Loading...
MEDIA
Penulis: Reporter Satuharapan 12:31 WIB | Selasa, 21 Maret 2017

Deportasi Jurnalis Prancis dari Papua Langgar Janji Jokowi

Dua wartawan Prancis (kedua dari kiri dan kedua dari kanan) saat mengadakan jumpa pers di Aula Kantor Imigrasi Kelas II TImika, Papua. (Foto: Sinar Papua)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Deportasi terhadap dua wartawan Prancis, Jean Frank Pierre dan Basille Marie Longhamp dari Papua pekan lalu merupakan penghinaan terhadap kebebasan pers.

Hal itu juga menjadi bukti kesenjangan antara janji Presiden Joko Widodo dengan kenyataan, karena ternyata masih ada hambatan bagi wartawan untuk meliput Papua.

Hal ini dikatakan oleh Phelim Kine, deputi direktur Asia, Human Rights Watch (HRW), dalam tulisannya di situs resmi HRW.

Dua wartawan Prancis tersebut ditahan dan kemudian dideportasi dari Papua dengan alasan mereka membuat film dokumenter tanpa didukung oleh dokumen yang diperlukan dari instansi terkait. Padahal kedua jurnalis tersebut bekerja untuk Garua Indonesia.

Pihak berwenang telah melarang dua wartawan itu kembali ke Indonesia selama setidaknya enam bulan.

Menurut Kine, kejadian ini menunjukkan adanya  kesenjangan mencolok antara retorika dibukanya Papua terhadap wartawan asing yang pernah diumumkan oleh Jokowi. Pada kenyataannya, wartawan asing masih dihambat untuk melakukan peliputan di Papua.

Pada bulan Mei 2015, Presiden Jokowi mengatakan ia akan melenyapkan larangan secara de facto kepada media asing untuk meliput ke Papua yang sudah berlangsung selama 25 tahun.

Pada kenyataannya hal itu tidak terjadi. Pelanggaran terhadap kebebasan pers  bagi wartawan asing di Papua, lewat penolakan visa dan daftar hitam bagi wartawan yang yang tidak memiliki izin resmi meliput Papua terus berlanjut.

Kemungkinan hal seperti ini bisa terjadi, tulis Kine, karena Jokowi sendiri telah gagal menerbitkan arahan tertulis resmi untuk menginstruksikan aparat birokrasi dan keamanan Indonesia untuk menghapuskan pembatasan itu.

Namun, di samping itu ini juga karena persepsi yang telah berakar di antara banyak pejabat pemerintah dan badan keamanan bahwa akses media asing ke Papua adalah resep untuk ketidakstabilan di wilayah yang sudah bermasalah, dengan meluasnya ketidakpuasan masyarakat dengan Jakarta.

Hal ini juga menunjukkan paranoia pejabat tidak hanya kepada wartawan tetapi juga  untuk terhadap badan-badan pembangunan internasional, pejabat PBB dan akademisi asing yang oleh pihak berwenang Indonesia dianggap sebagai musuh.

Pemerintah perlu memahami bahwa memblokir akses media dengan alasan keamanan di luar negeri tidak hanya menghalangi kantor berita asing melaporkan berita tentang Papua, tetapi itu juga menimbulkan pertanyaan yang mengganggu tentang apa yang mungkin disembunyikan pemerintah  di sana.

Kine mengatakan sudah waktunya Jokowi mengeluarkan perintah yang lama tertunda tentang menghapuskan hambatan bagi akses media asing ke Papua. Pada saat yang sama menghukum pejabat pemerintah yang menolak untuk mematuhinya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home