Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 16:06 WIB | Selasa, 30 Agustus 2016

Bayar Pajak dan Hapus Korupsi

Logo Pengampunan Pajak dari Ditjen Pajak. (Foto: ist)

SATUHARAPAN.COM – Masalah tax amnesty atau pengampunan pajak menjadi pembicaraan luas. Masalahnya, dana tebusan dari mereka yang mengikuti program pengampunan pajak ini yang masih kecil, hanya sekitar Rp 2,14 triliun dan itu pun masih harus dikumpulkan.

Sementara dana yang disebutkan ‘’parkir’’ di luar negeri tampaknya tidak juga bergeser untuk pulang ke negeri sendiri. Dana yang dilaporkan dalam kaitan kebijakan pengampunan pajak ini baru sekitar 12 triliun. Itu baru 1,3 persen dari target sebesar Rp 165 triliun.

Kemudian muncul berita-berita yang menyebutkan bahwa petugas pajak akan memburu mereka yang menyembunyikan harta mereka, atau selama ini tidak melaporkan dalam SPT PPh (pajak penghasilan). Tujuannya agar mereka segera melapoprkan dan membayar uang tebusan.

Ini dianggap mengagetkan, karena selama ini masyarakat memahami sebagai kebijakan pemerintah untuk menarik dana warga negara dan korporasi yang diparkir di luar negeri atau lebih menyasar pada mereka yang tergolong wajib pajak besar.

Namun belakangan ini kebijakan ini membuat begitu banyak orang menjadi khawatir bahwa mereka dalam golongan bawah pun akan menjadi target kebijakan ini. Merejka dihantui oleh kemungkinan besarnya uang tebusan yang harus dibayar.

Orang Bijak Bayar Pajak

Ditjen Pajak pernah memampang iklan di banyak tempat yang berbunyi: ‘’Orang bijak bayar pajak.’’ Pernyataan ini menarik, karena membayar pajak ditempatkan sebagai bagian dari ekspresi hidup yang bijak. Tapi entah mengapa, imbauan itu terasa tak bermakna.

Keluarnya kebijakan pengampunan pajak oleh pemerintahan Joko Widodo ini muncul karena iklan itu mungkin tidak berdampak. Di dalam negeri kita membutuhkan biaya besar untuk pembangunan, terutama infrastruktur, tetapi di sisi lain banyak dana dari Indonesia diparkir di luar negeri, dan terbebas dari kewajiban membayar pajak.

Kalau bercermin pada pesan iklan Ditjen Pajak ini, maka maknanya berarti bahwa banyak orang Indonesia tidak berperilaku bijakbdalam urusan pajak. Dan sayangnya, dari kasus ‘’Panama Papers’’ saja sudah ratusan orang Indonesia disebutkan, dan banyak dari mereka adalah pejabat pemerintah.

Lambatnya efek dari pengampunan pajak ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa masih banyak warga yang ‘’menyembunyikan’’ harta yang seharusnya menjadi objek pajak? Bukankah bahwa ‘’aspek’’ pengampunan dalam kebijakan ini akan meringankan para wajib pajak dari beban tuntutan hukum dan denda yang besar?

Aspek pengampunan ini adalah momentum ‘’perdamaian’’ yang penting bagi bangsa dan negara dan akan menjadi titik awal dalam perpajakan dan pembangunan. Kebijakan ini bisa menjadi titik awal melihat masa depan yang lebih baik. mengapa hal ini tidak memiliki daya tarik?.

Pajak dan Korupsi

Kembali bercermin pada iklan Ditjen Pajak, jika pengampunan pajak sebagai momentum perdamaian, maka tuntutan perubahan perilaku ditujukan pada dua pihak: wajib pajak, dan pemerintah yang menggunakan pajak. Maka makna iklan itu harus juga berarti bahwa ‘’uang pajak harus digunakan secara bijak.’’ Lalu bagaimana dengan korupsi yang masih merajalela?

Maka pertanyaan yang muncul adalah, perubahan apa yang terjadi di pemerintahan? Apakah uang APBN yang sebagian besar bersumber dari pajak telah digunakan dengan transparan dan bijak? Masih banyaknya pratik korupsi adalah pertanda bahwa uang pajak tidak digunakan dengan bijak.

Tax amnesty tidak bisa dijalankan dengan sepihak, tanpa perubahan pengelolaan dana pajak secara bertanggung jawab. Pemerintah dan warga, hanya bisa berdamai dalam momentum pengampunan pajak, jika ada perubahan perilaku yang nyata pada kedua pihak. Dan di pihak pemerintah, satu kata kunci adalah: hentikan korupsi! Gunakan dana APBN secara transparan dan bertanggung jawab.

Pajak sebagai sumber utama APBN menentukan kinerja pemerintahan, dan basisnya ada pada kepercayaan dan akuntabilitas dalam pengumpulan dan penggunaannya. Pajak adalah perwujudan gotong royong dan ikatan kebangsaan dalam bernegara.

Maka harus diingat bahwa kebijakan ini harus mencerminkan ketegasan dan sekaligus keadilan. Masalah yang muncul dalam kebijakan pengampunan pajak jelas menyentuh masalah paling mendasar dalam kehidupan dan ikatan kebangsaan. Kesalahan mengelola bisa menyeret pada negara gagal.

Jadi, kalau kebijakan pengampunan pajak menyebutkan kata kunci: ungkap - tebus - lega. dan hal itu perlu juga diwujudkan dengan penyelesaian korupsi yang kata kunci dari rakyat adalah: ungkap tuntas - hukum secara adil -  lega.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home