas tubuh perempuan di Aceh juga sangat mungkin terjadi di wilayah lain di Indonesia. Perjuangan panjang harus tetap dilakukan, bukan hanya oleh perempuan tapi juga laki-laki di setiap sudut bangsa. Rantai diskriminasi harus cepat diputuskan, agar perempuan tidak selalu berada di dunia lain, yang hanya pantas untuk dinikmati dan dihukum.

 

Penulis adalah Direktur JKLPK, Jakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home