Loading...
OPINI
Penulis: Hans Abdiel Hamakaputra 01:44 WIB | Senin, 18 November 2013

Catatan Reflektif Pasca-Sidang Raya WCC dan GETI

SATUHARAPAN.COM - Global Ecumenical Theological Institute, yang disingkat menjadi GETI, adalah forum yang digagas dengan tujuan mempertemukan para teolog muda lintas denominasi dari seluruh dunia. Sebagian besar pesertanya adalah orang-orang yang sedang studi teologi di tingkat magister dan doktor, baik yang sudah ditahbis menjadi pendeta ataupun tidak. Jumlah keseluruhan peserta adalah lebih dari 200 orang yang berasal dari lebih dari 60 negara.

Program GETI dimulai beberapa hari sebelum Sidang Raya WCC di Busan dimulai. Di sana kami mendapat pelatihan tentang isu-isu ekumenis yang dibicarakan oleh WCC. Kekristenan di Asia, terkhusus di Korea Selatan, mendapat penekanan yang cukup kuat pada seminar-seminar GETI yang dilakukan. Selain itu, untuk memperdalam materi, kami dibagi ke dalam kelompok berjumlah 7-8 orang yang bertemu setiap hari untuk membicarakan tema-tema tertentu terkait WCC, refleksi atas pengalaman kami atas kegiatan-kegiatan di Sidang Raya WCC, maupun saling berbagi tentang pergumulan konteks asal kami masing-masing. Dengan demikian, kegiatan yang berlangsung sedari tanggal 24 Oktober hingga 8 November 2013 ini benar-benar intensif dalam menelisik isu-isu ekumenis global.

Hubungan antara Misi dan Penginjilan

Salah satu tema yang kami bicarakan di dalam GETI adalah perubahan paradigma tentang kesaksian Kristen atau misi di dalam dokumen-dokumen WCC, sebagaimana tercermin dalam dokumen “Together towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes” yang disahkan pada tahun 2012 oleh Komisi Misi Dunia dan Evangelisme dari WCC (Lorke and Werner 2013: 191-206).  Ada beberapa poin penting di dalam dokumen ini.

Pertama, ada kesadaran bahwa misi adalah milik dan karya Allah Tritunggal, bukan milik Gereja; Gereja hanyalah instrumen untuk melakukan misi Allah. Penekanan pada Allah Tritunggal ini penting sebab menjadikan pemahaman atas misi Kristen menjadi lebih luas.

Kedua, jika dahulu ada kesan bahwa misi adalah sama dengan penginjilan, maka ada kesadaran baru bahwa penginjilan adalah salah satu aspek penting dari misi Kristen, namun masih ada aspek-aspek lainnya. Penginjilan didefinisikan sebagai “…dimensi misi Kristen yang berfokus pada artikulasi Injil secara eksplisit dan bertujuan untuk mengundang manusia untuk konversi ke dalam kehidupan baru di dalam Kristus dan pemuridan.” (Lorke and Werner 2013: 202)

Dengan demikian, ada dimensi-dimensi lain di dalam misi Kristen, seperti memperjuangkan kehidupan, membela kaum marginal, menyembuhkan yang terluka, menegakkan keadilan, perlawanan terhadap segala bentuk rasisme, dan juga dialog antar-iman. Penegasan dokumen ini atas isu dialog antar-iman merupakan bukti bahwa penginjilan dan dialog antar-iman tidak perlu dilihat secara biner; keduanya merupakan dimensi yang berbeda dari misi Kristen yang satu.

Isu penting lain yang muncul dalam percakapan di GETI adalah bagaimana proyek oikoumene masih dirasakan asing di banyak gereja-gereja lokal. Menariknya hal ini tampak sebagai masalah global sebab diutarakan tidak hanya oleh teman-teman yang berasal dari Asia dan Afrika, tetapi juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Keberadaan WCC dan program oikoumenisnya dirasakan berjarak dari kenyataan sehari-hari, di mana relasi antar gereja lokal dirasakan amat fragmentaris dan terisolasi satu dengan yang lain.

Tentunya hal ini menimbulkan isu tentang teori dan praktik gerakan oikoumene, di mana WCC dianggap kurang berhasil dalam mendaratkan program-program dan keputusan-keputusan yang dihasilkan pada tataran praktis gereja lokal. Bukan berarti WCC gagal atau program-programnya tidak berhasil sebab nyatanya banyak sekali peran WCC dalam menciptakan situasi yang lebih baik, misalnya dalam program “Melawan Rasisme.” Akan tetapi, para anggota GETI, yang mayoritas adalah kaum muda-mudi yang berkiprah di akar rumput, melihat perlunya WCC dan gereja-gereja anggotanya untuk memberikan perhatian lebih pada penyebaran ide-ide ekumenisme di kalangan gereja lokal dan mengajak umat Kristen untuk lebih terlibat aktif.

Poin penting lainnya yang ingin digarisbawahi adalah posisi kaum muda dalam gerakan oikoumene global. Perlu diketahui bahwa posisi kaum muda di WCC selama ini dirasakan masih minim, bahkan marginal. Keberadaan GETI sendiri bertujuan untuk menguatkan suara kaum muda di dalam gerakan oikoumene global.

Kaum muda berpotensi besar sebagai masa depan gerakan oikoumene global maupun lokal karena adanya identitas hibrid yang menjadi ciri khas generasi muda masa kini. Banyak di antara generasi muda Kristen tumbuh dalam lingkungan yang tidak monolitik, baik tradisi gereja, ragam spiritualitas, model pendidikan, maupun kultur masyarakat. Dengan demikian, kaum muda-mudi tidak terlalu alergi terhadap hal-hal baru dan mampu melakukan sintesis tanpa kehilangan sikap kritis.

Tantangan gerakan oikoumene di Indonesia

Lalu bagaimana dengan tantangan gerakan oikoumene di Indonesia? Diakui atau tidak, sebagaimana ada kesenjangan antara teori dan praktik di level global, gerakan oikoumene di Indonesia juga dirasakan sebagai sloganistik. Betapa tidak, ragam denominasi yang ada dan terus bertambah seringkali menjadi akar perselisihan antar umat Kristen Indonesia. Kebencian kepada yang berbeda denominasi adalah hal yang lumrah ditemukan, bahkan digemakan lewat mimbar-mimbar gereja. Dampaknya, di level personal muncul pula rasa permusuhan dan persaingan pada umat.

Untuk itu, gerakan oikoumene di Indonesia perlu bebenah dan menyiapkan strategi yang bukan hanya sloganistik dan pada level institusional, namun menggagas gerakan oikoumene di aras lokal, bahkan personal, yang mana perlu dimulai dengan member ruang komunikasi bagi mahasiswa-mahasiswi dari institusi pendidikan teologi yang berbeda-beda. Perlu diingat bahwa metode-metode yang bersifat top-down, elitis, dan pendekatan institusi perlu ditransformasi supaya ada perjumpaan personal, sebab diakui atau tidak kini mereka yang berbeda denominasi sudah dianggap sebagai yang liyan.

Kedua, perlu ada perubahan paradigma mengenai gerakan oikoumene. Selama ini gerakan oikoumene identik dengan ide “kesatuan gereja” sebagai manifestasi tubuh Kristus. Akan tetapi, ini hanyalah pengertian yang parsial tentang “oikoumene.” Pengertian lainnya adalah menciptakan sebuah “rumah bersama” bagi umat manusia yang dilingkupi oleh tanda-tanda Kerajaan Allah: kasih, perdamaian, dan keadilan.

Karena itu, gereja-gereja memiliki misi bersama sebagai umat Kristen untuk mewujudnyatakan tanda-tanda tersebut di Indonesia melalui peran serta aktif di dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan akhir gerakan ekumene bukanlah uniformity melainkan unity dalam melakukan misi bersama di dalam praksis yang transformasional bagi konteks Indonesia.

Terakhir, perlu digarisbawahi peran kaum muda sebagai instrumen penting dalam melakukan transformasi bagi gerakan ekumene Indonesia. Generasi muda memiliki ide-ide baru dan segar dalam menjadikan gerakan oikoumene lebih mendarat pada konteks, namun mereka perlu diberikan ruang untuk bergerak dan juga kepercayaan.

Jikalau selama ini kaum muda dimarginalkan di dalam gerakan oikoumene global, maka penekanan WCC bagi misi dari margin semestinya turut memberikan ruang bagi kaum muda untuk berperan aktif di dalam gerakan ekumene global dan lokal. Semoga!

 

Peulis adalah dosen tidak tetap di STT Jakarta, partisipan GETI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home