Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 19:09 WIB | Selasa, 04 September 2018

BI: Rupiah Bergerak Rp14.300-Rp14.700/Dolar AS di 2019

Dokumentasi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5/2018). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan nilai tukar rupiah akan bergerak pada rentang Rp 14.300-Rp.14.700 per dolar AS di 2019, dengan keyakinan bahwa tekanan ekonomi global pada tahun politik itu tidak akan seberat di 2018.

"Nilai tukar di 2019 sebesar Rp14.300 - Rp 14.700 per dolar AS... memiliki rentang yang lebih lebar seperti yang disampaikan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9).

Rentang itu sempat dinilai terlalu optimistis oleh anggota Badan Anggaran DPR RI. Pasalnya ketidakpastian ekonomi global pada tahun ini saja sudah membuat rupiah loyo hingga menyentuh Rp14.900 per dolar AS. Secara tahun berjalan, rupiah sudah melemah 7,8 persen, menurut data Bank Sentral.

Namun, menurut Perry, ada dua penyebab kenapa kurs rupiah akan lebih baik pada tahun depan.

Pertama, tekanan ekonomi eksternal pada tahun depan tidak akan sekencang pada tahun ini. Paramater utamanya adalah ekspatasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua hingga tiga kali pada 2019, dibanding 2018 yang sebanyak empat kali.

Alhasil, kata Perry, ketikpastian pasar keuangan global tahun depan tidak akan sebesar tahun ini.

"Memang masih naik, tapi kenaikannya lebih kecil, sehingga tekanan dari global, kenaikan suku bunga juga tidak setinggi yang terjadi tahun ini," ujar dia.

Kedua, perbaikan defisit transaksi berjalan yang menjadi bagian neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan yang terdiri dari perdagangan barang dan jasa menggambarkan arus masuk dan keluar devisa. Sederhananya, jika transaksi berjalan defisit, maka devisa yang keluar lebih banyak. Jika surplus, maka devisa yang masuk ke dalam negeri lebih banyak.

Sayangnya, transaksi berjalan hingga kuartal II 2018 masih defisit di tiga persen terhadap PDB.

Tahun depan, Perry menyebutkan neraca transaksi berjalan memang masih akan defisit, namun besaran defisitnya akan menurun.

Salah satu penyebabnya, diklaim Perry, adalah penerapan kebijakan bahan bakar biodiesel yaitu campuran 80 persen minyak solar dan 20 persen minyak sawit (B20) untuk semua sektor mulai 1 September 2018.

Pada tahun ini, menurut Perry, selama empat bulan kebijakan B20 diterapkan maka akan menurunkan impor 2,2 miliar dolar AS. Tahun depan, proyeksi penurunan impor akan mencapai minimal enam miliar dolar AS.

Jika impor menurun, maka jumlah devisa yang terbuang ke luar negeri juga akan menurun. Maka amunisi devisa untuk menopang nilai tukar rupiah juga akan semakin kuat.

Kemudian dengan B20, terdapat tambahan devisa dari penghasilan ekspor minyak sawit mentah (CPO) karena kenaikan harga komoditas tersebut. Secara perhitungan kasar, BI melihat kebijakan B20 akan mengurangi defisit transaksi berjalan dengan tambahan devisa 9-10 milair dolar AS pada 2019.

"Tambahan devisa itu kan besar. Belum lagi dari (sektor) pariwisata," kata Perry.

Tahun ini, Bank Sentral, kata Perry, akan tetap melakukan intervensi ganda di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menahan pelemahan rupiah serta juga mempermurah biaya barter (swap) valas dan lindung nilai, selain opsi dengan mempertimbangkan kenaikkan instrumen suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate".

Intervensi ganda dilakukan BI dengan menstabiliasi pasar valas agar likuiditas terjaga, dan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas investor asing di pasar sekunder.

"Hari Jumat (31/8) di pasar SBN kami beli Rp4,1 triliun yang dijual oleh asing," ujarnya.(Antara)

 

 

Editor : Melki Pangaribuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home