Loading...
EDITORIAL
Penulis: KP1 00:00 WIB | Senin, 25 Maret 2013

Demonstrasi Cermin Macetnya Komunikasi Politik

Mahasiswa Universitas Bung Karno menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin, (25/03). Mereka menuntut perubahan Tap MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara.

Demonstrasi adalah hak warga negara berkaitan dengan kebebasan berpendapat. Rakyat berhak menyuarakan pendapat mereka atas situasi yang terjadi di masyarakat dan bangsa, termasuk terhadap penyelenggaraan negara yang mereka nilai tidak benar.

Dalam negara yang demokratis, demonstrasi haruslah mendapatkan tempat: diatur dan dilindungi. Oleh karena itu, demonstrasi yang digelar sekelompok warga negara, sekalipun yang disuarakan adalah tuntutan mundurnya kepala negara, haruslah direspons sebagai hal yang wajar. Tidak perlu aksi massa ini direspons sebagai upaya yang mengarah kepada kudeta.

Rambu-rambu berdemonstrasi telah jelas. Sejauh tidak melakukan tindakan kriminal, pelanggaran hukum dan ketertiban umum, aparat keamanan justru wajib melindungi para demonstran untuk melakukan aksinya secara damai dan bisa menyampaikan aspirasinya secara baik.

Hal yang perlu dicermati dalam munculnya aksi demonstrasi ini justru berkaitan dengan komunikasi politik dalam kehidupan berdemokrasi. Demonstrasi yang muncul, yang mengangkat berbagai macam isu publik, umumnya terjadi karena komunikasi politik yang tidak berjalan dengan baik.

Macetnya komunikasi ini yang membuat warga yang menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupan harus menyuarakan pendapat dan kepentingan mereka dengan cara mereka. Maka demostrasi pun sering disebut sebagai unjuk rasa. Karena apa yang mereka rasakan selama ini tidak direspons dengan baik oleh para penyelenggara negara. Mereka sendiri yang harus menyampaikannya.

Demontrasi juga harus dilihat sebagai wujud kritik terhadap parlemen. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang gagal menjadi wakil rakyat, mendorong rakyat tampil mewakili dirinya. Anggota dewan yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mendorong rakyat tampil menyuarakan kepentingan mereka sendiri.

Itu sebabnya demonstrasi juga disebut sebagai parlemen jalanan. Sebab, aksi ini merupakan bentuk kritik yang tajam terhadap lembaga parlemen yang tidak berfungsi sebagai rumah bagi seluruh rakyat menyampaikan pendapat dan kepentingan mereka. Komunikasi politik gagal dibangun antara anggota Dewan dan rakyat yang diwakili.

Banyaknya demonstrasi yang dilakukan warga negara di berbagai daerah, termasuk yang terakhir dilakukan di Jakarta, haruslah dilihat, pertama-tama, sebagai masalah komunikasi politik yang tidak berjalan dengan baik. Isu ini yang harus dibahas, dan seharusnya tidak ditenggelamkan oleh berbagai pendapat yang tidak substansial, seperti isu kudeta.

Oleh karena itu, menyikapi demonstrasi harusnya dengan cara-cara yang bersifat membangun komunikasi, mengajak rakyat untuk bisa berdialog dengan wakil mereka di parlemen atau dengan pemerintahan. Membiarkan aksi rakyat terus berdemonstrasi dan tidak mendengarkan aspirasi yang mereka lontarkan, hanya akan menghambat komunikasi, masalah akan semakin besar, dan demonstrasi makin tak bisa dibendung.

Berkaitan dengan sikap ini, aparat keamanan yang ditempatkan pada posisi terdepan berhadapan dengan demonstran bukanlah aktor utama yang berperan dalam mengatasi demonstrasi. Aparat keamanan hanya bertugas untuk menjaga agar penyampaian aspirasi tidak menimbulkan pelanggaran hukum. Aktor utamanya adalah pejabat politik yang harus membuka diri untuk berdialog lebih banyak dengan rakyat.

Jadi, di tengah-tengah banyaknya aksi demonstrasi, tantangan yang harus dihadapai adalah keberanian untuk membangun komunikasi dalam kehidupan berdemokrasi. Menampilkan "kehebatan" aparat keamanan "memukul" mundur para demonstran bukanlah cara yang benar dalam membangun demokrasi. Membuka saluran komunikasi yang sehat antara pemerintahan dan rakyat pada semua level adalah hal yang paling mendesak dilakukan.

Demokrasi adalah cara yang dipilih dalam mengelola negara ini. Cara ini memposisikan komunikasi sebagai anasir yang penting dalam proses mengelola negara. Demonstrasi yang terus terjadi adalah gejala yang nyata tentang penyakit dalam proses mengelola negara.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home