Loading...
OPINI
Penulis: Marvi Yeremia Sinaga 00:00 WIB | Senin, 15 Februari 2016

Belajar Ekonomi di Era Globalisasi

SATUHARAPAN.COM  - Ketika kita mendengar kata-kata seperti globalisasi ekonomi dan neoliberalisme, kita cenderung berpikir mengenai serangan-serangan perusahaan-perusahaan besar swasta ke berbagai bidang peri kehidupan masyarakat. Sebagian besar orang yang mendukung aliran neoliberalisme berpikir bahwa inilah solusi terbaik untuk perekonomian dunia, yaitu perdagangan bebas, kompetisi dagang tanpa halangan, dan lain sebagainya. Reaganomics mencerminkan awal neoliberalisme.

Lalu kita pun melanjut bertanya, apa sebetulnya kaitan neoliberalisme dan ‘kurikulum’ belajar ekonomi masa kini, semisal di Eropa? Dan sudah sejauh mana sekolah-sekolah ekonomi di Eropa telah dipengaruhi oleh globalisasi neoliberalisme tersebut?

 

Serba Serbi Praktik Ekonomi Neoliberal

Pertama-tama, neoliberalisme tidak tampak secara langsung tapi dapat dipotret melalui berbagai langkah yang ditempuhnya. Ini bisa dipahami karena ekonomi itu seperti fisika, maksudnya: untuk mengenal lebih dalam suatu keadaan riil, haruslah kita mengkondisikan terlebih dahulu keadaan itu, membuatnya bekerja sempurna. Dengan kata lain perlu diciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga teori atau gagasan ekonomi itu bisa bekerja sepenuhnya dan tanpa anomali.

Umumnya pemerintah memiliki tiga cara untuk mendapatkan uang: pajak, penjualan obligasi alias surat hutang, dan menerima hasil dari pasar eksport import. Dengan menjual obligasi maka pemerintah mendapat kesempatan meraih uang  dari masyarakat dan dari sejumlah bank, sementara dengan eksport pemerintah akan memiliki mata uang dari negara lain, seperti Dolar atau Euro.

Penganut neoliberalisme tampaknya memiliki perhatian dan berniat mengotak-atik hal  pajak di atas. Pajak memang dianggap sumber masukan untuk pemerintahan karena dengannya uang milik masyarakat akan dipakai untuk membangun jalanan, rumah sakit, sekolah, atau apa saja yang menjadi kepentingan umum. Pajak tentu dapat diambil dari banyak sumber, mulai dari penjualan makanan sampai saham.

Terutama mengenai hal terakhir ini pemikir ekonomi Modigliani dan Miller beranggapan bahwa pajak atas pasar saham menjadi tidak sempurna akibat tak terduganya harga dan keuntungan yang bisa didapatkan darinya. Pajak atas saham ini menjadi gangguan atas teori yang mereka kembangkan. Di pihak lain, dalam derajat tertentu teori mereka mendorong masyarakat atau perusahaan agar terus meminjam uang; di sini pasar dianggap sempurna sebab kegiatan meminjam uang itu tidak mempengaruhi nilai aset yang mereka miliki, tetapi malah akan menumbuhkan ekonomi masyarakat.

Menurut saya, meski memang pajak atas saham adalah kendala dalam kesempurnaan ekonomi pasar kaum neoliberal, tetap saja pajak itu sangat vital untuk kehidupan suatu komunitas atau suatu negara.  Tampaknya solusi yang mungkin ialah membuat pajak yang memadai demi membiayai program pemerintahan, tetapi "cukup rendah" agar perusahaan masih mampu menanggungnya.  Tapi yang mau mereka tegaskan  ialah agar pajak atas saham tidak menjadi sumber utama pemasukan negara.

Kita tahu juga bahwa neoliberalisme mengecam intervensi pemerintah dalam perekonomian negara. Artinya, semakin kecil pengaruh pemerintah dalam perekonomian negara, semakin baiklah perekonomian negara itu. Dalam mata pelajaran makro ekonomi, terutama yang berkaitan dengan ekonomi terbuka, posisi pemerintah sangatlah rentan. Ketika pemerintah memiliki defisit di anggarannya, pemerintah harus menutupi kekurangan ini dengan mengambil sebagian dari dana segarnya yang dapat dialokasikan (loanable fund); tetapi hal itu bisa menyebabkan crowding out (akibat pemerintah meminjam banyak dan memiliki banyak uang, maka suku bunga pinjaman akan meningkat yang berakibat pada lesunya aktivitas ekonomi). Hebatnya lagi, crowding out ini bisa menyebabkan naiknya harga barang domestik.

Masalah seputar crowding out itu lebih dilihat sebagai alat pihak neoliberal untuk menekan pemerintah agar tidak terlalu agresif dalam aktivitas ekonominya. Jadi perusahaan swasta bisa bergerak sebebasnya di sini. Taruhannya cukup masuk akal:  kalau intervensi agresif negara ke pasar tersebut gagal, maka risiko pelarian modal swasta akan semakin meninggi dan ekonomi bisa mengalami kelesuan berkepanjangan. Jadi, lebih baik perusahaan swasta yang menjadi pemain utama di pasar tersebut.

Soal soal di atas inilah yang tengah menjadi pemikiran dan praktik ekonomi neoliberal akhir akhir ini, yang kurang  lebih telah pula menjadi pokok studi para mahasiswa Eropa masa kini. Dengan kata lain belajar ekonomi menjadi kegiatan mempersoalkan praktik ekonomi yang senyatanya terjadi di ruang global.

Meskipun sudah banyak pihak yang mendorong  untuk berpikir bahwa neoliberalisme itu terbukti bekerja baik, janganlah diabaikan penerapan prinsip sosio-demokrasi di Eropa. Di Jenewa misalkan, hampir semua sekolah, rumah sakit dan transportasi umum dimiliki oleh pemerintah.

Memang betul asuransi kesehatan wajib dimiliki setiap orang menurut undang-undang Swiss, tapi jelaslah menggratiskan biaya pembelajaran dan biaya kesehatan seperti sebentuk sikap yang mau menolak pemikiran neoliberalisme. Kita juga mengenal bahwa berbagai negara di Eropa sudah menegaskan batas gaji dan bonus (wage cap), yang membuat meritokrasi (di mana gaji akan didasarkan pada kecakapan atau jasa baik) tidak berlaku. Selain itu, dengan tersingkapnya rahasia bank yang selama ini begitu dijaga di Swiss, tidak akan terjadi lagi keadaan dimana bank-bank menjadi too big to fall.

 

Belajar Ekonomi

Pengaruh  praktik dan pemikiran neoliberalisme di atas bisa dilihat dari rumus-rumus ekonomi yang kini diajarkan di universitas di banyak negeri di Eropa;, tampaknya  hal ini juga terjadi di Indonesia. Di atas telah disinggung rumus Modigliani-Miller yang bermula dari para Gurubesar ekonomi di Universitas Chicago.

Kita semua tahu bahwa Universitas Chicago inilah yang mendukung neoliberalisme. Dan berdasarkan pengalaman studi saya di Eropa, kini ekonomi sudah semakin menjadi seperti matematika; artinya ekonomi yang kita kira adalah interaksi antara penjual dan pembeli dengan berbagai dinamikanya itu telah menjadi rumus matematika yang mengarah pada kepastian. Ekonomi semakin menjauh dari aspek sosialnya, dan telah mendekat menjadi sains. Ini tentu bertentangan dengan apa yang Keynes pikirkan. Meski Keynes memiliki diploma matematika, dia malah terjun ke dunia filosofi untuk memperdalam pemikirannya mengenai ekonomi.

Namun demikian, meskipun neoliberalisme sudah dipraktikkan cukup merata secara mondial, fakta bahwa peran pemerintah masih penting tidak bisa ditolak. Sering dikutip, terutama di pelajaran makro ekonomi, bahwa setiap kali ada kejanggalan dalam perekonomian suatu negara, kita selalu meminta bantuan pemerintah mengintervensi. Jadi tetap ada semacam ketegangan dalam studi ekonomi  tentang ruang lingkup  yang tepat bagi pemerintah dan swasta dalam ekonomi di sebuah negara.

Secara teoritik di kampus-kampus memang masih dipelajari terus "konflik" antara pendekatan Keynes dan Friedman. Tampaknya belajar ekonomi di Eropa itu seperti mau menjembatani kedua pilar ekonomi itu. Walaupun Keynes mampu membangkitkan perekonomian pasca "Great Depression", harus diakui bahwa kita condong ke ekonomi neoliberalisme karena teori Keynes gagal di tahun 70an. Dan dengan corak globalisasi yang semakin bersifat komersial semenjak datangnya perusahaan besar seperti "Apple, Microsoft, dan lainnya, maka semakin deraslah arus neoliberalisme tersebut.

Soalnya ialah apakah memang tak terhentikan lagi poses neoliberalisme ini? Belajar ekonomi di Eropa menjadi asyik karena soal-soal di atas dan pertanyaan ini. Tentu ihwal sedemikian juga berlangsung di Indonesia, barangkali pergulatan ekonomi kerakyatan vs ekonomi pasar bebas  memiliki kemiripan dengan debat yang berlangsung di universitas universitas di Eropa.

 

Penulis adalah mahasiswa semester 3 di Université de Genève, Swiss, pada Fakultas Sciences économiques.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home