Loading...
MEDIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:31 WIB | Kamis, 04 September 2014

Dewan Pers: Wartawan Wilayah Konflik Harus Dapat Latihan

Salah satu wartawan yang dibunuh oleh NIIS, James Foley (kiri) ketika mendokumentasikan dengan video kejadian di Sirte, Libya pada 29 September 2011. (Foto: HRW)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi menyampaikan wartawan Indonesia yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik harus dilatih dan diberi perlindungan, mereka juga wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers.

“Apakah pelatihannya dalam bentuk Hostile Environment and First Aid Training (HEFAT) atau diceburkan dulu ke wilayah konflik yang tidak terlalu panas bersama wartawan senior, itu belum diatur secara detail. Yang jelas, wartawan yang akan terjun ke wilayah konflik dan berbahaya harus dilatih dan diberi perlindungan dalam bentuk peralatan yang bisa memproteksi mereka,” kata Imam Wahyudi seperti dikutip dari bbc.co.uk, Kamis (4/9).

Hal tersebut berkaitan dengan pembunuhan terhadap wartawan asal Amerika Serikat, Steven Sitloff, oleh kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang memunculkan pertanyaan tentang standar keselamatan yang harus dipenuhi media massa sebelum mengirim wartawan untuk melakukan peliputan di wilayah konflik.

Di Indonesia, standar tersebut diatur Dewan Pers dengan tajuk Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Dalam peraturan yang disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers pada 25 April 2008 lalu. Masalahnya, standar tersebut tidak merinci sejumlah hal, misalnya pelatihan.

Peninjauan Risiko

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, mengaku pihaknya senantiasa melakoni peninjauan risiko lebih dahulu sebelum menugaskan wartawan ke wilayah konflik.

“Kami mengukur seberapa serius tingkat ancaman yang akan terjadi di tempat-tempat yang bakal didatangi wartawan kami, entah di Timur Tengah atau di dalam negeri. Apabila hanya mendengar ada ancaman saja, tapi tidak pasti, kami tidak ada keengganan mengirim wartawan ke daerah konflik,” kata dia.

Meski demikian, lanjut Arif, ada kalanya editor-editor Tempo memahami risiko suatu daerah sangat tinggi. Dia kemudian mencontohkan penugasan ke Irak saat Saddam Hussein dilengserkan.

“Saat itu kami mempertimbangkan pentingnya dan hangatnya berita itu. Kami sampai mengirim wartawan ke Irak sebanyak tiga kali. Lalu dalam kasus Suriah, kami pernah mengirimkan wartawan hingga ke Aleppo. Tentu berbahaya, tapi sulit untuk dijelaskan secara eksak, sampai batas mana peliputan (ke daerah konflik) bisa ditoleransi,” kata Arif.

Wajib Rompi Antipeluru

Dia tidak menampik bahwa menerjunkan jurnalis ke daerah konflik memerlukan intuisi tajam.

“Kadang-kadang kami mengandalkan feeling, baik dari redaktur di kantor maupun feeling wartawan yang diterjunkan,” jelas Arif.

Soal standar keselamatan, dia menegaskan tidak berkompromi soal peralatan yang harus dipakai wartawan di daerah konflik. “Rompi antipeluru wajib dikenakan,” ujar dia.

Terakhir, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu mengaku tidak akan mengirim wartawan ke Irak dan Suriah sehubungan dengan adanya peristiwa pembunuhan terhadap dua wartawan asal Amerikan Serikat.

“Keamanan penting dan menjadi prioritas kami. Dalam saat-saat seperti ini, kami tidak akan mengirimkan wartawan (ke Irak dan Suriah),” tutup Arif.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home