Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 23:28 WIB | Senin, 04 Mei 2015

Buku Tentang Lahirnya Marhaen Kembali Dibahas

Para pembicara dalam diskusi buku "Pemberontakan Petani Banten 1888". Dari kiri ke kanan: Muhidin M. Dahlan, Dr. Sri Margana, M. Phil, dan Ana Mariana (etnohistori). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Dalam majalah Fikiran Rakjat, No. 1, 1 Juli 1932 yang berjudul “Matahari Marhaenisme”, Soekarno menjelaskan tentang arti marhaenisme. Menurut Soekarno, orang yang mempunyai alat produksi sendiri, menggarap di atas tanah sendiri, tetapi tetap melarat, itulah kaum marhaen.

Menurut Muhidin M. Dahlan paham marhaen yang dikenal dengan marhaenisme ini ditemukan Soekarno setelah “Putra Sang Fajar” tersebut mempelajari riwayat pemberontakan petani di Banten pada 1888. Berkaca pada kekuatan kaum tani yang memiliki potensi sangat besar inilah, Soekarno kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusung marhaenisme.

“Soekarno memunculkan paham marhaen sebagai representasi peristiwa pemberontakan petani Banten pada 1888. Paham ini diangkat ke tingkat politik nasional melalui PNI yang kemudian diadopsi oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga PDI Perjuangan (PDI P),” jelas Muhidin M. Dahlan dalam acara diskusi buku “Pemberontakan Petani Banten 1888,” Senin (4/5).

Sejarah mencatat, bahwa kedekatan Soekarno dengan marhenisme yang merupakan representasi dari kekuatan petani sangat kentara di era 50-an. Kala itu, PNI yang merupakan partai bentukannya mulai kehilangan indentitas marhaenisme-nya karena justru sibuk bertikai antarpengurus partai. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang justru mengawal hari demi hari nasib kaum tani menjadi bidikan baru bagi Soekarno. Akibat dari sikap PKI yang setia mengawal kaum marhaen inilah, hubungan mesra antara Soekarno dengan PKI mulai terjalin.

“Dari kedekatan dengan PKI inilah kita dapat melihat dengan jelas betapa Soekarno sangat cinta dengan marhaen. Oleh karena itu, seharusnya partai penerus PNI, yaitu PDI dan sekarang PDI P, juga cinta dengan kaum marhaen,” ucap pria yang akrab disapa Gus Muh ini.

Kenyataan yang terjadi sekarang justru berkebalikan dengan tinta sejarah yang mencatat perjalanan marhaenisme. PDI P yang sekarang menjadi partai besar justru dianggap oleh Gus Muh telah kehilangan identitasnya sebagai partai yang mengaku beraliran marhaenisme.

“Yang terjadi justru partai yang katanya beraliran marhaenisme itu sekarang justru tidak membela kaum petani. Kita pakai cara paling sederhana saja. Coba saja ketik di Google, PDI+Rembang+Petani, maka tidak akan ditemukan kata PDI. Yang ditemukan hanya kata Rembang dan petani saja. Ini menunjukkan bahwa partai ini tidak berpihak pada kenyataan yang menyulitkan para petani di Rembang, ketika para petani harus berkonflik dengan pemodal yang akan mendirikan pabrik semen” ujar Gus Muh.

Gus Muh menilai bahwa pemimpin yang berkuasa saat ini, Presiden Jokowi, seharusnya membaca buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” ini. Buku yang sebenarnya merupakan disertasi dari Sejarawan Prof. Sartono Kartodirjo ini dianggap mampu untuk menyadarkan bahwa partai pengusung sang Kepala Pemerintahan tersebut sebenarnya mulai melenceng dari arah yang telah digariskan oleh sang pendirinya, yaitu Soekarno, yang sangat memperhatikan nasib kaum tani.

“Pewaris marhaenisme Soekarno seharus ada di barisan terdepan dalam membela petani,” kata Gus Muh.

Di sisi lain, pembicara kedua dalam diskusi buku ini, Dr. Sri Margana, M. Phil., menilai bahwa apa yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku ini merupakan wujud keberpihakannya terhadap sejarah kaum kecil, yaitu petani. Pasalnya, banyak buku sejarah yang ditulis dengan pola historiografi kolonial.

“Hal penting yang perlu dicatat dalam buku ini adalah bahwa Pak Sartono melakukan pendobrakan tradisi historiografi kolonial yang menempatkan pihak Eropa maupun Belanda sebagai pelaku utama dalam sebuah karya sejarah. Namun di buku ini, Pak Sartono tidak semata-mata menuliskan kaum elit, tapi juga menceritakan secara detail tentang rakyat. Bagi saya, inilah yang disebut demokratisasi sejarah,” jelas Margana.

Acara diskusi buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. Sri Margana, M. Phil., (sejarawan dari Universitas Gajah Mada) dan Muhidin M. Dahlan (budayawan). Acara yang diselenggarakan atas kerjasama antara Komunitas Bambu, Etnohistori dan IBoekoe ini dihelat di Balai Utari Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Jalan Laksda Adisucipto No. 88, Yogyakarta. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home