Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 17:49 WIB | Jumat, 02 Oktober 2015

Belas Kasih Merkel Datangkan Kekaguman Cendekiawan Muslim

Kanselir Jerman, Angela Merkel bersama dengan anak-anak (Foto: haveeru.com.mv)

WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Belas kasih yang ditunjukkan Angela Merkel kepada para pengungsi dari Timur Tengah masih terus menjadi perhatian. Sementara di dalam negeri ia banyak dikritik bahkan banyak tokoh politik menjauh darinya dan menganggap kejatuhannya sudah dekat, di dunia internasional namanya harum. Bahkan kalangan cendekiawan Muslim tak habis-habisnya mempertanyakan, mengapa Kanselir Jerman itu demikian teguh mempertahankan keramahannya kepada pengungsi yang sebagian besar adalah Musim. Padahal, di saat yang sama pemimpin-pemimpin Eropa lainnya tampak gamang mengambil sikap.

Salah seorang cendekiawan Muslim yang tertarik mencari jawaban pertanyaan ini adalah Akbar Ahmed, ahli studi-studi Islam di American University, Washington. Ahmed terkesima membaca fakta bahwa Angela Merkel mengumumkan negaranya akan membuka pintu bagi 800.000 pencari suaka tahun ini.  Ahmed mempertanyakan apa alasan yang masuk akal terhadap keputusan ini. Atau apakah Merkel sudah gila?

Ahmed kemudian mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini lewat studi yang ia tuangkan dalam sebuah buku yang akan terbit, berjudul The Journey to Europe. Buku ini akan diterbitkan oleh The Brookings Institution Press  dan Ahmed  menuangkan sebagian dari isi buku itu pada tulisannya di huffingtonpost.com, dengan judul Why Merkel's Kindness to Asylum Seekers Could Reflect a German Soft Spot for Islam.

Di mata Ahmed, Merkel telah menunjukkan keberanian dengan sendirian  mengambil risiko memimpin perubahan pada suasana hati rakyat Jerman terhadap para pengungsi. Oleh karena sikap yang ia tunjukkan itu, warga Jerman mulai berubah dan bersikap ramah kepada para pengungsi. Polisi berseragam di televisi tampak membagikan permen dan mainan untuk anak-anak pengungsi yang baru tiba. Rakyat Jerman pun berlomba menunjukkan kebaikan. Mau tak mau para pengungsi ikut luluh. Mereka dengan kagum mengelu-elukan nama Angela Merkel. Mereka menyebut Merkel sebagai Merkel the Magnificient (Merkel yang Mengagumkan).

Di mata Ahmed, hanya ada dua tokoh yang bersinar di tengah krisis pengungsi di Eropa, yaitu Merkel dan satunya lagi, Paus Fransiskus. Paus dengan berani mengulurkan tangan kepada para pengungsi yang putus asa dan menganjurkan umatnya menerima mereka. Bila Kanselir Jerman dijuluki  Merkel The Magnificient, maka Paus Fransiskus digelari sebagai Francis the Fearless, Fransiskus si Pemberani. Mereka berdua menjadi cahaya di tengah redupnya para pemimpin Eropa lainnya. termasuk Perdana Menteri Inggris, David Cameron yang kini di sebut sebagai si Perdana Menteri kikir.

Namun, Ahmed tidak berhenti sekadar pada mengagumi kebaikan dan kemurahan hati Merkel. Ia ingin tahu mengapa Merkel demikian baik. Apakah kebaikan itu hanya bersumber dari dirinya sendiri ataukah kebaikan itu memiliki dasar yang lebih dalam, yaitu dari sejarah dan budaya bangsa Jerman sendiri.

Apalagi kebaikan dan kemurahan hati Merkel terasa kontradiktif bila dibandingkan dengan sejarah Jerman yang tidak bisa dilepaskan pada kengerian era Nazi yang memusnahkan kaum Yahudi. Ini memunculkan spekulasi, jangan-jangan, kata Ahmed, kebaikan Merkel adalah semacam kompensasi atas rasa bersalah karena kekejaman mereka di masa lalu kepada kaum Semit itu. Lalu kini dibayarkan dengan memberikan kebaikan kepada kaum Semit yang lain, yaitu kalangan Arab dari Suriah dan Irak.

Atau, di balik kebaikan Merkel tersebut, tersembunyi motif ekonomi. Bahwa Jerman kini kekurangan sumber daya manusia dan mereka membutuhkan tenaga kerja muda berbadan sehat dan terlatih. Ini diperlukan untuk mengganti kekosongan akibat penuaan penduduk dan penurunan populasi. Oleh karena itulah Merkel dengan tangan terbuka menerima para pengungsi.

Islam adalah Teman Baik Jerman

Studi yang dilakukan Ahmed ternyata tidak membawanya kepada dua spekulasi yang sudah disebutkan itu. Ahmed justru menemukan jawaban yang lain, yang menurutnya didasarkan pada apa yang oleh para antropolog disebut sebagai struktur dalam sejarah. Oleh Ahmed, hal itu disebutnya sebagai titik lembut (soft spot) Jerman terhadap Islam.

Berbeda dengan pandangan yang umum bahwa Jerman memiliki hubungan yang berjarak dengan Islam,  Ahmed justru berpendapat bahwa Jerman dari dulu mengenal dekat peradaban Islam. Bahkan, menurut studi yang ia lakukan, Jerman memandang peradaban Islam sebagai sesuatu yang kuat, canggih dan berbeda. Oleh karena itu, kata dia, bagi Jerman di masa dulu, Islam adalah teman yang layak. Kalau pun ia jadi musuh, ia juga adalah musuh yang pantas.

Menurut Ahmed, bangsa Jerman tahu dari sejarah bahwa Islam telah mengalahkan kerabat Jermanik mereka, Visigoth, di Semenanjung Iberia. Banyak orang Jerman yang juga masih mencatat bahwa dua kali dalam dua abad tentara Ottoman mengepung Wina, di jantung Eropa. Akibatnya, bangsa-bangsa  yang berbahasa Jerman belajar minum kopi dan makan croissant berbentuk seperti bulan sabit yang dikenakan oleh tentara Turki sebagai lambang identitas.

Ottoman mewakili sebuah dunia eksotis dari seni dan arsitektur mempesona tapi juga yang menerjunkan tentara perkasa dengan prajurit pemberani. Aliansi antara Sultan Ottoman dengan raja-raja Jerman menghasilkan adanya izin untuk membangun pemakaman dan bahkan masjid di Jerman. Oleh karena fakta sejarah ini, menurut Ahmed, sejarah awal Islam sebagai sebuah titik lembut  tertanam dalam persepsi diri bangsa Jerman untuk muncul kembali secara teratur selama berabad-abad dalam pikiran dan tindakan mereka. Sampai sekarang.

Bahkan Mozart dan Nietsche pun Dekat dengan Islam

Untuk meyakinkan orang akan pendapatnya ini, Ahmed memberikan daftar kronologis dari beberapa tokoh Jerman yang menonjol dan sikap mereka terhadap Islam melalui perjalanan sejarah. Salah satunya adalah Charlemagne atau Karl de Grobe. Dia adalah salah satu pendiri utama Prancis dan Jerman modern. Sebagai Kaisar Romawi Suci yang pertama, ia adalah pemimpin pertama yang menyatukan Eropa sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi.

Selama pemerintahannya di 700-an dan 800-an, Charlemagne menjadi salah satu pemimpin Eropa awal yang memutuskan berinteraksi dengan dunia Muslim, khususnya di perbatasan barat daya di Andalusia. Sementara hubungan dengan Bani Umayyah di Spanyol sering diperdebatkan, ia tidak mengambil antitesis penuh terhadap dunia Muslim. Charlemagne mengembangkan hubungan luar biasa hangat dengan Khalifah Abbasiyah Harun Al Rasyid di Baghdad, yang  memberinya seekor gajah sebagai bentuk apresiasi.

Selanjutnya, Charlemagne bersekutu dengan para gubernur Muslim dari Barcelona, ​​Saragossa dan Huesca untuk membantu mereka mengalahkan pemerintahan 'Abd al-Rahman pada tahun 777. Fakta ini juga menunjukkan dominasi politik kekuasaan di atas segalanya dalam interaksinya dengan dunia Muslim.

Selain menyebut dan menceritakan kaitan Charlemagne dengan Muslim, Ahmed juga menyajikan narasi tentang sejumlah tokoh Jerman yang menjalin hubungan baik dengan Islam. Frederick II, salah satu Kaisar Romawi, menurut Ahmend, bahkan belajar filsafat dan puisi-puisi Islam.

Nama-nama lain yang ia singgung adalah Albert Durer (1471-1528), seniman Reinassance yang melukis berbagai objek Muslim, termasuk potret sultan Ottoman. Lalu Frederick the Great (1712-1786) yang menjalin hubungan baik dengan pengikut Ottoman. Ia pernah berkata, "Jika bangsa Turki datang ke Berlin, masjid harus dibangun untuk mereka."

Goethe (1749-1832), salah satu sastrawan Jerman terbaik, menurut Ahmed, juga banyak memberi perhatian pada dunia Islam. Puisinya yang berjudul "West-Eastern Divan" bercerita tentang sastrawan Persia, Hafiz. Sementara itu, Mozart (1756-1791), komposer Jerman, menurut Ahmed, banyak terinsiprasi dari gaya musik Turki. termasuk dengan penggunaan simbal dan drum bass.  Besarnya pengaruh itu menyebabkan karyanya Violin Concerto No 5 in A Major disebut The Turkish, sedangkan Piano Sonata No 11 in A Major, disebut Turkish March.

Tokoh lain yang disebut banyak dipengaruhi oleh Muslim adalah komposer Richard Wagner (1813-1883), filsuf Nietsche ((1844-1900), kaisar Wilhelm II (1859-1941), Adolf Hitler (1889-1945), profesor ilmu Islam Jerman, Annemaria Schimmel  (1922-2003) dan Angela Merkel sendiri.

Di akhir paparannya, Ahmed mengatakan teori soft spot yang ia kembangkan ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Namun, ia menganggap langkah yang telah diambil Jerman dibawah kepemimpinan Merkel merupakan langkah yang sangat penting dan berani. "Merkel bukan hanya menunjukkan keberanian tetapi juga kebijaksanaan dalam menjangkau secara dramatis komunitas Muslim. Tidak ada pemimpin Eropa yang telah menunjukkan gestur serupa," kata dia.

Menurut Ahmed, tindakan Merkel tidak hanya dapat meredam ketegangan etnis di Eropa, tetapi menjadi contoh bagi seluruh dunia. "Beberapa bulan lalu di Berlin, Merkel bergabung untuk pertama kali dengan acara makan malam iftar berbuka puasa. Dan pemerintah Jerman mengumumkan bukan hanya Merkel sendiri yang akan menjadi tuan rumah berbuka puasa tahun depan, tetapi itu akan menjadi acara rutin kanselir Jerman," tulis Ahmed.

Oleh karena itu pula, Ahmed mengatakan Francis the Fearless dan Merkel the Magnificient dapat menjadi contoh bagi pemimpin dunia lainnya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home