Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 04:40 WIB | Sabtu, 22 Oktober 2016

Benar atau Dibenarkan Allah?

Orang yang merasa benar cenderung merendahkan orang lain.
Orang Farisi dan Pemungut Cukai (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM - Perumpamaan itu dikemukakan Yesus dalam menanggapi orang yang menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain. Persoalan orang Farisi itu ialah menganggap diri benar dan lebih baik dari pemungut cukai.

Tindakan orang Farisi itu pastilah tidak akan melukai hati sang pemungut cukai karena diucapkan dalam hati. Namun, kesucian Allah tak mungkin menoleransi tindakan tersebut! Lagi pula, kesombongan pribadi akan menghancurkan dirinya sendiri.

Sebab, secara tidak langsung, orang Farisi itu menegaskan bahwa dia mampu hidup benar berdasarkan kekuatan sendiri. Dia tidak butuh orang lain, juga Tuhan! Dia agaknya juga lupa, kalau pun dia orang pilihan, tentulah ada yang memilihnya. Dan yang memilihnya adalah Tuhan.

Di bait Allah itu orang Farisi itu sedang memuji-muji dirinya sendiri. Tampaknya, dia lupa bahwa dia sedang berada di rumah Allah. Kemungkinan besar, dia pun lupa akan mazmur ini: ”Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau.” (Mzm. 84:5).

Dalam bayangan pemazmur, sungguh merupakan anugerah jika manusia berdosa diperkenankan berhadapan dengan hadirat Allah Yang Mahakudus. Tuhanlah yang melayakkan manusia untuk menghadap Dia. Tuhanlah yang telah membenarkannya.

Merasa benar sendiri memang berbeda dengan dibenarkan Allah. Sekali lagi, orang Farisi itu lupa bahwa dia telah dibenarkan Allah sehingga boleh menghadap hadirat-Nya. Karena itu, tak perlulah dia membenarkan diri sendiri; lebih-lebih menganggap rendah orang lain.

 

Kisah Paulus

Menarik disimak, sebagai Farisi, yang telah dibenarkan Allah, Paulus tak merasa perlu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.

Perhatikan suratnya kepada Timotius: ”Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” (2Tim. 4:7-8).

Kepercayaan diri Paulus cukup tinggi; dan percaya diri berbeda dengan sombong. Dia menyatakan telah memelihara iman. Tetapi, Paulus tidak merasa bahwa mahkota kebenaran itu hanya untuknya semata. Paulus mengakui, mahkota itu juga disedikan bagi orang lain yang telah memelihara imannya. Paulus tidak merasa hebat sendiri.

Ya, pembenaran oleh Allah itu seharusnya membuat kita makin rendah hati dan memohon— seperti van den Berg: ”Ya Tuhanku, percayaku kiranya Kautumbuhkan, hingga teguh di kasih-Mu yang baik kulakukan.”

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home