Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 15:25 WIB | Selasa, 03 Maret 2015

Ban Ki-moon: PBB Punya Mandat Cegah Pelanggaran HAM

Para jurnalis fotografi meliput pembukaan sesi ke-28 pertemuan Dewan HAM PBB (Foto: UN Photo/Jean-Marc Ferré)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki mandat dan alat-alat yang dibutuhkan untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia, kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Senin (2/3).

Ban mengatakan itu di hadapan delegasi yang berkumpul di Jenewa untuk pembukaan sidang Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council/UNHRC). Namun, ia memperingatkan tantangan terbesar untuk menggunakan alat ini adalah kurangnya konsensus politik di antara negara-negara anggota.

“Saya mengimbau kepada Dewan HAM PBB untuk bersatu sejak awal, melakukan langkah praktis untuk mendukung para tokoh nasional dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. Tindakan dini tentang hak asasi manusia membantu untuk memperkuat kedaulatan nasional, daripada menghalangi atau menolaknya,” kata Ban melalui pesan video pada pembukaan pertemuan selama tiga hari, sesi ke-28 Segmen Tingkat Tinggi 47 Anggota Dewan HAM.

“Dunia menghadapi pelanggaran berat HAM, dari diskriminasi dan ketidakadilan hingga penindasan dan kekerasan ekstremisme. Tantangan bersama kita adalah untuk memprioritaskan pencegahan atas pelanggaran ini,” kata Sekretaris Jenderal yang bergabung dengan Presiden Dewan, Joachim Rucker, dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra’ad Al Hussein.

Dewan juga mendengar pernyataan dari Presiden Republik Makedonia eks Yugoslavia, Perdana Menteri Fiji, dan pejabat dari 20 negara yang berbicara tentang keprihatinan mereka mengenai situasi di sejumlah negara di seluruh dunia. Mereka juga menjelaskan beberapa upaya negara mereka yang melakukan promosi dan perlindungan hak asasi manusia.

Ban menyebut perlindungan dan pemahaman atas HAM adalah “esensi seluruh agenda PBB”. Dan, ia menggarisbawahi peran pemantauan dan pelaporan termasuk melalui inisiatif Front Peningkatan Kesadaran atas HAM (Human Rights Up Front /HRuF).

Inisiatif tersebut mencakup pelatihan bagi staf PBB pada tujuan inti badan dunia untuk mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia; menyediakan bagi negara anggota informasi yang mereka perlukan untuk menanggapi pelanggaran terhadap hak asasi manusia; serta memastikan bahwa personel PBB di seluruh dunia lebih selaras dengan situasi di mana ada risiko pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan dilengkapi untuk bertanggung jawab atas potensial krisis.

Strategi juga mencakup untuk mencapai organisasi lebih koheren dengan memperkuat keterlibatan Majelis Umum, Dewan Keamanan, dan Dewan HAM PBB yang berbasis di Jenewa dan memberikan dukungan awal dan lebih efisien untuk tim yang berada di lapangan sebelum krisis muncul; dan mengorganisasi staf hak asasi manusia yang lebih baik sehingga mereka dapat mengidentifikasi risiko pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang dapat mengarah kepada kekejaman.

“Konflik di Suriah menawarkan salah satu contoh awal upaya PBB untuk menangani pelanggaran HAM mungkin telah menghindari bencana politik dan kemanusiaan,” katanya. Ia menekankan bahwa negara-negara anggota harus melakukan bagian mereka untuk menghasilkan “pergeseran yang sangat dibutuhkan” dalam cara mereka bekerja.

Komisi Tinggi HAM PBB

Pertama kali berbicara di Dewan HAM PBB sejak memangku jabatannya tahun lalu, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan dunia harus “benar-benar berprinsip dan terampil dalam upaya kolektif untuk melucuti” ekstremis.

“Bagi kami, hukum kemanusiaan internasional dan hukum HAM internasional tidak dapat dianggap remeh atau dielakkan, tetapi harus benar-benar diperhatikan,” Zeid menekankan. Ia mengatakan meskipun Piagam PBB didirikan 70 tahun yang lalu, HAM masih diabaikan, dan dilanggar, kadang-kadang sampai tingkat yang mengejutkan.

Negara mengklaim mereka dalam keadaan luar biasa, katanya. “Mereka memilih-milih hak. Misalnya, satu pemerintah secara menyeluruh akan mendukung hak asasi perempuan dan orang-orang dari komunitas LGBT, tetapi akan menolak setiap usulan bahwa hak-hak diperluas untuk migran atau mereka yang tidak punya status. Negara lain dapat menjunjung hak atas pendidikan, tetapi akan membasmi secara brutal mereka yang menentang pandangan politik. Atau, ada negara yang melanggar semua hak politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, tetapi dengan penuh semangat membela cita-cita HAM negara relasinya.”

“Beberapa bukti mungkin tersembunyi. Tetapi kenyataannya, terlalu banyak negara yang melakukan pembantaian dan kekerasan seksual; menghancurkan orang-orang miskin; memberi hak eksklusif kesehatan dan sumber daya penting lain bagi orang kaya dan penguasa; penyiksaan terhadap tahanan tak berdaya; penolakan martabat manusia. Hal-hal ini sudah diketahui,” katanya. Ia menambahkan, “Dan, tindakan-tindakan itu yang benar-benar membuat reputasi suatu negara. Bersama-sama dengan langkah-langkah nyata untuk mencegah pelanggaran dan mengatasi kesenjangan sosial.”

Komisaris HAM PBB mengatakan ia “sangat terganggu” oleh ketidakpedulian yang ditampilkan oleh beberapa negara terhadap ahli independen Dewan HAM PBB. Juga, oleh pembalasan dan kampanye merusak yang terlalu sering dilakukan terhadap perwakilan masyarakat sipil.

Satu-satunya ukuran nyata dari layak suatu pemerintah bukanlah dalam diplomasi diam. Melainkan, justru pada sejauh mana negara itu sensitif terhadap kebutuhan—dan melindungi hak-hak—warga negaranya dan orang-orang lain yang berada di bawah yurisdiksinya, Zeid menyerukan negara-negara anggota untuk menyelaraskan tindakan mereka dengan rekomendasi dari Dewan HAM PBB.

Sebagai badan antar-pemerintah dalam PBB, Dewan HAM PBB bertanggung jawab untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia dan untuk mengatasi situasi pelanggaran hak asasi manusia dan membuat rekomendasi pada mereka.

Zeid memuji karya semua staf Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights/OHCHR), terutama mereka yang bekerja dalam situasi bahaya sehari-hari. Ia menyatakan kecewa karena “kurangnya kemauan oleh negara anggota,” PBB tidak dalam posisi untuk membuat ketentuan yang memadai untuk dukungan kepada staf yang terluka dalam misi yang berisiko tinggi, atau keluarga anggota staf yang telah tewas dalam keadaan seperti itu.

“Terus terang, ini mengerikan dan saya mengimbau Anda semua untuk mengubahnya,” katanya.

Presiden Majelis Umum PBB

Melalui pesan video, Presiden Majelis Umum Sam Kutesa mengatakan bahwa negara-negara anggota memikul tanggung jawab utama untuk melindungi warga negara mereka dan memberi mereka hak yang telah disetujui secara internasional. Sangat penting, karena itu Dewan HAM PBB mempertimbangkan hal ini ketika berhadapan dengan tantangan hak dan memanfaatkan mekanisme Universal Periodic Review.

“Akhir-akhir ini di seluruh dunia, kita telah menyaksikan meningkatnya berbagai bentuk intoleransi, diskriminasi, dan prasangka. Perilaku ini telah memuncak dalam berbagai hasil negatif; termasuk stereotip, stigmatisasi, pengucilan, ancaman, dan bahkan kekerasan ekstrem,” katanya.

Kutesa meminta Dewan HAM PBB untuk lebih fokus pada hak-hak sosial dan ekonomi dan khususnya, hak atas pembangunan, karena ini penting untuk pencapaian standar hidup yang dapat diterima belahan dunia yang paling menantang secara ekonomi.

“Seperti yang kita rumuskan dalam kerangka pembangunan baru transformatif tahun ini di PBB, kita harus ingat hubungan kuat antara pembangunan dan hak asasi manusia,” ia menambahkan. (un.org)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home