Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 09:37 WIB | Kamis, 31 Desember 2015

Catatan Ekonomi 2015: Ketimpangan, Kemiskinan dan Gerakan Lintas Iman

Pemimpin "Koperasi Perdamaian yang Nikmat" yang merupakan perwakilan dari tiap agama, (dari kiri): Elias Hasulube (Muslim), Samuel Ngugo (Kristen) dan J.J Keki (Yahudi) telah menjadi buah bibir atas keberhasilan mereka menjadikan hubungan lintas iman sebagai kegiatan produktif secara ekonomi di Mbale, Uganda. (Melanie Lidman/Times of Israel)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Laporan Bank Dunia terbaru cukup menyesakkan kendati tidak mengejutkan. Studi  yang dilansir pada 8 Desember 2015 menyatakan, dalam 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun, manfaat dari pertumbuhan ini lebih dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya.  Sedangkan sekitar 80 persen penduduk – atau lebih dari 205 juta orang – rawan merasa tertinggal.

Laporan itu menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain. Antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen terkaya di Indonesia meningkatkan konsumsi mereka sebesar 6 persen  per tahun. Di sisi lain, bagi 40 persen masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2 persen per tahun.

Hal ini mengakibatkan koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun – naik dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013. Koefisien gini 41 persen sudah tergolong menggambarkan tingkat ketimpangan yang parah dalam sejarah ekonomi Indonesia. (Koefisien gini adalah indikator parahnya kesenjangan di sebuah negara. Semakin besar, semakin parah kesenjangannya).

Kesenjangan di Indonesia sebetulnya sudah dapat terlihat dengan kasat mata.  Kemacetan parah yang tampak pada 24 Desember di jalan tol oleh ramainya orang ingin berlibur, sesungguhnya potret dari bagaimana kelompok masyarakat berpendapatan tinggi menikmati pendapatannya dengan menguasai (bahkan membajak) ruang dan fasilitas publik. Hasil pertumbuhan ekonomi berupa infrastruktur yang membaik, pertama-tama justru dinikmati dengan semena-mena oleh kelompok tersebut.

Bank Dunia  mengutip pendapat yang menunjukkan bahwa banyak warga Indonesia mulai khawatir. Sebuah survei persepsi masyarakat pada tahun 2014 mengenai ketimpangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia “sangat tidak setara” atau “tidak setara sama sekali”.  Bank Dunia mengatakan, bila tidak ada tindakan, konsekuensi bagi Indonesia bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dapat melambat, disertai naiknya risiko konflik.

Bukan Hanya Urusan Ekonom dan Teknokrat

Yang menarik, patut juga dicatat bahwa Bank  Dunia rupanya tidak melihat masalah ekonomi ini hanya tanggung jawab para ekonom, teknokrat dan para profesional bisnis. Di tengah angka kemiskinan abslout yang menurun sehingga penduduk miskin dunia turun di bawah 10 persen, Bank Dunia memandang kemiskinan tetap menjadi masalah ekonomi utama, sama halnya dengan masalah kesenjangan pendapatan dan tidak mungkin hanya diatasi oleh kalangan ekonom dan teknokrat. Bila tidak ditangani, ia dapat memicu berbagai permasalahan domestik dan global, termasuk berkembangnya ekstremisme.

Oleh karena itu, Bank Dunia   melakukan inisiatif ekonomi lintas iman untuk pertama kalinya, untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Bank Dunia mengumpulkan para tokoh agama dari seluruh dunia dan mereka bertemu. Dalam pertemuan tersebut, sekitar 35 kelompok agama di seluruh dunia, termasuk Bread for World, Islamic Relief International, Religious Action Center of Reform Judaism dan Soujourners, mendukung panggilan aksi ini. Para pendukung inisiatif ini meliputi umat Kristen, Yahudi, Muslim, Baha'i dan lain-lain.

"Pendekatan kami untuk kebutuhan mengejutkan ini harus holistik, berakar pada visi spiritual agama kita masing-masing, dan dibangun di atas pengakuan bersama terhadap martabat dan nilai intrinsik setiap kehidupan di bumi," demikian bunyi pernyataan bersama para pemimpin agama tersebut, sebagaimana dilansir oleh Religous News Services.

Inisiatif ini dimatangkan pada pertemuan bulan Februari lalu, yang menghasilkan pernyataan bersama bertajuk Ending Extreme Poverty: A Moral and Spiritual Imperative.  Pernyataan itu kemudian diluncurkan melalui dialog telekonferensi presiden Bank Dunia dengan para pemimpin agama di berbagai belahan bumi.

Pengamat mengatakan ini pertama kalinya Bank Dunia menjangkau kelompok agama dalam memerangi kemiskinan - sebagai bagian dari kesadaran bahwa pekerjaan ini terlalu besar untuk  satu lembaga mana pun. Selain itu, inisiatif ini juga diharapkan membatasi duplikasi yang tidak perlu antara aksi Bank Dunia dengan orang-orang dari berbagai kelompok agama dalam memerangi kemiskinan.

Kekhawatiran pada Jihad Konstitusi

Keterlibatan pemuka agama dalam masalah-masalah ekonomi sesungguhnya bukan hal baru. Namun akan menjadi sangat pelik bila ia bergerak di ranah ekonomi politik yang jauh  melampaui kehidupan sehari-hari umat. Di Indonesia, dewasa ini tengah berkembang apa yang disebut Jihad Konstitusi, yang antara lain digerakkan oleh salah satu organisasi agama tertentu. Sejumlah tokoh giat mencanangkan apa yang disebut Jihad Konstitusi itu, yang pada dasarnya dipicu  kekhawatiran penguasaan sumber daya negara oleh kekuatan asing dan pasar.

Berbeda halnya dengan inisiatif lintas iman yang digagas oleh Bank Dunia, yang merupakan gerakan inklusif, gerakan Jihad Konstitusi telah banyak mengundang keprihatinan kalangan dunia bisnis. Para kritikus melihat langkah hukum yang diambil oleh gerakan ini untuk menghadang sejumlah undang-undang terkait dengan penanaman modal,  akan menghambat rencana pembangunan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.  Alih-alih melindungi masyarakat miskin, upaya hukum tersebut ditengarai justru akan memperkuat cengkeraman imperium segelintir pengusaha domestik dalam perekonomian yang menginginkan tiadanya kompetisi dari investor asing.

Lebih jauh, langkah  judicial review oleh gerakan Jihad Konstitusi  menjadikan gerakan itu diperbandingkan dengan upaya Presiden Joko Widodo yang berkali-kali memanfaatkan perjalanan dinas luar negerinya untuk membujuk investor asing datang, termasuk ketika ke Jepang dan terakhir ke Tiongkok. Sebagian besar upaya menarik investasi tersebut diarahkan untuk mendukung perbaikan yang sangat dibutuhkan di bidang infrastruktur. Ke dalamnya termasuk kontrak-kontrak untuk membangun dan mengoperasikan pelabuhan, pembangkit listrik, dan fasilitas pengolahan air di Indonesia sebagai negara terpadat keempat di dunia.

Retorika Palsu Nasionalisme Ekonomi

Ekstremisme dalam memandang kedaulatan ekonomi juga ikut diperparah oleh retorika nasionalisme di Indonesia (dan di negara-negara sedang berkembang dalam satu dekade ini) yang terkesan palsu. Awalnya retorika itu dikemukakan sebagai respons terhadap dominasi perusahaan multinasional dan kekuatan ekonomi pasar. Namun menjadi pertanyaan sejauh mana retorika itu memiliki substansi ketika berhadapan dengan realitas.

Sebagai contoh, Indonesia tahun ini telah mengumumkan mengimpor beras, di tengah retorika ingin swasembada pangan dan meningkatkan harkat martabat petani. Paket deregulasi demi deregulasi oleh banyak pihak dipandang sebagai liberalisasi perekonomian, telah diterbitkan dalam upaya menarik investor. Pada akhirnya harus diakui itu semua merupakan motor investasi untuk menggerakkan perekonomian di dalam negeri.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Bank Dunia menyebutkan ada empat penyebab ketimpangan di Indonesia. Pertama, ketimpangan peluang. Nasib anak dari keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa hal utama, yaitu tempat mereka lahir atau pendidikan orangtua mereka. Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya.  Setidaknya sepertiga ketimpangan diakibatkan faktor-faktor di luar kendali seseorang individu.

Kedua, ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.

Ketiga, konsentrasi kekayaan. Kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.

Keempat, ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.

Menurut Bank Dunia, rantai ketimpangan antar generasi dapat diatasi antara lain dengan kebijakan fiskal seperti yang dilakukan Brasil. Di negara Amerika Latin itu, koefisien Gini turun 14 poin setelah upaya bersama untuk menurunkan ketimpangan melalui kebijakan fiskal. Sebaliknya, menurut data tahun 2012, kebijakan fiskal Indonesia hanya menurunkan koefisien Gini sebesar 3 angka.

Pilihan bagi pemerintah Indonesia menurut Bank Dunia, antara lain, pertama, memperbaiki layanan umum. Kunci bagi generasi berikut terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, camat, dan kabupaten, karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan dan peluang keluarga berencana bagi semua masyarakat.

Kedua, memperkuat program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa  pendidikan.

Ketiga, menambah peluang pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja.

Keempat, menyediakan lapangan kerja yang lebih baik. Menggunakan pajak dan belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.

Kelima, meningkatkan ketaatan dalam pengumpulan pajak perorangan.

Menurut survei Bank Dunia, dukungan masyarakat cukup kuat untuk adanya kebijakan perlindungan sosial yang memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin dan rentan. Inisiatif Lintas Iman tampaknya harus bergerak di ranah ini, yang langsung bersentuhan dengan kehidupan umat, ketimbang berjuang di ranah ekonomi politik yang rawan diselewengkan.

Pilot-pilot projek usaha bersama lintas iman yang menyentuh akar rumput patut digalakkan. Sebagai contoh, kegiatan ekonomi, seperti yang dipraktikkan di Uganda, justru mendekatkan  hubungan yang tadinya jauh dan berjarak antara orang Kristen, Islam dan Yahudi,  lewat usaha koperasi pemasaran kopi.  Di Mbale, sebuah kota di Uganda berpenduduk mayoritas Muslim,  tidak kurang dari 2000 petani kopi berlatar belakang tiga agama berbeda, bergandengan tangan membentuk usaha bersama untuk memajukan pertanian mereka. Koperasi mereka diberi nama Mirembe Kawomere, dalam bahasa setempat (bahasa Luganda),artinya Perdamaian yang Nikmat telah menjadi pembicaraan di sejumlah forum dan dijadikan teladan tentang bagaimana membangun hubungan lintas iman secara produktif.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home