Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 08:03 WIB | Kamis, 21 Februari 2019

Art Respons, Rekonsiliasi Basori dan OHD

Art Respons, Rekonsiliasi Basori dan OHD
Karya lukis di atas manekin berjudul “Bapak Angkasa” yang dibuat seniman Moch Basori pada pameran tunggalnya bertajuk “Art Respons” yang berlangsung 19-17 Februari 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No 2 Yogyakarta. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Art Respons, Rekonsiliasi Basori dan OHD
Performing art response oleh kolektor karya seni Oei Hong Djien di atas tubuh seniman-perupa Moch Basori pada pembukaan pameran tunggal Moch Basori di BBY, Selasa (19/2) malam.
Art Respons, Rekonsiliasi Basori dan OHD
Berburu Rempah – cat akrilik di atas tas koper - various dimensi – Moch Basori – 2018.
Art Respons, Rekonsiliasi Basori dan OHD
OHD (baju batik) mengapresiasi dan menjelaskan karya buku berjudul Diary 1 pada Wakil Rektor III ISI Yogyakarta Anusapati (kiri, topi biru) dan dosen seni grafis ISI Yogyakarta Edi Sunaryo (topi cokelat).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Basori terlahir kembali. Itulah yang tersirat dalam pembukaan pameran tunggal seniman-perupa Moch Basori di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (19/2) malam.

Berbagai karya dua-tiga matra dalam beragam medium yang dibuat Basori dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir dipresentasikan, menjadi catatan berkaryanya merespons berbagai medium-kondisi-situasi mengambil tajuk “Art Respons”, mengadopsi dari istilah art response.

Art response mengacu pada fenomena proses seni di ruang publik yang dilakukan seniman-perupa merespons medium serta kejadian di sekitarnya. Rujukan paling dekat adalah sejarah seni rupa Barat sejak tahun 1960-an. Seni di ruang publik lebih mengacu pada karya, berupa mural, karya monumental baik yang bersifat temporal ataupun permanen. Roy Lichtenstein, Claes Oldenburg, Robert Morris, Isamu Noguchi, menjadi beberapa seniman penggeraknya. Watak karyanya cenderung lebih partisipatif dan interaktif.

Pada perhelatan Biennale Jogja X tahun 2009, seni di ruang publik banyak menghiasi sisi Kota Yogyakarta terutama di sekitar Titik Nol Km Yogyakarta. Secara lebih kecil lingkupnya, seni di ruang publik banyak dilakukan oleh seniman-perupa Yogyakarta. Syahrizal Pahlevi misalnya dengan 130 lebih street printmaking yang dilakukan beberapa waktu lalu.

Begitupun dengan sketch on the spots yang rutin dilakukan oleh seniman Bambang Widarsono dalam tiga tahun terakhir di berbagai tempat di wilayah Yogyakarta dan luar Yogyakarta. Jika menilik lebih jauh, sesungguhnya seniman-akademisi Subroto SM telah melakukannya sejak tahun 1960-an di mana-mana. Pasar Kuncen, Malioboro, Taman Sari, dan area sekitar Yogyakarta menjadi tempat Subroto melukis on the spot. Artinya art response sesungguhnya bukan hal baru di antara para seniman-perupa Indonesia.

“Pameran kelompok Spirit 90 di Purna Budaya sukses besar, salah satunya dengan jualannya (mendiang) Nyoman Sukari. Saat itu saya langsung mengoleksi satu karya Basori. Kolase kain. Bagus. Tapi beberapa minggu kemudian (dari kain-kain itu) keluar kutunya. Jangan-jangan ini Basori membuatnya dari celana dalam bekas,” seloroh kolektor karya seni Oei Hong Djien (OHD) saat memberikan sambutan pembukaan pameran yang disambut gelak tawa pengunjung.

Bersama beberapa temannya dari Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta tahun 1990, Basori membuat kelompok “Spirit 90”. Tahun 1994 mereka berpameran di Gedung Purna Budaya Yogyakarta (sekarang Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjasumantri-UGM, Red). Saat itulah untuk pertama kali OHD mengoleksi karya Basori.

Basori banyak merespons berbagai tema, medium, teknik, serta kejadian di sekitarnya menjadi sebuah karya seni termasuk saat prosesi pernikahannya saat mempersunting Dyna Indriastuti menjadi istrinya tahun 2004, Basori menjadikan acara resepsi pernikahannya di Museum Affandi menjadi sebuah pameran tunggal lukisan bertajuk "Ritus Kawin". Perayaan resepsi pernikahan sekaligus menjadi respons sebuah kejadian dalam sebuah seni kejadian (happening art). Delapan belas karya lukisan yang dibuat dalam rentang 1991-2004 dipamerkan bersama karya instalasi lain yang menjadi saksi perjalanan berkarya seni rupa.

Karya seni “Ritus Kawin” menarik OHD, salah satunya sebuah lukisan kursi yang juga dikoleksinya serta sebuah pesanan karya merespons kursi kerja OHD. Karya kedua yang diselesaikan Basori dalam waktu yang cukup lama diakui OHD menjadi salah satu koleksi terbaik Museum OHD dan mengundang ketertarikan dari kolega-kolega OHD.

Hingga suatu ketika OHD merasa “ditinggalkan” Basori saat lama tidak muncul dan belakangan diketahuinya Basori mengerjakan karya di sebuah galeri di Jakarta.

“Karya itu sangat menarik banyak pengunjung. Salah satu pengunjung itu ya teman saya, art dealer/art collector. Tanya-tanya rumahnya dimana, saya kasih petunjuk. Dibajak dia. Diajak ke Jakarta. Berapa tahun tidak kembali, tidak kelihatan. Akhirnya (Basori) kangen sama saya, balik lagi. Balik kandang. Karena di sana (Jakarta) dia hanya dijadikan tukang. Tidak diberikan keleluasan,” kisah OHD dalam pembukaan pameran menceritakan hubungan naik-turunnya dengan Basori.

Hubungan tersebut kembali mencair terekam dalam perbincangan OHD bersama pengunjung lainnya mengapresiasi karya Basori. Pada karya sketsa-lukisan yang dibuat Basori pada sebuah buku katalog contoh vinyl wallpaper berukuran 50 cm x 50 cm OHD berseloroh di depan pengunjung di antaranya Anusapati (Wakil Rektor III - ISI Yogyakarta), seniman-perupa Nasirun, Edi Sunaryo (dosen seni rupa ISI Yogyakarta), pegrafis Syahrizal Pahlevi.

Bas, iki karyamu tenan? Apik tenan. Iki mbok lukis dhewe opo mbok jaitke? (Bas, ini benar-benar karyamu? Bagus sekali. Ini kamu lukis sendiri apa dibuatkan seniman lain?),” seloroh OHD yang langsung disambut gelak tawa pengunjung.

“Satu buku ini hampir semua karyanya bagus. Kalau dilepas satu-satu dan dibingkai akan mendapat karya lukisan yang banyak. Bisa menjadi mahal harganya. Tapi akan kehilangan jiwa seni dari art response itu sendiri,” lebih lanjut OHD tentang karya-karya Basori pada sebuah buku katalog contoh vinyl wallpaper.

Tidak kalah seru pengunjung pun berteriak “Dikoleksi saja, pak dokter,” yang disambut Basori dengan kalimat yang singkat, “Untuk pak dokter, gampang saja.” Perbincangan tersebut menjadi rekaman bagaimana hubungan OHD-Basori yang sudah kembali mencair dan hangat.

Perjalanan Berliku Basori

Awal tahun 2000-an bersama mendiang seniman-perupa S Teddy Darmawan, Basori membangun studio di daerah Gamping, Ambarketawang dengan menyewa sebidang tanah di pinggiran Sungai Bedog. Pelan-pelan studio dibangun hingga bisa digunakan untuk berproses karya. Di studio itulah proses karya Basori bersama S Teddy dan juga kawan-kawan seniman-perupa memberikan warna dunia seni rupa Indonesia pada hingga pertengahan tahun 2000-an.

“Pembangunan studio terhenti saat terjadi gempa 2006. Sebagian bangunan maupun karya rusak dan untuk memperbaiki kembali memerlukan biaya yang cukup besar. Sementara sebagian tabungan saya sudah habis untuk biaya pernikahan. Nasib, Bung. Hahaha...,” jelas Basori dalam perbincangan dengan satuharapan.com Agustus tahun lalu, saat mempersiapkan untuk dua pamerannya di tahun 2019.

Sebelum bencana gempa 2006 Basori mendapatkan pesanan dari OHD melengkapi kursi “Ritus Kawin” yang sudah dikoleksinya. Terdesak kebutuhan biaya hidup di awal pernikahan, harus memperbaiki studionya yang rusak karena bencana, serta kebutuhan lainnya, saat ada tawaran untuk membantu pada sebuah galeri di Jakarta yang diiyakannya sempat membuat renggang hubungan antara OHD dan Basori untuk beberapa waktu lamanya. Sejak saat itu Basori seolah hilang dari dunia seni rupa Yogyakarta maupun Indonesia.

Basori dikenal melalui karya-karya lukis dengan media campuran yang mengolah bahan-bahan seperti serabut kelapa, kayu, kuningan, karpet, kain, maupun material lainnya. Respons Basori pada medium memicu sekaligus memacu untuk mengeksplorasi berbagai teknik dalam karya responsnya.

Dalam berkarya Basori banyak beranjak dari sebuah konsep gagasan ataupun respons atas medium karya yang ada melalui berbagai teknik. Dua pendekatan tersebut membawa konsekuensi bahwa karya yang dibuat Basori seolah memiliki tema yang acak (random), mengingat satu respons dengan respons berikutnya bisa jadi bukanlah sebuah konsep yang direncanakan. Tidak ada teknik baru yang diciptakan dalam berkarya, justru Basori sering menggunakan teknik-teknik tradisional semisal penggunaan benang untuk membuat garis yang kerap dilakukan oleh tukang kayu atau tukang bangunan. Ini menjadi salah satu penanda proses art response Basori selama ini.

Di awal berkarya, Basori sempat merespons botol yang dilukis dari dalam. Sayangnya, Basori tidak bisa melacak keberadaan lukisan botol tersebut. Tahun 2011 Basori berpameran bersama kelompoknya Jago Tarung di Philo Art Space, Kemang, Jakarta Selatan bertajuk "Marginal Bodies". Karya lukisnya ‘Berburu Waktu’ (Hunting Down The Time) menggambarkan sebuah sosok melayang di angkasa dengan bumi tergenggam di kedua tangannya sebagai ungkapan bagaimana tubuh senantiasa beradu dengan waktu.

Dalam pameran tunggal Art Respons, beragam karya dua-tiga matra dipresentasikan Basori. Seratus lima puluh tatakan kue direspons Basori dengan cat akrilik menjadi karya berjudul Sesaji, sementara pada tatakan minuman berbahan kertas sebanyak 62 buah Basori meresponsnya menjadi karya berjudul Berbintang.

Tiga buah besar koper berwarna cokelat direspons dalam sebuah reportase karya berjudul Berburu Rempah. Turut pulu direspons sebuah payung ulang tahun kedua puluh Balai Lelang Christie’s – Hong Kong. Sementara pada dua buah manekin, Basori membuat dua karya seri dengan judul Ibu Bumi dan Bapak Angkasa.

“Ketika Basori menelepon saya untuk membuka pamerannya. Hanya dengan menelepon, tidak sowan. Saya tidak bisa menolak karena kenang-kenangan tentang Basori itu terlalu banyak (bagi saya). Yang lucu, menjengkelkan, macam-macam,” papar OHD saat membuka pameran, Selasa (19/2) malam.

Pameran tunggal Basori bertajuk “Art Respons” berlangsung 19-27 Februari 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No  2 Yogyakarta.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home