Loading...
ANALISIS
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 00:00 WIB | Senin, 18 Juli 2016

Di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan

Minahasa, Satuharapan.com - Ketika Surat Pernyataan Pastoral Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH PGI) tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), yang awalnya ditujukkan kepada gereja-gereja anggota beredar di media sosial, muncul tanggapan negatif yang massal dari kalangan Kristen. Banyak pemimpin gereja yang marah. Individu-individu tertentu dari beragam denominasi membuat surat penolakan.

Bahkan, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), selesai mengadakan kegiatan yang mereka sebut “seminar biblicomedic  sexology” pada 15 Juli diakhiri dengan foto bersama yang bagian belakangnya dibentangi dengan spanduk berukuran besar. Pada spanduk itu tertulis penolakan GMIM terhadap surat pernyataan pastoral PGI tersebut. Gejala apa ini?

 

Kekuasaan dan Disorientasi (Ber)Teologi

Sikap reaktif gereja atau orang-orang Kristen kebanyakan terhadap isu LGBT sebenarnya menggambarkan gejala krisis berteologi yang sedang dialami oleh gereja-gereja kita pada umumnya. Krisis  tersebut juga tampak pada keengganan banyak gereja merespon isu-isu penting lainnya seperti masalah kerusakan ekologis, diskriminasi dan kekerasan. Pengajaran gereja yang lagi trend sekarang justru lebih mengarahkan umat pada kenyamanan dan kemapanan rohani secara eksklusif. Hal itu dapat diamati pada gejala anti intelektualisme atau penolakan pada cara berpikir kritis ilmiah di kalangan pemimpin gereja.

Gereja mengajarkan prinsip-prinsip keagamaan terhadap umatnya melalui doktrin yang dirumuskan oleh elit-elitnya. Penafsiran alkitab yang harafiah ditambah dengan wawasan dan kesadaran yang bias pada hal tertentu menghasilkan teologi yang  eksklusif. 

Jika maksud dan motivasinya adalah untuk melanggengkan kekuasaan gereja, maka doktrin atau rumusan hasil tafsir tersebut akan bias gender misalnya atau lebih melayani kepentingan tertentu. Doktrin yang bias ini ketika diajarkan dengan metode indoktrinasi akan menciptakan kesadaran semu di kalangan umat. Setiap kekuasaan yang eksploitatif dan diskriminatif membutuhkan dukungan massa, yang baik nalar maupun kesadarannya telah berhasil direkayasa.

Spanduk penolakan GMIM terhadap surat pastoral PGI men                                                     ISTIMEWA

Gereja sebagai lembaga, sebagaimana lembaga-lembaga terstruktur lainnya identik pula dengan kekuasaan. Gereja memiliki menejemen aset dan keuangan, memiliki sistem kepemimpinan yang hirarkis dan ada elit-elitnya. Sistem kekuasaan gereja ini  dikendalikan oleh elit-elit tertentu. Agar kekuasaan ini langgeng, maka kesadaran massa harus dikontrol. Hal kekuasaan ini dengan jelas dapat diamati pada setiap suksesi pimpinan gereja di di sidang-sidang sinode yang mirip dengan suksesi politik pada negara. Para elit gereja terus berusaha mempertahankan kekuasaan ini karena mereka mendapat banyak keuntungan darinya.

 

Ketakutan terhadap Hancurnya Kekuasaan Patriarki

Mari kita coba hubungkan antara sikap gereja terhadap isu-isu kekinian tersebut dengan hal kekuasaan di kalangan elit.

Isu LGBT misalnya berkaitan langsung dengan perjuangan kesetaraan dalam keragaman. Jadi, penerimaan dan pengakuan gereja terhadap fakta keragaman orientasi seksual tersebut langsung atau tidak langsung akan berdampak pada terdekonstruksinya sistem kekuasaan di dalam gereja yang patriarki-hirakis dan heteronormativitas tersebut. Hal ini tentu dapat mengancam kekuasaan yang dipelihara dan terus dilestarikan oleh elit-elit tertentu di dalam gereja karena mereka mendapat banyak keuntungan darinya.

Seksualitas berkaitan dengan ‘tubuh’. Sehingga penolakan terhadap LGBT berkaitan pula dengan kontrol tubuh yang berjalan bersama dengannya adalah kontrol kesadaran melalui pengajaran-pengajaran keagamaan yang lebih mengutamakan kesalehan dan kekudusan hidup pribadi.

Kita dapat mengamati hal itu pada argumen-argumen penolakann terhadap LGBT. Misalnya terungkap dengan kalimat, “Gereja memiliki tanggungjawab untuk mengembalikan LGBT kepada jalan yang benar. Karena LGBT adalah keberdosaan.” Orientasi seksual yang menurut sains meliputi hoteroseksual, homoseksual, biseksual dan transgender oleh pengajaran gereja yang bias tersebut didefinisikan menurut doktrin kekudusan dan kesucian. Oleh karena anti intelektuliasme itu maka antara orientasi seksual dengan perilaku seksual sangat sulit mereka bedakan atau sengaja disamakan karena agenda kontrol tubuh tersebut.

Demikian pula terhadap persoalan kerusakan ekologis yang belum banyak gereja menganggapnya penting apalagi terlibat dalam aksi-aksi advokasi. Penyebab kerusakan ekologis  itu kompleks. Ia melibatkan jaringan kekuasaan  dari banyak pihak yang berkepentingan dengan akumulasi modal. Keengganan gereja mengambil bagian dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dapat saja berhubungan dengan jaringan kekuasaan tersebut, yang mana orang-orang tertentu di dalam gereja ada dalam jaringan itu.

Doktrin-doktrin gereja yang lebih mengutamakan kesalehan dan kekudusan pribadi dapat dianalisa lebih jauh sebagi cara untuk mengontrol kesadaran umat. Sebab, doktrin gereja yang dihasilkan dari dialog antara keyakinan dan tradisi dengan realitas konteks serta ilmu pengetahuan dapat melahirkan sikap-sikap kritis di kalangan umat. Hal ini tentu dapat berbahaya bagi kenyamanan dan kemapanan kekuasaan elit gereja yang berusaha sekuatnya mereka jaga. Gereja abad pertengahan memberi pelajaran sejarah yang sangat berarti mengenai hal tersebut.

Jadi, homopobia individual yang bertemu dengan homopobia institusional yang tampak pada penolakan gereja dan umat Kristen kebanyakan tehadap LGBT dan keengganan gereja-gereja pada umumnya memasuki ruang perjuangan keadilan ekologis dapat dipetakan dengan mempertimbangkan aspek kekuasaan di dalam gereja tersebut. 

Doktrin-doktrin homopobhic terus diproduksi gereja karena itu dapat memberi rasa aman bagi segelintir orang yang berkepentingan dengan kekuasaan di dalam gereja. Alkitab diposisikan sebagai sumber legitimasi utama. Pengajarannya dilakukan dengan metode indoktrinasi. Padahal, masalah-masalah kekinian tersebut tidak dapat dianalisa secara ilmiah dengan menggunakan ayat-ayat alkitab. Analisa ilmiah adalah wilayah ilmu pengetahuan.

Pada hal lain, keengganan gereja terlibat pada upaya-upaya advokasi masyarakat dan alam yang rusak semakin memperkuat fakta, bahwa teologi dan kerja-kerja berteologi gereja lebih melayani kekuasaan institusi dan elit-elitnya ketimbang perjuangan keadilan dan pembebasan bagi manusia, masyarakat dan alam.

Akankah terus begitu?

 

Penulis adalah pegiat di Mawale Cultural Center Minahasa

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home