Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:37 WIB | Senin, 26 September 2016

Banjir Longsor Meningkat, Buruknya Pengelolaan DAS

Ilustrasi tumpukan sampah di sungai Citepus, Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Kamis (23/3/2016). (Foto; bandung.pojoksatu.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM  - Bencana banjir bandang yang terjadi di Garut, sesungguhnya merupakan salah satu potret buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, demikian menurut Sutopo Purwo Nugroho Peneliti Utama Hidrologi dan Pengelolaan DAS di BPPT, seperti yang dilansir situs bnpb.go.id

“Banjir dan longsor dari tahun ke tahun terus meningkat. Meningkatnya banjir dan longsor tersebut tidak lepas dari faktor alam dan manusia. Faktor manusia ini yang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor dibandingkan alam. Banjir dan longsor sesungguhnya tidak lepas dari imbas kerusakan DAS, “katanya.

Ia menambahkan , saat ini, kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, maka tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, 1994 menjadi 39 DAS, 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS yang rusak super kritis dan kritis. DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984. Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS.

Respons dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir dan longsor, namun sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan.

Ia mengatakan, upaya pengelolaan DAS terus dilakukan. Namun ternyata hasilnya belum signifikan. Buktinya degradasi DAS juga terus menigkat. Dampak yang ditimbulkan pun terus meningkat. Banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan daya dukung serta daya tampung lingkungan terlampaui. Saat terjadi bencana semua pihak, baru ingat bahwa bencana timbul disebabkan kerusakan DAS.

Sesungguhnya,  penanganan masalah DAS sudah sejak tahun 1969 dilakukan, yaitu dengan Proyek Penghijauan Departemen Pertanian,  yang kemudian dilanjutkan pada tahun 1972–1978 proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization (FAO),  untuk memformulasikan sistem pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS terpadu pernah dilaksanakan di beberapa DAS di Pulau Jawa, yaitu di DAS Brantas, Cimanuk, Bengawan Solo dan Citanduy. Teknologi pengelolaan DAS yang yang diterapkan pada saat itu, bahkan hingga kini terus diterapkan di Indonesia, yang mengandalkan aspek fisik dan mahal, seperti terasering, pembangunan dam erosi, gully erosion dan sebagainya.

Menurut Sutopo, ciri khas dari pengelolaan DAS tersebut, adalah mengedepankan aspek fisik, khususnya dengan membangun terasering yang padat tenaga kerja dan mahal. Salah satu sumber kegagalan pengelolaan DAS adalah tidak adanya pemeliharaannya setelah proyek berakhir. Begitu masa bakti proyek pemberian subsidi input dan modal usaha tani habis, maka petani tidak mampu lagi menerapkan teknologi konservasi yang.

Permasalahan dalam teknologi pengelolaan DAS pada umumnya adalah masalah pemeliharaan setelah proyek berakhir. Berbagai proyek konservasi tanah skala besar di Jawa seperti Proyek Citanduy II, Upland Agriculture and Conservation Project/UACP, dan Land Rehabilitation and Agroforestry Development mempunyai masalah yang sama yakni pemeliharaan teras merosot drastis setelah proyek selesai.

Pemeliharaan teras secara terus menerus tanpa subsidi setelah proyek berakhir tidak dapat dilakukan oleh petani, khususnya petani lahan kering karena besarnya biaya yang diperlukan. Akibatnya proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif.

Menyadari hal demikian, masalah DAS bukan hanya bertumpu pada pada masalah fisik dan teknis saja, maka perlu adanya suatu keseimbangan dengan pengelolaan DAS yang bersifat partisipatoris. Pendekatan pembangunan partisipatoris dimulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan masyarakat, setempat yaitu masyarakat itu sendiri.

Sutopo mengatakan, bahwa pendekatan partisipatoris harus disertai perubahan cara pandang terhadap DAS sebagai sistem hidrologi yang semula merupakan benda fisik menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial.

Munculnya paradigma pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif. Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS yang akan mewarnai kehidupan mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan lokal ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, adanya umpan balik yang pada hakekatnya adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.

Dengan demikian, maka teknologi yang dikembangkan dalam konservasi tanah dan air adalah teknologi lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang sebenarnya telah lama dikenal masyarakat dengan mempertimbangkan pendekatan sosial dan ekonomi. Pengelolaan DAS partisipatif didasarkan pada pendekatan farming system dan pengelolaan milik bersama (common property resources management) yang dalam prakteknya memperkenalkan konsep DAS kecil sebagai satu unit pembangunan.

Pemanfaatan ruang berbasis peta rawan bencana menjadi panglima yang mengatur semua sektor kegiatan manusia, baik oleh pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat. Seringkali tata ruang sudah bagus dan mempertimbangkan aspek bencana, tetapi semua dilanggar sehingga menimbulkan banyak masalah. Kawasan resapan air berkurang, hulu DAS berubah menjadi kawasan budidaya dan permukiman, bantaran sungai penuh permukiman, erosi, sedimentasi, polusi dan lainnya, pengelolaan DAS sifatnya harus over all, multidisiplin dan lintas sektor. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home