Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 07:56 WIB | Senin, 25 Mei 2015

Cedera Kebangkitan Nasionalisme dan Agama

Tugu Kebangkitan Nasional—biasa dijuluki Tugu Lilin—di Surakarta, tugu ini didirikan pada 1933 untuk memperingati 25 tahun lahirnya Hari Kebangkitan Nasional, dihitung sejak berdirinya perkumpulan Budi Utomo (Boedi Oetomo, ejaan Soewandi) pada 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi di salah satu ruang belajar STOVIA di Jakarta (sekarang Museum Kabangkitan Nasional). Kegiatan di foto adalah peringatan Harkitnas pada 20 Mei 2012. (Foto: surakarta.go.id)

SATUHARAPAN.COM – Setiap 20 Mei masyarakat Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Ini adalah peringatan bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang dijajah Belanda. Kebangkitan itu dimulai awal abad 20 bersamaan dengan kebangkitan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika yang dijajah oleh bangsa Eropa . Tandanya adalah berdirinya organisasi-organisasi nasionalis seperti Budi Utomo 1908. Dalam Islam berdiri Syarikat Islam 1905, Muhammadiyah 1912, Sumatera Thawalib 1919, Persis 1923 dan NU 1926.

Di kalangan Kristen, beberapa lembaga gereja lokal menyatakan memisahkan diri dari Indische Kerk 1605 atau Gereja Protestan Indonesia (GPI) dan fasilitas pemerintah Kolonial Belanda, dan menyatakan mandiri. Mereka antara lain Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) 1935, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 1947 dan Gereja Protestant di Indonesia bagian Barat (GPIB) 1948. Gereja-gereja yang tidak berada dalam GPI juga mendewasakan diri seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ) 1931. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mulai mengembangkan diri menjadi gereja yang mandiri sejak 1861 dan tidak bergabung dalam Indische Kerk.

Kebangkitan nasionalisme atau rasa kebangsaan berbarengan dengan kebangkitan agama. Keduanya menyatu dan bekerja sama dalam perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan dan penguasaan asing menuju kemerdekaan dan kemandirian. Masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang ras, suku dan agama bersatu memperjuangkan hak-hak sosial-politik dengan mengusir penjajah. Hasilnya adalah Proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Mulai Cedera

Nasionalisme yang mewujud dalam persatuan-kesatuan dan rasa kebersamaan diprakarsai dan diperjuangkan oleh masyarakat dari berbagai latar belakang ras, suku, agama dan golongan. Nasionalisme ideal itu tampak pada proses perjuangan dari masa kebangkitan di awal abad 20 sampai pada berdirinya negara Indonesia. Setelah itu nasionalisme mulai mengalami gangguan. Ini karena mulai ada perjuangan-perjuangan eksklusif yang berdasar ideologi dan khususnya agama. Di kalangan Islam, mulai ada usaha untuk menonjolkan keislaman dalam kancah politik negara dan kehidupan umumnya masyarakat Indonesia sebagai tandingan dan sandingan bagi Pancasila dan UUD 45. Ada keinginan dan perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menerapkan hukum Islam di dalam negara ini.

   Baca juga:

Perlombaan antara Islam dengan Pancasila terjadi secara konstitusional di dalam sidang-sidang Majelis Konstituante—seperti DPR/MPR—hasil Pemilu pertama 1955 sampai dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keputusannya adalah Pancasila menjadi dasar negara definitif. Sementara itu, ada gerakan-gerakan separatis yang mendirikan negara seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan (RMS) dan gerakan PRRI/Permesta. Sebelumnya, tahun 1948, terjadi peristiwa Madiun, yaitu penyerangan TNI terhadap kelompok komunis karena mendirikan Negara Republik Soviet Indonesia. Nasionalisme mengalami cedera; cedera karena persaingan ideologi, politik dan agama.

Di pihak lain, agama-agama karena terlibat dalam kancah politik melalaikan tugas-tugas melayani kebutuhan umat. Agama tidak diberdayakan untuk membantu umat menyelesaikan masalah-masalah masyarakat seperti konflik ideologis, sosial dan ekonomi. Para politis-agama berkelahi sementara rakyat miskin dan menderita. Agama sebagai institusi juga dituduh sebagai salah satu penyebab persoalan sosial, politik, ekonomi dan keagamaan. Ini karena agama lebih mengutamakan perjuangan sosial-politis dan formal-legal. Di sini agama mengalami cedera; cedera karena sibuk berpolitik sementara umat tidak terlayani.

Akibatnya, banyak penganut agama “surgawi” hasil impor yaitu Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, mencari sumber-sumber lain untuk memenuhi kehausan batiniah keagamaannya. Usaha-usaha penggalian agama atau spiritualitas pribumi atau asli lokal warisan leluhur mulai dilakukan dan menghasilkan terbentuknya komunitas atau paguyuban-paguyuban keagamaan batiniah. Muncullah berbagai aliran kepercayaan atau kebatinan yang dalam struktur pemerintahan kemudian disebut aliran Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara di pihak lain, agama-agama universal mengalami cedera; cedera oleh “kejumudan” atau kebekuan manfaatnya bagi umat dan perannya dalam masyarakat, khususnya mulai 1945-an sampai 1970-an.

Sadar akan persoalan-persoalan dalam agama dan politik, beberapa tokoh misalnya dalam Islam mulai menyuarakan pembaruan. Ulama-ulama seperti Ahmad Wahib, Abdurrahman Wahid –Gus Dur dan Nurcholish Madjid –Cak Nur, menyuarakan pembaruan dalam pola kehidupan beragama. Anjuran untuk memajukan umat melalui bidang pendidikan dan sosial serta penolakan terhadap keterlibatan dalam politik praktis sangat bergaung. Gus Dur melihat Islam tidak sebagai satu-satunya ideologi atau faktor penentu tetapi sebagai faktor komplementer terhadap Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sementara Cak Nur berujar “ Islam Yes, partai Islam No”. Ada akibat dari pembaruan ini yaitu konflik internal umat Islam, khususnya antara kalangan pembaru ini dengan kaum tradisional.

Di kalangan Kristen, sejak 1970-an, pembaruan tidak banyak muncul dari kalangan gereja yang kebanyakan sudah tergabung dalam DGI (sekarang PGI) yang didirikan 25 Mei 1950 dengan gerakan oikumene atau keesaan gereja serta pekabaran Injil sebagai program utama. Sementara itu, masuk berbagai aliran kekristenan pentakostal dan injili atau kharismatik yang mulai “menggelorakan” kehidupan “rohani” umat namun tidak begitu peduli dengan kehidupan sosial-politik dalam masyarakat. Ada suasana baru dalam kehidupan umat Kristen dan ini menjadi tantangan gereja arus utama dan tradisional. Suasana baru ini mengandung konflik terutama antar-aliran atau denominasi sehingga muncul istilah “mencuri domba”. Sementara pihak eksternal Kristen, terutama Islam, muncul tuduhan “kristenisasi” karena aktivitas penginjilan terutama dari aliran injili.

Ada pembaruan namun mengandung potensi konflik. Ada ketegangan dan konflik dengan kekerasan. Salah paham, saling curiga, penghambatan, penganiayaan dan kerusuhan serta peperangan pernah terjadi. Sampai saat ini potensi konflik dan konflik nyata itu masih terjadi. Sementara, masih banyak tokoh agama dan politikus yang menimbulkan persoalan-persoalan sosial-politik karena idealisme dan perjuangannya tidak nasionalis. Nasionalisme dan agama mengalami cedera. Itu menjadi luka yang belum tersembuhkan sampai saat ini.

Akankah cedera-luka itu akan terus tidak tersembuhkan sehingga rasa sakit akan selalu memengaruhi nasionalisme dan hubungan antar-umat beragama di Indonesia? Bagaimana Muhammadiyah, NU dan khususnya PGI yang akan memperingati HUT-nya pada 25 Mei ini?  

Stanley R. Rambitan, Teolog/Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home