Loading...
BUDAYA
Penulis: Tunggul Tauladan 21:44 WIB | Jumat, 27 Februari 2015

Bak Sampah dan Serangan Oemoem 1 Maret

Triyanto Hapsoro, sutradara Film "Sebelum Serangan Fadjar" (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Serangan Oemoem 1 Maret 1949 (SO 1 Maret) merupakan serangan kilat yang dilancarkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk merebut Yogyakarta, yang kala itu, sebagai Ibu kota Republik Indonesia. Dalam serangan ini, TNI berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam.

Kisah heroik para pejuang dalam SO 1 Maret telah diangkat ke layar lebar, salah satunya dalam film bertajuk Djanur Kuning (1979). Pada 2014, film lain dengan tema SO 1 Maret juga berhasil diproduksi. Film yang disutradarai oleh Triyanto Hapsoro ini justru mengambil seting peristiwa sebelum SO 1 Maret meletus. Film berdurasi 36 menit ini berjudul “Sebelum Serangan Fadjar”.

Film “Sebelum Serangan Fadjar” berkisah tentang berbagai persiapan yang dilakukan oleh para pejuang sebelum SO 1 Maret digelar. Film ini diperkenalkan ke publik melalui sebuah pemutaran dan diskusi yang dihelat pada Jum’at (27/2) di Ruang Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Sanata Dharma.

Dalam diskusi yang digelar usai pemutaran film, Triyanto Hapsoro berbagi pengalaman seputar proses pembuatan film, mulai pencarian data, syuting, hingga finishing. Pria yang akrab disapa Gentong ini berkisah bahwa film “Sebelum Serangan Fadjar” menampilkan detail kecil, yang bahkan, belum pernah diketahui oleh khalayak umum.

“Film ini menampilkan banyak hal detail tentang proses sebelum Serangan Oemoem 1 Maret digelar. Salah satunya adalah fungsi bak sampah yang digunakan para pejuang untuk mengambil jatah logistik. Kala itu, laskar wanita mendistribusikan logistik kepada para pejuang dengan cara menyembunyikan nasi berbungkus daun jati ke dalam bak sampah. Di dekat bak sampah tersebut, para laskar wanita biasanya berpura-pura menggelar dagangan. Para pejuang yang telah mengerti tentang trik ini, berpura-pura menjadi pemulung dan mengambil nasi bungkus, yang kemudian diberikan kepada para pejuang lainnya,” cerita Triyanto.

Triyanto menambahkan bahwa detail kecil lain yang tersaji dalam film ini adalah penggunaan ketapel oleh para pejuang. Dalam salah satu adegan di film “Sebelum Serangan Fadjar” digambarkan bagaimana ketapel digunakan oleh para pejuang ketika memadamkan lampu penerangan jalan agar aktivitas para pejuang pada malam hari tidak diendus oleh tentara Belanda.

“Detal-detail kecil ini saya dapatkan dari penelusuran berbagai sumber, sekaligus wawancara dengan beberapa narasumber,” tambah Triyanto.

Pemutaran dan diskusi film “Sebelum Serangan Fadjar” ini diselenggarakan oleh Program Studi (Prodi Ilmu Sejarah) Ilmu Sejarah dan Pusat Studi Dokumentasi Sejarah Indonesia (PSDSI), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Selain Triyanto, diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut juga menampilkan Dr. Yerry Wirawan (Kepada PSDSI).

Dr. Yerry Wirawan dalam pemaparannya menyampaikan tentang sumber sejarah yang tidak selalu harus berbentuk arsip. Menurut Yerry, film yang dibuat dengan pengumpulan data yang valid, tidak menutup kemungkinan, juga bisa dijadikan sumber sejarah.

“Studi sejarah yang sehat adalah studi yang mampu menghadirkan perspektif yang berbeda. Sejarah bisa lebih bervariasi dalam penyajiannya, bisa dalam bentuk komik, buku, maupun film,” ujar Yerry. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home