Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 13:42 WIB | Jumat, 06 Maret 2015

Buku Bonhoeffer Tantang Gereja

Buku "Dietrich Bonhoeffer’s Ecumenical Quest" karya Dietrich Bonhoeffer oleh penerbit WCC. (Foto: oikoumene.org)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Semangat dan karya Dietrich Bonhoeffer dihadirkan kembali oleh beberapa sejarawan dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Gereja Dunia (World Council of Curches/WCC), Rabu (4/3), di Pusat Ekumenis Jenewa, Swiss. Diskusi ini dimoderatori Theodore Gill, editor senior penerbit WCC.

Perjalanan ekumenis, dalam buku Bonhoeffer, terpapar jelas dan hingga kini masih relevan untuk ditelusuri setelah eksekusi terjadi pada 1945. Ekumenis Bonhoeffer adalah seorang teolog Jerman yang menentang Nazisme kala itu. Ia juga merupakan pendiri Gereja Confessing.

Keith Clements, saat peluncuran buku Dietrich Bonhoeffer’s Ecumenical Quest, mencatat pesan yang bisa diserap dari buku tersebut. Menurutnya, buku ini mampu merangkul perjuangan dan menjawab pergumulan gereja-gereja. Untuk itulah, karya ini menjadi bagian penting bagi dunia.

Tentang dengan syair penjara Who Am I? Karya Bonhoeffer, Clements mengungkapkan, Bonhoeffer tidak berdoa untuk sesama para tawanan. Ia justru mendoakan pergumulan para tentara, pembelot militer, dan penjahat.

“Kami menyesal. Kami ini orang-orang berdosa dan dosa menawan kami. Kebohongan-kebohongan terus merajai dan tidak memuliakan kebenaran.” potongan sayir itu.

“Syair ini membuktikan, kita perlu lebih membangun spiritualitas ekumenis, dengan mengenali dunia yang kita tinggali,” kata Clements.

Clements adalah seorang ahli sejarah dan teolog Inggris. Ia melakukan pelayanan internasional selama delapan tahun sebagai Sekjen Konferensi Gereja-gereja Eropa. Ia juga menggarap beberapa tulisan, antara lain  karya Dietrich Bonhoeffer volume 13 London: 1933-1935. Saat ini, ia tengah menyelesaikan Ecumenical Dynamic: On Living in More than One Place at Once oleh penerbit WCC.

Melalui karya Bonhoeffer, Clements menantang gereja untuk berkomitmen dan terlibat aktif dalam gerakan ekumenis. Gagasan-gagasannya dalam dunia ekumenis tetaplah harus dipelihara hingga saat ini.

Clements berharap agar buku ini mampu menggugah diskusi-diskusi lebih lanjut tentang Bonhoeffer, esensi gerakan ekumenis, dan relevansinya di dunia saat ini. Bonhoeffer ditetapkan sebagai inisiator pada masanya. Esai Bonhoeffer yang ditulis pada 1935 berfokus pada “perintah dan janji Allah”. Ini merupakan suatu hal yang harus dipegang dan ditegaskan kembali dalam komitmen gereja-gereja di dunia.

Selanjutnya, gagasan Bonhoeffer juga disampaikan panelis Stephen Brown, eksekutif program jaringan berbasis Jenewa Globethics.net dan penulis Von der Unzufriedenheit zum Widerspruch, buku tentang peran keadilan, perdamaian dan keutuhan ekumenis dalam proses penciptaan saat revolusi perdamaian di Jerman Timur.

Brown mengatakan, bagi Bonhoeffer, peran gereja tidaklah mendominasi, tetapi menolong dan melayani. Bagi gereja, keuntungan dan kekuasaan bukan semata-mata melalui konsep, melainkan juga dengan contoh konkret.

“Dietrich Bonhoeffer tidak hanya bersaksi melalui kata-kata, tetapi perjalanan hidup dan kematiannya menjadi saksi, yang kita peringati saat ini sebagai orator politik, jauh dari lembaga resmi gereja,” simpul Brown. (oikoumene.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home