Loading...
INSPIRASI
Penulis: Sabar Subekti 17:59 WIB | Jumat, 21 Oktober 2016

Budaya Memberi Apresiasi

Berikan apresiasi kepada pegawai yang jujur dan disiplin melayani rakyat.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM - Dalam sebuah penelitian tentang nilai-nilai kehidupan yang masih hidup di masyarakat pada 2010, dilakukanlah serangkaian wawancara dengan warga. Dan responden yang dipilih antara lain para pedagang di sebuah pasar di satu kota di Jawa Tengah.

Bagian dari wawancara itu membahas nilai kejujuran. Rekaman wawancara dengan belasan pedagang mengungkapkan bahwa semua yang diwawancarai mengakui mencurangi pembeli dengan mengurangi timbangan. Salah satu caranya adalah menaruh logam pemberat pada alat penimbang. Jadi, komoditas yang disebutkan satu kilogram, misalnya, sebenarnya hanya sekitar sembilan ons.

Mencurangi dengan cara seperti itu, menurut mereka yang diwawancarai, sudah umum dilakukan pedagang. "Kalau tidak begitu, tidak untung," kata satu pedagang. Dan yang lainnya berkata, "Yen jujur malah kojur." Artinya, kalau jujur malah mendapat celaka. Yang dimaksudkan adalah bisnisnya bangkrut.

Ketika pertanyaan diperdalam bahwa itu tidak etis, bahkan menurut agama adalah dosa, mereka mengakui dan mengetahui itu. Mereka juga mengakui bergumul dengan masalah etika dan moral atas apa yang mereka lakukan setiap hari. Ketika disebutkan bahwa dalam berdagang bukannya pembeli adalah raja? Mereka menjawab, "Ya, raja yang tertipu."

Apakah tidak ingin lepas dari jaring ketidakjujuran? Mereka mengatakan bahwa selama ini ada rasa bersalah, dan sangat ingin berdagang secara fair yang diharapkan lebih menenangkan hati mereka. Namun, yang dibayangkan adalah upaya itu tidak mudah karena perilaku curang sudah menjadi umum, dan yang jujur justru terlihat aneh.

Salah satu yang terungkap dari penelitian itu adalah kejujuran sebagai salah satu nilai kehidupan makin pudar. Awalnya hanya dilakukan satu-dua orang, tetapi berkembang dan ditiru yang lain karena didorong perilaku warga komunitas yang kurang atau tidak menghargai (apresiasi) pada orang yang jujur. Hilangnya nilai ini makin nyata dan masif ketika warga komunitas justru mulai mengagumi orang yang tidak jujur karena mereka terlihat "sukses".

Situasi di pasar tersebut, tampaknya relevan untuk menjadi bahan refleksi tentang pungutan liar yang sudah menjadi penyakit kronis dan parah dalam birokrasi negara kita. Salah satunya adalah ‘"kebiasaan’’ memberi apresiasi pada mereka yang melakukan pungli. Mereka tetap mendapat kenaikan pangkat dan jabatan, bahkan makin lancar karena setoran pada atasan juga lancar. Sementara pegawai yang jujur dan disiplin makin terpinggirkan.

Seperti juga kasus di pasar itu yang tidak melihat pembeli sebagai "raja", birokrat korup yang melakukan pungutan liar tidak melihat rakyat sebagai "raja" pemilik kedaulatan negara ini. Mereka lupa bahwa mereka digaji dari uang pajak yang dibayar oleh rakyat. Bagi mereka, rakyat adalah "raja (pemegang kedaulatan negara) yang rutin ditipu."

Jadi, kalau Presiden Joko Widodo ingin pemerintahan bersih dari Pungli, yang harus dibangun antara lain adalah perubahan mind set dengan memposisikan rakyat sebagai "pemegang kedaulatan" di negeri ini dan sumber utama APBN. Kemudian, di tengah gerakan memecat pelaku pungli, kembangkan budaya memberi apresiasi pada pegawai yang jujur dan disiplin melayani rakyat.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor: Yoel M. Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home