Loading...
BUDAYA
Penulis: Kartika Virgianti 18:10 WIB | Sabtu, 31 Agustus 2013

Bentara Budaya Gelar Film Pendek yang Indonesia Banget

Film pendek nasionalisme yang Indonesia Banget, diputar di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (30/8). (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut Kemerdekaan Indonesia, Bentara Budaya Jakarta menggelar Bentara Putar Film dengan mengusung tema "Nasionalisme dalam Film Pendek Indonesia". Hari Jumat (30/8) ada lima film fiksi pendek yang diputar dan bertema "Indonesia Banget". 

Bertema “Indonesia Banget” karena memperlihatkan kekhasan orang Indonesia dalam bertahan hidup, menghadapi duka, hingga mencari penghiburan di tengah kenyataan hidup yang tidak selalu ramah. Film-film ini mencoba menyelami bagaimana rasanya menjadi orang Indonesia sekaligus mengajak penonton bercermin bersama.

Garis Bawah 

Film karya Ray Pakpahan, dibuat tahun 2011 berdurasi 20 menit ini didedikasikan bagi kaum marjinal. Mengisahkan Surti yang diperankan oleh Ratna Sarumpaet, perempuan pemulung yang selalu berkeliling dengan gerobak. Ketika suaminya meninggal dunia, Surti membawa suaminya di dalam gerobak, berkeliling kota mencari tempat untuk memakamkan suaminya. Tidak ada surat kematian, tak ada keluarga, dan KTP yang sudah usang tidak terbaca, maka ia ditolak oleh Dinas Pemakaman Umum, dan juga beberapa tempat lainnya yang ia datangi. Ia mencoba menggali sendiri untuk memakamkan suaminya, namun malangnya ia ditangkap polisi. Setelah diinterogasi ia dibebaskan, dan pada akhir cerita ia kembali membawa jenazah suaminya di dalam gerobak.

Palak

Film ini berdurasi sembilan menit, memotret siklus kekerasan dan modus pemerasan (palak) yang terjadi di kota Surabaya, yang dibuat oleh Jaka Triadi, sinematografi UNAIR pada tahun 2012. Kisah diawali dengan adegan seorang anak SMP dipalak oleh tiga anak lainnya, padahal itu adalah uang untuk bayaran sekolahnya. Lalu anak itu menghadapi kepala sekolah yang menagih uang bayarannya yang sudah menunggak beberapa bulan. Kemudian di sebuah jalan anak itu melihat seorang preman yang memalak seorang pedagang kaki lima, tapi selanjutnya preman tersebut dimintai uang oleh petugas retribusi pasar, yang ternyata adalah paman anak SMP sebelumnya.

Akhirnya preman memberikan uang kepada anak SMP tersebut karena ia diadukan kepada pamannya telah memalak anak tersebut. Akhirnya anak SMP ini bisa membayar uang sekolahnya kepada kepala sekolah. Alih-alih mendapat uang, kepala sekolah tersebut tiba-tiba dimintai uang secara paksa untuk membayar hutang yang ia pinjam dari seorang waria.

Boncengan

Mengisahkan lomba lari SD di sebuah desa di Yogyakarta yang diwarnai berbagai kecurangan. Hadiah utamanya adalah sepeda. Ketika lomba dimulai dan semua murid peserta lomba berlari dan mulai merasa kelelahan, kecurangan demi kecurangan terjadi seorang anak perempuan bukannya lari, malah dibonceng sepeda temannya yang sengaja lewat untuk membantunya. Seorang anak laki-laki dibonceng motor bapaknya, dengan memberi sogokan kepada anak-anak lain yang melihat supaya tutup mulut.

Alhasil ketika mendekati garis finish mereka berdua sudah sampai lebuh dulu dari yang lainnya, lalu saling bersaing dengan lari secepat-cepatnya, dan dimenangkan oleh anak perempuan. Namun pertengkaran dengan teman yang memboncengnya gara-gara berebut hak atas hadiah sepeda tersebut, membuat kepala sekolah tau kecurangannya. Kemudian ketika sepeda hendak diberikan kepada anak laki-laki, spontan anak-anak yang disogok bapaknya tadi berteriak bahwa ia juga dibonceng motor bapaknya, dan iapun menangis karena tidak jadi menang hadiah sepeda. Akhirnya sepeda dimenangkan seorang anak laki-laki lainnya yang memang jujur dalam lomba ini. Film pendek ini dibuat tahun lalu, berdurasi 17 menit, karya Senoaji Julius.

Binekon: Kelapa

Binekon: Kelapa dibuat tahun 2012, merupakan film animasi menggunakan ciri dan karakter Indonesia karya Oktodia Mardoko dan Haryadh, hanya berdurasi tujuh menit. Berkisah tentang lima makhluk lucu yang mewakili 5 pulau di Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua. Film ini memiliki nilai pentingnya kerjasama walaupun kita berbeda suku daripada kita saling adu kekuatan yang hanya akan merugikan diri kita masing-masing.

Sinema Purnama

Ahmad Sulaiman punya impian ingin menjadi ustadz seperti idolanya. Ia ingin memulainya melalui jihad, dengan cara membuat acara di rumahnya yang ia beri tema Festival Jihad. Ia memutar film-film Islam yang cenderung beraliran garis keras seperti pocong mualaf, eat pray jihad, sound of adzan, dan lainnya.

Namun festival yang ia buat itu dengan alat seadanya seperti televisi dan DVD player tersebut berakhir dengan ditonton oleh seorang wanita bernama Sari, dan tidak ada orang lainnya yang mau datang menonton. Kemudian setelah itu mereka menjadi lebih dekat. Sari banyak memberi masukkan untuk Ahmad, termasuk memilih film sampai mengubah tema acaranya menjadi Festival Sinema Purnama, karena acaranya berlangsung saat bulan purnama.

Selama lima hari acara yang ia buat penontonnya semakin bertambah, sampai pada hari ketiga penonton film berjumlah 11 orang. Ahmad dan Sari optimis pada hari berikutnya penonton akan bertambah lagi.

Sampai pada suatu saat Ahmad mengetahui Sari adalah seorang janda bernama lengkap Yohana Maesari dan seorang Kristen. Setelah mengetahui hal itu Ahmad kecewa karena Sari yang ia sebut kafir (paham fanatik terhadap agama lain selain Islam) telah begitu dekat dengannya. Yohana Maesari pernah menikah dengan pendeta karena permintaan ibunya, tapi ternyata suaminya berselingkuh darinya, yang berujung pada perceraian. Setelah perceraian itu, ia jadi malu pergi ke gereja.

Bersama Ahmad, Sari menemukan kembali kebahagiaan bersama orang-orang yang dulu mantan suaminya seorang pendeta menyebut ‘bukan anak Tuhan’, dengan menonton bersama dan bisa berbagi tawa bersama meskipun dalam perbedaan agama.

Film pendek berdurasi 27 menit ini dibuat oleh sutradara Andra Fembriarto pada tahun 2012, yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya memiliki ibu Kristen dan ayahnya seorang Islam.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home