Loading...
ANALISIS
Penulis: Sampe L. Purba 00:00 WIB | Senin, 17 Oktober 2016

Asas Cabotage yang gagal fokus

SATUHARAPAN.COM - Asas cabotage adalah prinsip yang memberi hak hak eksklusif kegiatan angkutan (transportasi)  barang maupun orang dalam negeri oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan bendera nasional serta awak kapal berkewarganegaraan tersebut.  Asas cabotage bersifat universal.

Di Amerika Serikat misalnya, prinsip itu ada dalam Merchant Marine Act – Jones Act 1920. Asas cabotage juga mengatur  terhadap alat transportasi yang terdaftar di negara lain, tetapi beroperasi di negara sendiri.

Menurut Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran tujuan utamanya adalah untuk melindungi kedaulatan negara dan mendukung pewujudan wawasan nusantara (dalam konteks Indonesia), serta memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya kepada perusahaan angkutan laut nasional.

Di Indonesia  asas cabotage diperluas hingga ke kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas transportasi  orang atau barang. Pengertian kapal pun diperluas hingga ke wahana terapung di laut dan tidak dimaksudkan sebagai sarana transportasi.

Bendera kapal (flag of state) merupakan legal sovereignity yang menegaskan hukum mana yang berlaku pada kapal. Di negara-negara seperti Kamboja atau Switzerland yang tidak mempunyai garis pantai (land lock country), tetap ada flag of state,  yang belum tentu sama dengan kewarganegaraan pemilik kapal. Semata-mata didaftarkan adalah untuk kemudahan administrasi, perizinan, inspeksi dan sebagainya (flag of convenience). Sedangkan penggunaan kapal tetap tunduk kepada aturan setempat dimana digunakan.

Menteri Perhubungan mengeluarkan peraturan nomor PM 10 tahun 2014 (terbaru nomor 200 tahun 2015) tentang tata cara dan persyaratan pemberian izin penggunaan kapal asing untuk kegiatan yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau orang. Rujukan Peraturan Menteri tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor  20 tahun 2010 tentang angkutan pelayaran. PP tersebut tidak mengamanatkan pengaturan tentang kapal yang bukan untuk angkutan.

Peraturan Menteri ini mengatur kapal pemboran di laut (jack up rig, semi submersible rig, deepwater drill ship, tender assist rig dan swamp barge rig).

Esensi dari Peraturan tersebut adalah tentang  pengutamaan kapal berbendera Indonesia, dan apabila tidak atau belum tersedia, maka dapat menggunakan kapal berbendera asing, yang izinnya diurus tahunan.Salah satu persyaratan dispensasi penggunaan kapal berbendera asing adalah adanya charter party antara perusahaan angkutan laut nasional dengan pemilik kapal asing dan kontrak kerja dan/atau Letter of intent dari pemberi kerja.

Nature (esensi dan substansi) dari kapal-kapal pemboran adalah musiman. Deepwater drillship misalnya. Kapal pemboran lepas pantai hingga kedalaman 1000 meter itu tidak ada diproduksi di Indonesia. Bahkan jumlahnyapun sangat terbatas di dunia. Untuk mendapatkannya harus dicari di pasar global, dengan skedul yang pasti. Meminta rekomendasi dan clearance dari asosiasi pengusaha kapal nasional, sebagai dispensasi untuk kapal tidak berbendera Indonesia dalam konteks ini adalah sebuah absurditas.

Hal yang sama juga berlaku untuk jenis kapal khusus lainnya. Kapal pengangkut LNG misalnya.  Kapal ini didesain khusus dan dedicated  untuk mengangkut LNG ke pasar tradisional Indonesia di luar negeri yang bersifat  jangka panjang dan menggunakan financing berbagai konsorsium. Optimalisasi penggunaannya ke dalam negeri dari Tangguh Papua ke terminal Arun terhambat karena masalah bendera.  

Pengalihan bendera (reflagging) ke bendera Indonesia baru akan dapat dilakukan apabila financingnya telah lunas. Dalam konteks ini, tidak ada kaitan langsung linier reflagging ke kapal berbendera Indonesia dengan pengembangan industri galangan kapal domestik.

Tidak ekonomis untuk membangun kapal dengan segmen pasar terbatas. Berbeda halnya dengan kapal tunda atau kapal penunjang logistik operasi migas, yang memang perlu didorong karena pasarnya ekonomis dan utilitasnya tinggi.  Industri migas juga memerlukan kapal berteknologi dan berbiaya tinggi, ataupun untuk penggunaan singkat, seperti kapal pemboran (rig), kapal heavy lift dengan crane > 1000 ton, kapal saturation diving, maupun kapal survei eksplorasi tiga dimensi.

Pembatasan izin satu tahunan, serta pewajiban mendapatkan rekomendasi dari asosiasi pengusaha kapal nasional akan menjadi costly serta tidak memberi kepastian untuk mengikat kontrak jangka panjang.   Alih-alih untuk menumbuhkan industri perkapalan galangan dalam negeri, praktek yang dilegitimasi dengan bungkus peraturan perundang undangan dapat  rawan berubah menjadi semacam urusan  lisensi penggunaan izin bendera kapal, dan perpanjangan tahunan atas dispensasi penggunaan kapal asing. Asas cabotage yang bertujuan mulia untuk menumbuh kembangkan industri perkapalan dalam negeri, dapat tidak mencapai tujuannya.

Kita perlu belajar dari negara lain, seperti Nigeria misalnya.  Dalam kasus N. Drilling N.Limited vs Nigerian Maritime Administration and Safety Agency (2010) Pengadilan membatalkan keputusan pemerintah , dan menyatakan otoritas yang membuat aturan tersebut  melampaui kewenangan (ultravires) ketika menetapkan dan mengkategorikan kegiatan pemboran sebagai kapal yang harus tunduk kepada asas cabotage.

Esensi dari asas cabotage adalah transportasi atau angkutan orang atau barang antar dua titik atau di dalam negeri menggunakan kapal berbendera negara nasional, yang tujuannya untuk menumbuh kembangkan industri perkapalan dalam negeri. Asas cabotage tidak seyogianya bermetamorfosa menjadi instrumen yang melindungi pemilik lisensi usaha armada perkapalan, atau memperluas cakupannya hingga ke aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan transportasi dan angkutan. Atau menjadi kegiatan yang tidak memberi nilai tambah, kecuali untuk pengurusan izin tahunan.

 

Penulis adalah Praktisi Migas Global

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home