Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:43 WIB | Kamis, 06 Oktober 2016

Beasiswa dengan Syarat Diskriminatif

SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Provinsi Jawa Barat dinilai mempraktikkan aturan diskriminatif dalam memberikan beasiswa bagi mahasiswa, karena mensyaratkan calon penerima harus hafal Alquran 15 juz.  

Kebijakan diskriminatif ini terungkap ke publik setelah beredar di media sosial tentang sebuah surat dari rektorat Universitas Padjadjaran, Bandung, yang ditujukan kepada pihak Dekanat perihal beasiswa dari Pemprov Jabar.

Wakil Ketua Komisi VIII, DPR RI, Sodik Mudjahid, juga menyebutkan sebagai kebijakan yang diskriminatif, bukan hanya terhadap mahasiswa non Muslim, tetapi juga kepada mahasiswa Muslim.

Pengamat pendidikan dan staf pengajar di sejumlah perguruan tinggi, Asep Salahudin, berpendapat sama. Persyaratan itu sangat partisan, sangat eksklusif, dan hanya untuk sekelompok masyarakat, hanya untuk umat Islam.

Pemerintah Jabar seharusnya menitikberatkan kepada persyaratan yang lebih bersifat universal dan tidak diskriminatif. Sebab, Pemprov Jabar bukan pemerintahan Islam. Lagipula dana yang digunakan berasal dari anggaran daerah yang berasal dari rakyat, dan tidak semestinya digunakan untuk hal-hal yang diskriminatif.

Alasan Pemprov Jabar

Pemprov Jabar akan memberikan beasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kepada para pelajar apabila dapat menghafal bacaan Alquran minimal 15 juz dan lulus ujian masuk PTN. Ini disebutkan untuk meningkatkan prestasi para siswa di Jawa Barat.

Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, pada hari Jumat (6/5) menyebutkan bahwa yang hafal Alquran itu pasti cerdas dan prestasinya pasti bagus. Karena itu, siswa yang hafal Alquran 15 juz ke atas dan lulus akan diberikan beasiswa ke perguruan tinggi.

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Asep Hilman mengakui hal itu. Dia mengatakan beasiswa berupa biaya pendidikan selama setahun diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat.

Persyaratan itu juga disebutkan sesuai visi Pemprov Jabar dalam "peningkatan keimanan dan ketaqwaan masyarakat Jawa Barat". Dan alasan lainnya adalah "mayoritas penduduk Jawa Barat beragama Islam."

Beasiswa Yang Efektif

Beasiswa oleh Pemprov Jabar, atau pemerintah daerah lain, sebaiknya dilakukan dengan kajian yang lebih mendalam dan dengan sasaran yang tepat terkait pembangunan daerah bersangkutan. Dan persyaratannya haruslah jelas, sesuai, dan tidak diskriminatif atas dasar agama atau etnis.

Beasiswa perlu bagi mahasiswa yang studi pada bidang dan keahlian yangdibutuhkan Pemda bersangkutan. Misalnya, Jabar menghadapi masalah banyak daerah rawan banjir dan tanah longsor. Beasiswa bisa diberikan pada mahasiswa yang serius untuk studi bidang ini, dan hasilnya akan konkret bermanfaat bagi Pemda.

Atau Jabar perlu mengembangkan peternakan sapi, karena kita terus impor daging sapi dengan harga jual yang konon termasuk termahal di dunia. Dana APBD untuk beasiswa bisa diarahkan untuk mereka yang studi dibidang tersebut.

Maka, Pemda yang paham masalah yang dihadapi dan arah pembangunan yang jelas, bisa memanfaatkan program beasiswa untuk mendukung perwujudan pembangunan. Jika ini yang diterapkan, maka persyaratan utamanya adalah kapasitas akademik di bidang bersangkutan, dan hal-hal lain yang relevan dan mendukung keberhasilan studinya.

Dengan begitu, hafal Alquran bisa jadi syarat penting untuk beasiswa kajian agama Islam, misalnya untuk mendukung progran deradikalisasi yang sedang marak. Jadi, beasiswa oleh Pemda sebaiknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan keahlian yang kosong dalam sumber dayanya. Apalagi dananya terbatas. Kalau tidak, beasiswa itu hanya mendukung warga untuk mendapatkan ijazah perguruan tinggi.

Diskriminasi Makin Memprihatinkan

Beasiswa dari Pemrov Jabar yang diskriminatif ini menambah panjang praktik diskriminasi oleh pejabat pemerintah di negara berdasarkan Pancasila. Dan ini baru tentang diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan agama.

Sebelumnya yang marak diungkapkan ke publik adalah tekanan pada kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama pada pemeluk agama tertentu. Kasus lain adalah tidak diberikannya KTP (kartu tanda penduduk) bagi penganut agama dan kepercayaan tertentu, serta pelayanan pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama tertentu.

Praktik yang menyimpang dari konstitusi ini cenderung dibiarkan, bahkan dibenarkan oleh sebagian kalangan. Bahkan makin banyak pemerintah daerah yang menjalankan aturan yang diskriminatif.

Praktik ini akan berakibatnya kontra produktif dalam kehidupan kebangsaan dan kenergaraan, dan akan nyata dalam kesulitan mewujudkan pembangunan. Sebab, tidak akan ada keadilan dalam praktik diskriminasi.

Akibat lain, di mata internasional Indonesia dinilai sebagai negara yang tidak menghargai hak asasi manusia, dan selanjutnya berdampak pada kinerja diplomasi dan kerja sama multilateral. Hal ini juga akan menyulitkan pembangunan Indonesia, karena interdependensi terjadi pada semua negara di dunia.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home