Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:19 WIB | Senin, 27 April 2015

Dilema Prostitusi dan Lokalisasi

SATUHARAPAN.COM – Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, melontarkan gagasan untuk membangun lokalisasi prostitusi di Jakarta. Dan segera pro kontra muncul, meskipun gagasan itu masih sebatas wacana dan belum cukup konkret.

Dalam institusi pemerintahan daerah, gagasan itu pun tidak mudah diwujudkan, terutama untuk Jakarta tidaklah mudah menyediakan lahan yang diperlukan, dan perlu anggaran. Anggota masyarakat dan DPRD yang tak setuju sebenarnya bisa menghadang gagasan ini dalam pembahasan APBD.

Di Jakarta ada sejumlah kawasan lokalisasi prostitusi, resmi atau tidak resmi, dan yang terbesar adalah Kramat Tunggal, di Jakarta Utara, yang telah ditutup pada 1999 dan di areal itu kemudian dibangun Islamic Center. Gang Doly, Suarabaya juga lokalisasi prostitusi yang bersar dan tahun lalu ditutup oleh wali kota.

Gagasan Basuki muncul setelah kasus pembunuhan seorang PSK (pekerja seks komersial) di rumah kost di Tebet, Jakarta Selatan, dan maraknya pelacuran yang memanfaatkan teknologi internet (online), termasuk melalui media sosial.Ini menunjukkan bahwa penutupan lokalisasi tidak cukup untuk menghentikan praktik prostitusi. Kramat Tunggak ditutup, tetapi menjamur rumah kost dan apartemen sebagai lokasi praktik prostitusi. Apa yang terungkap adalah puncak gunung es  dari fakya di masyarakat.

Sama halnya bahwa lokalisasi, sejauh yang terjadi sebelumnya, juga tidak menghentikan pelacuran di masyarakat luar lokalisasi. Semasa ada Kramat Tunggak, juga ada banyak kawasan di Jakarta menjadi lokasi pelacuran, yang terang maupun ‘’remang-remang.’’

Masalah dari Masalah

Banyak kajian yang telah mengungkapkan bahwa akar masalah prostitusi itu kompleks, dan tidak sebagai faktor tunggal. Di antaranya mengungkapkan bahwa masalah pengangguran dan tekanan ekonomi sebagai fenomena yang kuat dalam mendorong meningkatnya prostitusi. tetapi pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga bukan masalah yang sederhana, bahkan melampaui dari sekadar masalah miskin sumber daya.

Hal ini haruslah menyadarkan bahwa masalah pelacuran dan juga perzinahan, tidak bisa dibahas dan diselesaikan dengan cara berpikir menyederhanakan masalah. Apalagi, Basuki dan juga pihak yang menolak, menggagas sebagai reaksi spontan dari munculnya kasus belakangan. Prostitusi tidak cukup diatasi dengan cara-cara reaktif.

Kita harus melihat dalam cakrawala yang luas tentang masalah ini dan juga menjadikannya pintu masuk mengatasi masalah sosial lain. Misalnya, jika prostitusi memang diyakini memiliki latar belakang pengangguran, pertanyaannya adalah seberapa konkret pemerintah membangun kesempatan kerja?

Jika tidak ada jawaban yang jelas, maka memaki prostitusi adalah cibiran yang naif. Bahkan kita bisa menuding pelaku pungli yang menghambat orang mengembangkan usaha untuk mandiri dan bermartabat, sebagai mendorong meningkatnya pelacuran. Jika diyakini bahwa prostitusi itu terkait kemiskinan, maka pertanyaannya: seberapa konkret pemerintah dan negara ini mengentaskan orang miskin?

Jika demikian, bukankah prostitusi adalah buah pahit dan hina dari kejahatan lain, termasuk korupsi? Banyaknya rumah kost untuk prostitusi adalah buah dari aparat yang abai pada pelanggaran aturan, dan kemungkinan besar didorong oleh praktik suap?

Yang Hina dan Suci

Dalam konteks mencari solusi mengatasi prostitusi, haruslah ada kesediaan untuk terbuka terhadap kehinaan yang juga dimulai oleh praktik kejahatan lain yang menyebabkannya. Hal itu juga terjadi di pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan mestinya membuat kita tak sepantasnya berbicara dengan sikap ‘’sok suci’’. Maraknya praktik prostitusi adalah cermin bobroknya masyarakat kita yang kehidupannya juga diguncang oleh dinamikan kaum elite.

Solusi harus dicari dengan, pertama-tama, mengenali mereka sebagai bagian dari masyarakat kita. Kedua bahwa prostitusi menimbulkan akibat yang serius, termasuk soal kesehatan dengan meningkatnya penyakit menular dari  hubungan seks. Namun juga merupakan masalah hilir, sebagai akibat dari masalah lain, seperti kemiskinan, korupsi, rusaknya hukum dan ketertiban, dan keadilan yang menjadi mahal.

Beban Dampak Prostitusi

Berdebat tentang lokalisasi untuk menekan praktik pelacuran tampaknya gagasan yang naif. Jika harapannya sampai untuk memberantas perzinahan, itu gagasan yang makin sulit diterima. Namun membiarkan praktik prostitusi menjadi liar, bahkan di tengah masyarakat, juga gagasan yang membahayakan.

Kita diingatkan oleh pengalaman Thailand pada tahun 1990-an ketika AIDS merebak di negara itu. Para pelacur yang disebut sebagai sumber penyebaran penyakit ditangkapi dan lokalisasi ditutup, mereka lari ke desa-desa. Kemiskinan membuat mereka tetap menjalankan praktik pelacuran, dan tahun-tahun berikutnya dunia dikejutkan oleh kasus HIV/AIDS merebak di desa-desa Thailand, dan ditemukan pada anak-anak yang baru lahir dan ibu mereka.

Di berbagai kalangan, lokalisasi adalah pilihan pahit dan berat yang hanya bisa diharapkan untuk menekan dampak kesehatan dan sosial dari praktik pelacuran, seperti halnya kampanye penggunaan kondom. Jika masalah kesehatan meningkat, pemerintah dan masyarakat bisa terpuruk oleh tagihan jaminan kesehatan, dan beban sosial lain.

Dioperasikannya lokalisasi tidak bisa diharapkan mampu mengatasi masalah melebihi pengendalian kesehatan dan pengangguran. Ini pun dengan asumsi bahwa manajemen dijalankan dengan benar. Padahal, ada keraguan besar terhadap birokrasi kita. Namun dengan membiarkan praktik prostitusi sembunyi-sembunyi di tengah masyarakat yang makin permisif seperti burung unta membenamkan kepala ke pasir atas kenyataan masalah sosial ini.

Ada dilema yang nyata tentang masalah sosial ini, dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu cara pandang, apalagi hanya dengan satu projek. Prostitusi dan kejahatan seks telah memusingkan banyak pemerintahan di seluruh dunia, dan sejak berabad-abad lalu.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home