Loading...
MEDIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 18:23 WIB | Senin, 19 Januari 2015

Dahlan Iskan Akhiri Puasa Menulis

"Tapi puasa menulis, Huh! Tidak tahan! Sakit. Sakitnya tuh di sini: di jempol ibu jari."
Dahlan Iskan (Foto:weebee9.com)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengaku selama ini berusaha puasa berbicara dan puasa mencari tahu informasi tentang pemerintahan. Ia juga sempat berjanji puasa menulis, kebiasaan yang sudah ia jalankan 30 tahun, sejak ia masih menjadi wartawan hingga menjadi menteri.

Namun, ia mengakui untuk urusan menulis ternyata ia tak kuasa berpuasa lama-lama.

"Untuk tidak berkomentar dan yang lain-lain tadi rasanya bisa saya jalani dengan mulus, semulus rasa kopi solong. Tapi puasa menulis, Huh! Tidak tahan! Sakit. Sakitnya tuh di sini: di jempol ibu jari," tulis dia, dalam tulisannya di jpnn.com Senin pekan lalu, setelah 'berpuasa menulis' sejak 31 Oktober tahun lalu.

"Sudah lebih 30 tahun saya kecanduan menulis. Sebagai penulis maupun sebagai wartawan. Tiba-tiba harus berhenti menulis. Sakit. Sakit. Dan gatal. Jari-jari ini gatal untuk tidak menulis. Apalagi kalau ketemu bahan yang bagus yang sangat bermanfaat kalau ditulis."

"Maka saya akan akhiri saja puasa menulis ini. Saya anggap masa idahnya sudah lewat," kata dia.

Hari ini (19/1) Dahlan Iskan memenuhi janjinya untuk puasa menulis tersebut. Melalui kolomnya yang dimuat oleh koran-koran di jejaring kelompok Jawa Pos namun dapat juga dibaca di blog pribadinya Catatan Dahlan Iskan, ia berkisah tentang bagaimana ia memanfaatkan kunjungannya ke luar negeri sebagai sarana belajar.

Begini antara lain ia menulis:

Salah satu kebebasan yang saya nikmati saat ini adalah bisa kembali belajar dengan leluasa. Belajar apa saja. Dulu saya mewajibkan diri agar enam bulan sekali ”belajar” ke Amerika Serikat: shopping idea, belanja ide.

Itulah sebabnya perkembangan Jawa Pos di kemudian hari menjadi ”sangat Amerika”. Beda dengan koran-koran Jakarta saat itu yang ”sangat Eropa”

Belakangan, ketika Tiongkok maju luar biasa, saya jarang ke Amerika. Belajarnya pindah ke Tiongkok. Begitu sering saya ke Negeri Panda itu. Setahun bisa delapan kali. Bahkan pernah 12 kali. Jarak Tiongkok yang begitu dekat membuat saya bisa belajar lebih sering.

Kalau ke Amerika shopping saya shopping idea, ke Tiongkok saya shopping spirit. Spirit ingin maju. Di Tiongkok-lah, saya melihat sebuah masyarakat yang keinginan majunya begitu tinggi. Hasilnya pun nyata. Dalam sekejap, Tiongkok mengalahkan Jerman. Kemudian Jepang. Dan mungkin tidak lama lagi mengalahkan biangnya: Amerika.

Di bagian lain tulisannya, ia berkisah lebih mendalam tentang spirit yang diperolehnya dari kunjungan ke Tiongkok.

Tentu saya juga ingin tahu apa yang sedang hot dibicarakan oleh masyarakat luas di Tiongkok. Dulu, 15 tahun yang lalu, masyarakat sudah mengira Xi Jinping bakal jadi presiden suatu saat kelak. Kini mereka bicara tentang kian kuatnya posisi Presiden Xi Jinping dalam konsolidasi kekuasaan. Lebih kuat daripada posisi presiden sebelumnya, Hu Jintao. Kini ”Tiongkok adalah Xi Jinping dan Xi Jinping adalah Tiongkok”. Dengan demikian, keputusan-keputusan politik di Tiongkok menjadi sangat efektif.

Tapi, tak kalah ramainya pembicaraan ringan yang satu ini: bagaimana bisa anak umur tiga tahun memenangi acara TV Tiongkok Mencari Bakat dan bagaimana bisa penyanyi berjilbab menempati urutan kelima ”penyanyi yang paling digemari” di Tiongkok.

Anak kecil itu, hebatnya, bisa joget apa saja. Mulai Gangnam Style sampai gaya robot. Bahkan bisa bicara filsafat hidup. Namanya Zhang Junhao. Ketik saja nama itu di YouTube. Akan muncul berbagai gayanya yang menggemaskan dan mengharukan. Tapi, finalis satunya, anak perempuan empat tahun bernama Xixi, juga tidak kalah hebat.

Ketika juri (salah satunya bintang film terkemuka Jet Li) bingung menentukan pemenang, dua finalis cilik itu diminta naik ke panggung. ”Kalian berdua layak maju ke grand final di Beijing. Tapi, hanya satu yang harus dipilih. Bagaimana pendapatmu, Junhao?” tanya juri.

”Pilih saja dia,” kata Junhao sambil memandang saingannya itu dengan sendu. Sendunya anak berumur tiga tahun.

”Kenapa?” tanya juri.

”Karena saya laki-laki,” jawabnya.

Tapi, siapa pun tahu bahwa Junhao jauh lebih layak. Juri kagum akan jiwa besarnya, tapi tetap memilihnya. Anak sopir truk dari salah satu desa di Shandong tersebut kelihatan sedih. Dia lantas memegang lengan Xixi. ”Berusaha teruslah agar tetap dipilih,” ujar Junhao, merayu Xixi. Akhirnya, juri menyatakan Xixi pun dapat jatah ke Beijing.

Banyak lagi kisah yang ia ceritakan dalam tulisan yang diberi judul Menghilang untuk Bisa Banyak Belajar tersebut. Diantaranya adalah tentang cita-citanya untuk berlibur ke Valencia.

.....saya menyelipkan nama Valencia sebagai salah satu kota tujuan liburan. Di samping Madrid, Toledo, Cordoba, dan Barcelona. Alasan resminya: agar bisa nonton pertandingan Liga Spanyol yang hari itu seru: Valencia melawan Real Madrid. Tapi, sebenarnya saya hanya ingin sebanyak mungkin naik kereta api. Ke semua tujuan itu. Baik antarkota besar yang ternyata keretanya sudah berkecepatan 300 km per jam atau antarkota kecil yang ternyata keretanya juga sudah berkecepatan 250 km per jam.

Spanyol ternyata lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Juga tempat belajar yang baik.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home