Loading...
ANALISIS
Penulis: Posman Sibuea 11:22 WIB | Senin, 02 Februari 2015

Danau Toba yang Terluka Perlu Pemulihan

Keramba ikan di Danau Toba, sisa pakan ikan yang mengendap di dasar danau sebabkan pencemaran lingkungan parah. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Danau Toba, Sumatera Utara, perlu pemulihan. Diharapkan Presiden Joko Widodo dengan agenda Nawacita, tegas terhadap perusakan lingkungan Danau Toba.

Keindahan alam Danau Toba, itulah yang terlintas di benak jika kita mendengar kota Medan dan Sumatera Utara. Danau Toba yang sudah menjadi landmark Sumatera Utara itu telah ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Konon, pemerintah telah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu kawasan strategis nasional lewat peraturan pemerintah, yakni PP Nomor 26 Tahun 2008.

Alam Danau Toba kian indah karena kawasannya dikelilingi hutan yang memberi ketenangan dan keteduhan bagi warganya. Sayang, keindahan ini kian terdegradasi akibat ulah sekelompok orang atau masyarakat yang menguras madu sumber daya alamnya dengan melakukan penebangan hutan secara illegal. Luas dan fungsi hutan sekitar kawasan Danau Toba terus berkurang karena alih fungsi, penebangan pohon dan kebakaran hutan. Kerusakan pun makin massif dari waktu ke waktu.

Bentuk protes

Terkait dengan fenomena degradasi lingkungan Danau Toba, September 2013, tiga orang aktivis lingkungan asal Sumatera Utara mengembalikan penghargaan yang mereka dapatkan dari pemerintah sebagai bentuk protes atas kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan Danau Toba.

Mereka menyebut hutan di wilayah Samosir dan Toba Samosir telah berkurang luasnya sejak beroperasinya PT Indo Rayon (sekarang PT Toba Pulp Lestari) yang membutuhkan kayu sebagai bahan baku bubur kertas. Kondisi ekosistem Danau Toba telah mengalami kerusakan dalam taraf yang cukup serius. Fenomena ini tampak dari luas tutupan hutan yang terus berkurang dan kualitas air danau yang telah tercemar. Sekitar 65.000 hektar dari hampir 400.000 hektar lahan di kawasan Danau Toba mengalami kerusakan kecil hingga berat.

Perusakan hutan yang kian massif itu kini bermuara pada ancaman kelaparan pada warga. Menurut sejumlah masyarakat yang sempat diwawancarai penulis, mengaku pada tahun 1970-an hingga 1980-an hasil panen mereka bisa cukup untuk kebutuhan hidup sampai 5 bulan, tetapi sekarang hanya bertahan 2 bulan karena usaha pertanian mengalami krisis air akibat adanya perubahan iklim dan pemanasan global (Sibuea, 2014).

Secara filosofis, manusia bertanggung jawab atas semua bencana kerusakan hutan di kawasan Danau Toba. Tidak perlu mencari kambing hitam dengan menuding ada illegal logging dan musim kemarau panjang yang memantik kebakaran hutan. Manusia mesti dipersalahkan karena ia sudah mendapat anugerah yang paling hebat, yakni daya akal budi. Manusia diberi talenta untuk mampu menimbang baik dan buruk. Akal budinya memutuskan apakah baik membabat hutan secara membabi buta untuk kepentingan perusahaannya atau tidak.

Manusia bersalah, tuduhan ini sah. Manusia menebangi pohon semaunya untuk mengambil kayu demi keuntungan pribadi. Keseimbangan alam pun terganggu. Penyakit baru bermunculan karena udara dan air tercemar limbah industri. Tragedi Minamata, Bhopal dan Chernobyl adalah serpihan contoh dampak ketidakpedulian manusia pada keseimbangan alam yang menetaskan penderitaan. Romantisme yang disuguhkan hutan yang rimbun, hijau dan riak air mengalir kini hanya menjadi kenangan.

Merevitalisasi sikap bersahabat dengan alam patut digagas menjadi sebuah paradigma baru di kawasan Danau Toba. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar wacana –wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu “conditio sine qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap egosentrisme dan antroposentrisme.

Meski manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam, ia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumberdaya alam untuk pemuas dahaga kerakusannya. Korporasi pemilik modal meraup untung besar dari hasil hutan dan industri kertas. Tetapi masyarakat sekitar mengalami ancaman bencana banjir, gagal panen dan secara perlahan dan pasti mengalami kelaparan dan degradasi gizi.

Sikap dikotomis yang melihat sumberdaya alam semata sebuah objek yang harus dieksploitasi harus ditinggalkan. Kesadaran untuk menjinakkan bola liar penebangan hutan di kawasan Danau Toba patut dimulai dari sebuah gerakan masyarakat ekonomi hijau (green economy). Yakni pembangunan industri kertas dan perkebunan yang berkelanjutan harus menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.

Peningkatan devisa dari sektor kehutanan dan agroindustri yang masih dibungkus dalam bingkai neoliberalism kapitalistik yang ekstraktif dengan watak yang rakus pada sumber daya alam sudah saatnya ditinjau ulang oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Agenda Nawacita

Presiden Jokowi yang membawa Agenda Nawacita, khusus kehutanan dan lingkungan hidup menyatakan secara tegas untuk menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan memprioritaskan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan tepercaya.  Dipertegas lagi dalam tiga agenda Trisakti. Pertama, berdaulat dalam bidang politik, menyebutkan pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen menegakkan hukum lingkungan secara konsekuen tanpa pandang bulu dan tanpa kekhawatiran akan kehilangan investor yang akan melakukan investasi di negeri ini. Kedua, berdikari dalam Bidang Ekonomi, menyebutkan pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen melakukan penguatan sektor kehutanan, melalui pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif terhadap pelaku illegal logging.

Ketiga, lebih tegas lagi disebutkan bahwa di sektor lingkungan hidup akan diterapkan zero pelanggaran izin usaha perkebunan, peternakan dan perikanan. Untuk itu, bagi masyarakat lokal yang tinggal di kawasan Danau Toba menunggu kesaktian roh revolusi mental di bidang penegakan hukum lingkungan dan kehutanan yang secara eksplisit disebut dalam agenda Nawacita dan Trisakti untuk menyelamatkan “Toba yang Terluka”.

Danau Toba butuh pemulihan. Danau Toba bukan hanya magnet wisatawan tetapi juga menjadi sumber kehidupan, mulai dari pemutar turbin pembangkit listrik hingga lumbung pangan lokal. Konservasi ekosistem harus dilakukan secara berkelanjutan dalam rangka penyelamatan kawasan hutan Danau Toba dan menyukseskan Geopark Kaldera Toba. Untuk itu, presiden Jokowi harus hadir untuk mendamaikan manusia dengan alam Danau Toba.

Posman Sibuea, Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home