Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 21:44 WIB | Kamis, 26 Juli 2018

Buruh Harian di Gudang Family Mart Indonesia Diupah Rp13.000

Ilustrasi. Peresmian Toko yang ke-100 FamilyMart (Foto: Abdul Latif/Google)

BEKASI, SATUHARAPAN.COM – Juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR), Sharinah mengatakan PT Fajar Mitra Indah (PT FMI) yang merupakan Divisi Warehoue (Gudang) dari Family Mart Indonesia membayar upah buruh harian lepas (BHL) di bawah ketentuan upah minimum yakni sebesar Rp13.000,- per jam untuk jam kerja selama lima jam per hari.

“Pengusaha membayar upah buruh harian lepas di bawah ketentuan upah minimum yakni sebesar Rp13.000 per jam untuk jam kerja selama lima jam per hari dengan hari kerja lima hari per minggu,” kata Sharinah dalam keterangan kepada satuharapan.com, hari Kamis (26/7).

Menurut Sharinah, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep-1065-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Permenaker No. 100/2004, upah buruh pada tahun 2018 seharusnya dibayarkan sebesar Rp22.800,- per jam atau Rp114.000,- per hari.

“Dengan demikian, kekurangan upah yang harus dibayarkan oleh perusahaan adalah Rp9.800 per jam atau Rp49.000, per lima jam. Dalam satu bulan, seorang BHL menderita kerugian sedikitnya sebesar Rp1.029.000,- (dengan asumsi 21 hari kerja x 5 jam),” katanya.

“Jumlah ini sangat berarti untuk menopang hidup sebuah keluarga. Apalagi para BHL ini adalah buruh perempuan yang bekerja untuk menopang hidup keluarganya,” katanya.

Sharinah mengatakan, tindakan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum digolongkan sebagai perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 185 UU No. 13/2003.

Pengusaha, kata Sharinah, juga melakukan penyimpangan penggunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan mempekerjakan buruh kontrak tanpa surat perjanjian kerja, di bidang produksi yang bersifat tetap dan menggunakan buruh harian secara terus-menerus.

“Hal ini melanggar: Pasal 54 ayat (1) huruf (i), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK No. 13/2003); Pasal 10 ayat (1) Kepmen No. 100/2004 tentang Pelaksanaan PKWT. Selain itu, pengusaha juga memberlakukan kebijakan masa percobaan kerja untuk buruh kontrak, padahal Pasal 58 UU No. 13/2003 tidak memperkenankan adanya masa percobaan untuk PKWT,” katanya.

Selain itu pengusaha tidak membayarkan upah lembur para pekerja pada hari besar nasional, tetapi hanya digantikan dengan hari libur pada hari kerja biasa, yang mana hal ini bertentangan dengan Kepmenaker No. KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

“Pengusaha membayarkan upah lembur buruh dengan cara dirapel pada bulan berikutnya (penundaan upah) yang mana hal ini bertentangan dengan Pasal 20 PP No. 78/2015,” katanya.

Sharinah mengatakan, pengusaha melakukan pemotongan upah secara sewenang-wenang sebagai denda akibat adanya produk yang hilang (lost) saat stock opname. Pemotongan upah ini tidak pernah disertai dengan data mengenai rincian produk yang hilang dan tidak ada peraturan perusahaan yang mengatur mengenai denda.

“Hal ini bertentangan dengan Pasal 54 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015 yang menyatakan jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama,” katanya.

Menurutnya, perusahaan tidak pernah memberikan rincian upah para pekerja dalam bentuk slip gaji. Padahal pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan, sesuai dengan pasal 17 ayat (2) PP No. 78/2015.

Sementara itu, pengusaha tidak memberikan fasilitas uang makan dan transportasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja di Perusahaan Swasta.

“Manajemen memaksa buruh PKWT untuk mengundurkan diri dan mengalihkan hubungan kerja buruh ke perusahaan outsourcing yang bernama PT Atalian Global Service,” katanya.

Sharinah mengatakan, kasus lainnya bahwa salah seorang buruh yang menolak outsourcing, berinisial DG, diancam akan dilaporkan ke kepolisian dengan mempersoalkan keabsahan surat keterangan sakit saudara DG. Padahal DG tersebut memperoleh surat dokter tersebut dari klinik yang resmi, namun salah seorang personel manajemen membuat panggilan telepon yang diklaim ke seorang polisi di Polda Metro Jaya.

“Suara telepon tersebut dikeraskan sehingga saudara DG bisa mendengarnya. Personel manajemen mengatakan akan membawa DG ke kantor polisi. DG yang kurang memahami masalah hukum menjadi takut dan terpaksa menandatangani surat pengunduran diri daripada harus diproses di kantor polisi walaupun dia merasa tidak bersalah,” katanya.

Menurut FSEDAR, antara pihak serikat buruh dengan pihak perusahan sudah melakukan bipatrit. Satuharapan.com sedang meminta konfirmasi pihak PT Fajar Mitra Indah (PT FMI). Namun hingga saat ini belum ada jawaban dari pihak PTFMI.

Berdasarkan keterangan FSEDAR, bahwa Family Mart merupakan jaringan waralaba toko kelontong terbesar kedua di Jepang setelah 7-Eleven, yang juga beroperasi di Taiwan, Tiongkok, Filipina, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Di Indonesia, toko Family Mart di Indonesia telah mencapai 100 gerai per tanggal 3 Juli 2018 lalu.

Pasokan barang-barang di toko Family Mart di Indonesia berasal dari gudang PT Fajar Mitra Indah (PT FMI) yang merupakan Divisi Warehoue (Gudang) dari Family Mart Indonesia. PT FMI beralamat di Kampung Cikedokan, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, yang telah beroperasi sejak tahun 2012.

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home