Loading...
INSPIRASI
Penulis: Philip Ayus 01:00 WIB | Kamis, 26 Mei 2016

Bripka Seladi

Yang penting halal.
Bripka Seladi (foto: www.merdeka.com)

SATUHARAPAN.COM – Ada sebuah nama dari institusi Polri yang mencuat baru-baru ini—selain Hoegeng dan Krishna Murti—yakni Bripka Seladi. Masyarakat mengagumi integritasnya sebagai polisi yang menolak suap, bahkan sekadar secangkir kopi dari pemohon SIM yang ingin berterima kasih. Tak hanya itu yang dikagumi banyak orang dari diri Pak Seladi, juga kegigihannya untuk mencari penghasilan tambahan di luar jam kerja sebagai pemulung dan pengepul sampah.

Tetapi, ada yang sedikit mengganjal di hati. Tak sedikit yang memuji pak Seladi dari Polresta Malang ini karena tidak malu memulung sampah sekalipun berprofesi sebagai seorang polisi. Di mata sebagian (atau kebanyakan[?]) kita, tampaknya profesi pun memiliki kasta. Profesi masih dinilai berdasarkan posisinya dalam struktur organisasi, baik di lembaga pemerintah maupun swasta. Profesi juga masih dinilai berdasarkan besaran gaji atau penghasilan. Alhasil, profesi sebagai pemulung yang berada di luar struktur organisasi lembaga pemerintah dan swasta, yang penghasilannya tidak menentu, harus terima nasib dipandang remeh oleh sebagian orang.

Padahal, disadari atau tidak, pemulung merupakan profesi yang penting di sebuah masyarakat yang salah satu produksi utamanya adalah sampah. Dalam hal pelestarian alam, pemulung memiliki peran langsung pada huruf ”R” ke-3 dari Reduce, Reuse, Recycle. Mereka ”berjibaku” langsung dengan sampah, memilah-milah, kemudian mengirimkannya kepada pengepul besar, yang akan mengolahnya menjadi barang yang bernilai.

 

Yang Penting Halal

”Yang penting halal,” ungkap Pak Seladi. Yang dikatakannya itu bukanlah sesuatu yang muluk-muluk, melainkan sebuah prinsip pekerjaan yang sudah biasa terdengar. Meski demikian, ungkapan tersebut bukan sekadar jargon, melainkan prinsip yang telah dia lakoni. Baik menjadi pemulung ataupun menjadi polisi, keduanya sama-sama mulia selama tak berseberangan dengan Tuhan. Bagi pak Seladi, bukan berapa penghasilannya, namun dari mana asal-usulnya.

Bagi sebagian orang, prinsip ”yang penting halal” ini memang seperti angin lalu saja. Hanya diucapkan, namun tidak dikerjakan. Ketika ada yang datang menyodorkan ”ucapan terima kasih (baca: suap)” yang sering diucapkan adalah ”tidak baik menolak rezeki”. Seolah-olah agamis, namun sesungguhnya pragmatis. Seolah-olah beriman, padahal menduakan Tuhan.

Marilah kita belajar dari teladan Pak Seladi. Mari kita belajar menghargai setiap profesi, bukan karena posisi atau besaran gaji, melainkan karena dikerjakan dengan sepenuh hati dan tanpa korupsi. Mari kita resapi semboyan pak Seladi dan menghidupinya setiap hari: ”Yang penting halal!”

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home