Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 19:01 WIB | Minggu, 23 November 2014

Dianggap Ateis, Anak-anak Sunda Wiwitan Alami Kekerasan Psikologis

“Kami hanya ingin hidup di tanah leluhur kami dengan bebas merdeka. Kami tidak ingin dijajah dan tidak ingin menjajah.”
Ilustrasi. Seorang anak memegang posterr bertuliskan 'Kebebassan adalah bebas untuk beribadah kepada Tuhan' menggambarkan anak berhak mendapat kebebasan beribadah sesuai kepercayaan yang diyakininya. Anak dari berbagai komunitas seperti penghayat Sunda Wiwitan, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Ahmadiyah, dan lain sebagainya menyampaikan aspirasi kebebasan beragama melalui poster kebebasan saat peringatan Hari Anak Internasional di LBH Jakarta pada Sabtu (22/11). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Intimidasi psikologis dialami sejumlah anak berkepercayaan Sunda Wiwitan di sekolah. Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan mengatakan intimidasi tersebut secara tidak langsung dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari guru hingga teman sepermainannya.

Intimidasi sebagai tindakan kekerasan kejiwaan dialami ketika anak penganut Sunda Wiwitan ini dianggap ateis dan komunis.

“Selama ini ada tekanan sosial dan intimidasi psikologis pada anak-anak kami di sekolah, terutama  status pernikahan kami dianggap pernikahan di luar nikah dan proses pernikahan adat kami dinistakan oleh masyarakat kebanyakan. Bagi kami ini kekerasan psikologis dan dampaknya sampai kepada anak di sekolah,” kata Dewi di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Jakarta pada Sabtu (22/110.

Upaya yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada anak penghayat Sunda Wiwitan untuk bersosialisasi bersama teman-teman dan gurunya di sekolah menurut Dewi bukan hal yang mudah.

Dewi mengaku harus memberi motivasi dan dorongan kepada anak, agar anak merasa tidak terintimidasi di lingkungan pendidikannya sendiri. Anak juga tak dilarang untuk menerima pelajaran agama sesuai yang ditetapkan oleh kurikulum, namun mereka mengajari anak untuk memandang agama hanya sebagai ilmu pengetahuan.

“Kami dalam beberapa kesempatan mengajarkan kepada anak untuk memahami agama orang lain itu sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sementara kami memotivasi mereka  bahwa leluhur mereka meninggalkan sistem ajaran, aturan, tata kehidupan yang tidak menyimpang untuk nilai-nilai kemanusiaan justru sistem ajaran para leluhur mereka adalah sistem yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan dan kesadaran atas kebangsaan,” Dewi menjelaskan.

Pelajaran Agama

Para penghayat Sunda Wiwitan, diakui Dewi, sebenarnya ingin anak mereka mendapat pelajaran agama sesuai dengan apa yang mereka yakini karena di sekolah anak pasti harus memilih pendidikan agama. Sementara itu, anak penghayat Sunda Wiwitan sering kali merasa terpaksa harus mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan kepercayaannya.

“Antisipasinya ada dua, pertama kami menegosiasi bahwa kami juga bisa memberikan soal sesuai dengan keyakinan kami, tetapi ada yang menerima ada yang tidak. Bagi yang tidak menerima, kami membebaskan anak kami di luar yang diyakini oleh kami hanya sebagai ilmu pengetahuan,” ujar Dewi.

Sejalan dengan hal tersebut, para peghayat telah meminta supaya guru tidak melakukan intimidasi lebih lanjut meski anak mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan kepercayaannya.

“Akan tetapi meski tidak secara terang-terangan, intimidasi psikologis itu ada terus dari kawan-kawannya maupun guru yang lain karena pola pikir seolah-olah negara hanya mengakui enam negara itu yang sudah meracuni masyarakat,” kata Dewi.

Cara Berpikir yang Harus Diluruskan

Cara berpikir dan proses pemahaman para pemeluk agama menurut Dewi harus diluruskan.

Menurutnya, orang-orang beragama tidak akan lupa caranya menghargai nilai kemanusiaan dan nilai kehidupan itu sendiri.

“Orang yang sekarang merasa beragama kini seolah-olah dirinya lah yang punya jalan yang benar dan menghalalkan cara untuk menindas manusia lain. Ini bukan tujuan dari agama yang sejatinya karena agama tentu menanamkan sebuah ketulusan, cinta kasih, dan bagaimana cara menghargai kehidupan,” ujarnya.

Agama sebagai tuntunan hidup sebisa mungkin seharusnya dipandang sebagai alat pemersatu, bukan pemecah.

Sunda Wiwitan, kepercayaan yang muncul jauh sebelum Indonesia merdeka oleh masyarakat pada umumnya seringkali dicurigai sebagai sebuah ancaman.

“Ketika kami menyuarakan bahwa kami ingin ada keadilan dan ada kesetaraan, banyak sekali yang krisis bahwa seolah-olah kami membuat kegaduhan di masyarakat. Kami sebetulnya bukan ancaman bagi siapapun karena di dalam agama kami tidak ada ajaran untuk menyebarkan agama ini ke komunitas manapun,” Dewi menjelaskan.

Masyarakat-masyarakat adat pelestari tradisi spiritual, kata Dewi, tidak memiliki orientasi untuk mempengaruhi pemeluk agama lain.

“Kami hanya ingin hidup di tanah leluhur kami dengan bebas merdeka. Kami tidak ingin dijajah dan tidak ingin menjajah,” kata dia.

Ketika pola pikir pemahaman aparatur negara menyarankan para penghayat ini harus mendaftar salah satu dari enam agama yang diakui, masyarakat Sunda Wiwitan merasa bahwa mereka lah yang menjadi tamu.

“Kami ini tuan rumah bukan tamu. Kalau tamu boleh ngisi buku tamu. Karena kami ini tuan rumah, kami tidak perlu mengisi buku tamu. Jadi logika yang harusnya bisa disederhanakan atas dasar kemanusiaan. Kita harus melihat kerangka sebagai bangsa dan melihat bagaimana kesadaran manusia menghargai manusia yang lainnya,” kata Dewi. 

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home