Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 14:27 WIB | Selasa, 11 Oktober 2016

Atasi Bencana, Tumbuhkan Budaya Antisipatif

Sejumlah warga menyaksikan jembatan Ketapangjaya yang amblas di Kampung Purwaharja, Kota Banjar, Jawa Barat, Senin (10/10). Jembatan Nasional yang menghubungkan Jabar-Jateng amblas akibat tergerus anak sungai Citanduy, arus lalu lintas yang menuju Jateng dialihkan ke jalur alternatif melalui jembatan Citanduy. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM - Pada musim hujan ini sejumlah daerah menghadapai bencana bajir, banjir bandang dan tanah longsor. Hal ini sudah terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Bencana yang mengerikan adalah banjir bandang dan tanah longsor di Garut.

Korban meninggal dari berbagai bencana ini cukup banyak, dan korban sakit serta kerugian akibat rusaknya properti dan hilangnya harta benda juga cukup banyak. Banjir di wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah di wilayah selatan, bahkan memutus jalur utama transportasi di sana. Dan hal ini menimbulkan kerugian yang besar karena merupakan salah satu urat nadi perekonomian.

Kita prihatin atas tragedi itu, dan berterima kasih atas respon berbagai lembaga untuk menolong korban, dan antusiasme warga masyarakat dalam ikut memberikan bantuan kemanusiaan bagi para korban.

Kesiapan kita untuk menghadapi bencana dalam beberapa pekan atau bulan ke depan harus lebih ditingkatkan, mengingat musim hujan masih terus terjadi dan kemungkinan curah hujan akan meningkat. Itu berarti tingkat risiko bencana akibat musim hujan akan meningkat.

Perlu Antisipasi

Peristiwa bencana di musim hujan ini harus diambil hikmahnya. Kecuali, kita memang akan menghadapi bencana serupa setiap musim hujan datang, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Berbagai bencana banjir mungkin tidak mudah dielakkan ketika musim hujan datang, terutama pada kawasan-kawasan yang sebelumnya adalah daerah rawa atau genangan banjir. Ketika kawasan itu berubah menjadi permukiman, maka sangat mungkin menghadapi banjir di musim hujan.

Namun demikian, kita bisa mencegah untuk tidak jatuh korban, setidaknya mengurangi risiko jatuhnya korban, dan kerugian yang mungkin timbul. Dan hal itu bisa dilakukan dengan bantuan teknologi yang makin canggih. Namun yang paling utama dalah membangun perilaku yang membentuk budaya antisipasi bencana.

Yang diperlukan adalah upaya antisipasi, bukan sekadar respons ketika terjadi bencana, apalagi hanya reaktif. Tentang ini, tampaknya sudah ada data memadai di pemerinta daerah tentang peta kawasan dengan risiko bencana yang mungkin timbul. Namun sering kita hanya berhenti di situ, dan kurang mengembangkan perilaku dan budaya antisipasi bencana.

Bencana terkait sungai biasanya terjadi karena pendangkalan sungai akibat aktivitas penggundulan hutan di kawasan sekitarnya. Demikian juga banyaknya sampah yang dibuang di sungai, bahkan juga bantaran sungai dijadikan kawasan permukiman.

Antisipasi  bencana tidak bisa hanya didasarkan pada projek-projek yang dibuat oleh pemerintah. Basis antisipasi itu adalah perubahan perilaku, dan itu berarti perubahan kebiasaan, dan budaya pada manusia yang ada di kawasan itu dan kawasan yang terkait.

Bencana Buatan Manusia

Perubahan perilaku, kebiasaan dan budaya ini bahkan menjadi kata kunci dari antisipasi menghadapi dan menekan risiko bencana. Sebab, hampir sebagian besar bencana yang terjadi adalah karena perilaku manusia. Peristiwa alam, seperti musim kemarau dan musim hujan adalah siklus alam, namun risiko yang timbul pada musim itu justru karena perilaku manusia.

 Ketika musim kemarau datang dan banyak wilayah kekuarangan air, dan pertanian mengalami gagal panen, karena perilaku kita tidak menjaga mekanisme alama dalam menyimpan cadangan air. Bahkan bencana asap terjadi, karen api disulit oleh tangan manusia.

Juga ketika musim penghujan datang terjadi banjir, karena perilaku kita membuat tanah kehilangan kemampuan menyimpan dan melepas air secara perlahan. Juga yang menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk menampung debit air yang begitu besar.

Olehkarena itu antisipasi bencana yang paling mendasar adalah perubahan pada manusia, dan bukan mengubah alam. Hal itu dilakukan sebelum bencana terjadi, dan secara terus-menerus. Itu yang belum banyak kita lakukan, dan berarti membangun perilaku, kebiasaan dan budaya yang menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home